Sindy
Kami terlalu asyik membahas soal fisika sehingga nggak terasa suasana di luar sudah berubah gelap. Persiapan olimpiade membuat kami bekerja lebih keras dari sebelumnya. Di sini peran Regan benar-benar membantu. Dia bahkan rela meluangkan waktu buat kami. Memberi trik jitu untuk menyelesaikan soal dengan cepat dan tepat.
"Sin, gue duluan ya. Bokap udah ngomel-ngomel," ujar Meysa, lalu berlalu begitu saja.
Selain jauh, rumah Meysa berlawanan arah dengan tempat tinggalku. Sama seperti Kara. Aku hanya mengangguk seraya membereskan buku.
"Kunci yang bawa lo atau gue, Sin?"
Kembali aku mendongak ketika Ricko bertanya.
"Lo aja, Ko. Gue takut kelupaan."
"Kalau begitu ayo keluar."
Buru-buru aku meresleting tas, dan keluar dari rongga antara kursi dan meja. Anak-anak lain sudah lebih dulu keluar. Mungkin karena hari sudah gelap, membuat mereka terburu-buru.
"Jangan lupa matiin lampu, Ko," kataku mengingatkan ketika aku sudah keluar ruang kelas. Mataku menemukan Regan masih berdiri di depan ruang kelas club. Aku pikir dia sudah pulang duluan.
"Kok masih di sini?" tanyaku heran sembari melangkah.
Senyum cowok dengan rambut berbelah pinggir itu merekah. "Nunggu kamu. Kita pulang bareng, ya. Biar aku antar, ini udah malam."
Aku ingin menolak, tapi segan mengingat cowok itu sudah banyak membantu club dan juga aku.
Saat aku mengangguk kembali senyum Regan terulas. Kami lantas beriringan menuju lobi sekolah.
"Lo balik sama Kak Regan, Sin? Sepeda lo mana?"
Aku lupa masih ada Ricko di sini. Dia tahu setiap hari aku ke sekolah membawa sepeda.
"Sepeda gue lagi ngambek, udah susah dibenerin lagi."
"Beli motor aja, Sin. Yang second biar dapat murah."
"Lagi gue usahain." Bagi orang sepertiku yang sekolah saja mengandalkan beasiswa, motor second yang mereka anggap murah tetap saja buatku mahal.
Uang saku dari Nyonya Besar hanya nyisa sedikit untuk ditabung setelah aku gunakan buat keperluan sekolah. Uang bayaran memberi les Prince yang aku andalkan buat ditabung.
Nyonya besar pernah menawariku motor, tapi aku cukup tahu diri. Aku dan Ibu sudah cukup banyak merepotkan.
"Oke, gue duluan ya, Sin, Kak Regan." Ricko melambai sebelum berjalan cepat ke parkir motor.
Regan menggiring langkahku menuju tempat mobilnya parkir. Namun, ketika sampai di depan kendaraan besi berwarna putih itu, kening cowok itu mengernyit.
"Astaga, kok bisa kempes dua-dua gini ya?" Regan mengusap belakang kepala. Lalu celingukan seperti mencari seseorang.
"Kenapa, Gan? Ban mobilnya kempes?"
Dia mengangguk dan berjongkok meneliti mobilnya. Dua ban bagian belakang kempes.
"Kayaknya ada yang iseng kempesin deh," gumamnya dan masih bisa kudengar.
"Masa sih? Jahat banget kalau beneran ada yang iseng."
"Iya soalnya pas sampai sekolah sempet aku cek baik-baik aja, kok." Dia menghela napas, lalu berdiri lagi. "Duh, kayaknya aku nggak bisa nganter kamu balik, Sin. Aku harus ngurus mobil ini dulu."
"Oh, nggak apa-apa. Aku bisa naik angkot."
"Angkot? Malam-malam gini?" Wajahnya tampak khawatir dan heran.
"Iya, udah biasa kok." Aku tersenyum, berusaha memberi tahunya bahwa hal itu biasa buatku. "Ya udah aku balik dulu, ya."
Aku baru akan melangkah ketika Regan mencekal lenganku. Tangan lainnya memegangi ponsel.
"Biar aku pesankan taksi online."
Terang saja hal itu bikin aku terperanjat. Daripada membayar taksi online, lebih baik uang itu aku gunakan buat beli buku soal kumpulan fisika. "Nggak usah, Gan. Aku biasa naik angkot." Aku mengibas-ngibaskan tangan cepat.
"Bahaya, Sin. Malam-malam naik angkot. Aku merasa perlu tanggung jawab karena nggak jadi nganter kamu pulang."
Ya Tuhan! Kenapa dia jadi repot-repot begini? Di sini aku beneran nggak enak banget. Regan terlalu baik. Padahal dia nggak perlu begini.
Dia mengutak-atik ponsel. Dan beberapa saat kemudian. "Ini udah aku order. Kamu nanti nggak usah bayar, udah aku bayar by aplikasi."
Aku cuma bisa mendesah pasrah ketika taksi itu datang nggak lama kemudian. "Regan, makasih. Tapi kenapa kita nggak pulang bersama aja?"
"Aku nunggu orang yang mau ngurus mobil dulu. Udah, nggak apa-apa. Nggak perlu khawatir." Dia mendorongku naik taksi lalu menoleh ke supir taksi di depan. "Pak, tolong antar cewek ini sampai di depan rumahnya dengan selamat, ya," ucapnya memberi pesan.
"Siap, Mas."
"Hati-hati, ya, Sin." Regan mundur dan bergerak menutup pintu.
Seumur-umur aku baru menemukan cowok sebaik Regan, yang rela membayariku taksi karena gagal nganter pulang. Tanpa sadar bibirku melengkung, bahkan wajahku terasa hangat.
Aku menyapa satpam rumah sebelum memasuki halaman. Sudah hampir pukul delapan ketika taksi yang mengantarku sampai di rumah Prince. Aku melangkah lebar-lebar menuju pintu utama. Karena aku yakin pintu samping sudah Bi Tuti kunci.
Aku terus lurus masuk ke dalam rumah dengan langkah cepat. Tapi ....
"Bagus! Jam berapa ini baru sampai rumah? Kamu pikir rumah ini tempat penginapan yang bisa keluar masuk seenaknya gitu tanpa ingat waktu?"
Kakiku refleks berhenti, mendengar seruan si Tuan Muda Prince dari lantai dua. Aku ingin mengabaikan tapi dia kembali menyerocos.
"Belajar apaan jam segini baru kelar?"
Aku hanya memutar bola mata dan kembali berjalan, mencoba nggak peduli ocehan cowok itu.
"Ngomong-ngomong siapa yang nganter lo tadi? Kayaknya bukan mobil Regan."
Aku terpaksa mendongak dan menatap sebal ke lantai dua. Prince dengan poni menjuntai tampak cengengesan di sana.
"Bukan urusan lo," ucapku ketus.
"Oh itu taksi. Punya duit lo buat ongkos taksi? Atau itu dibayarin si Regan?"
Sepertinya dia sengaja cari masalah. Dia salah kalau aku mau meladeni. Aku nggak punya tenaga, capek ribut juga.
Prince turun dari lantai atas saat aku kembali jalan menuju dapur untuk mengambil air minum.
"Bikinin gue mie rebus dong! Pake sawi hijau, telur setengah matang, kasih cabe rawit tiga biji."
Aku baru saja menghabiskan satu gelas air putih saat cowok itu mengeluarkan perintah.
"Lo nggak bisa bikin sendiri?"
"Bisa, sih. Tapi gue males. Oh ya, mie rebusnya yang rasa ayam bawang, jangan yang soto."
Padahal aku belum mengiyakan perintahnya, tapi apa aku bisa menolak? Nggak peduli seberapa capeknya aku, Prince akan selalu berbuat seenaknya di rumah ini. Menyuruhku ini itu, mentang-mentang aku numpang.
Lagi-lagi aku menyesali keadaan ibu yang terbaring nggak berdaya di RS. Seandainya ibu nggak mengalami kecelakaan, semua ini nggak akan terjadi.
"Heh! Kok malah bengong?! Buruan bikin." Prince memukul meja mini bar, membuatku terperanjat.
Aku hanya bisa berdecak dan bergerak mengambil mie instan di rak paling atas dapur.
"Cuci tangan dulu sebelum masak. Gue nggak mau mie rebus gue terkontaminasi. Masaknya juga harus full senyum, jangan pas di depan Regan doang senyum lo lebar, sampe bibir lo mau sobek."
Aku menatapnya sebal. Kalau bisa ingin rasanya aku lakban mulutnya yang nggak mau berhenti ngoceh.
"Apa? Yang gue bilang bener kan?" Dia melotot dengan dagu terangkat. Dasar mister arogan. "Rebus mie-nya yang bener, jangan terlalu matang. Terus, gue nggak mau air bekas rebusan lo tuang juga ke mangkok. Itu banyak kumannya. Ganti dengan—"
"Bisa diem nggak sih?!" sentakku sebal. Di saat lagi capek, tapi dengar orang nyerocos terus kayak petasan ingin rasanya menonjok muka orang itu. Tapi tentu saja aku cuma bisa mengepalkan tangan.
"Kok lo sewot? Harusnya gue yang sewot sama lo! Gue udah nungguin lo malah lo suruh balik dengan alasan kegiatan lo masih lama. Bilang aja lo mau berduaan sama Regan. Dan lo pikir gue mau diem aja? Asal lo tau, yang bikin ban mobil Regan kempes itu gue."
Mataku menyipit, sementara dahiku mengerut dalam. Dia yang bocorin ban mobil Regan, tapi dengan bangganya mengakui perbuatannya yang akhlakless itu? Aku benar-benar nggak habis mengerti kok ada orang seperti dia? Benar-benar mahkluk nyebelin sejagat bumi.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2