Mendekati OSN tingkat provinsi, Pak Bian terus menggencarkan bimbingan tiap pulang sekolah. Aku terpaksa memangkas kegiatan memberi les Prince. Yang awalnya tiga kali Seminggu, hanya aku lakukan satu kali. Namun, anehnya cowok yang biasa usilnya naudzubillah itu nggak berkomentar apa pun.
Ini cuma perasaanku atau apa, akhir-akhir ini Prince jarang membuat masalah. Dia nggak bersikap kolokan dan asal perintah seperti biasa. Bahkan hari ini aku menemukan sebuah keajaiban dunia pada cowok itu. Gimana enggak? Seorang Prince hari ini mencuci sepatunya sendiri.
Bi Tuti sampai mencolek lenganku saat melihat adegan langka itu. Dia terheran-heran.
"Den Prince ketempelan dedemit apa ya, Neng? Kok bisa ajaib begini."
"Ish, Bibi. Bagus dong. Dia lagi meringankan beban bibi tuh."
Diam-diam aku mengulum senyum. Seandainya dia bersikap seperti itu terus, aku bisa lega. Seenggaknya rasa lelahku bisa sedikit berkurang.
Aku memang anak asuh keluarga Suganda. Namun, aku cukup tahu diri. Seperti yang sering Prince katakan dulu, di sini aku cuma numpang karena nggak punya keluarga lain selain ibu. Sementara ibu sekarang terbaring tak berdaya di rumah sakit.
"Jam dua les ya," ujarku ketika melihat Prince masuk. Cowok itu baru selesai menjemur sepatu.
"Memang lo nggak capek? Lo baru pulang dari RS kan?"
Mataku menyipit. Memangnya dia peduli? Selama ini dia nggak pernah memikirkan aku capek atau enggak. Yang penting diri sendiri senang.
"Kalau ditanya capek ya, selama ini gue capek. Kenapa baru nyadar sekarang?"
Cowok itu mengembuskan napas. "Ya udah lo istirahat aja." Setelah mengatakan itu dia bergerak naik ke atas tanpa ngomong apa pun lagi.
Aku makin heran dengan sikap tuh bocah. Tumben banget. Apa mungkin yang Bi Tuti bilang dia ketempelan demit benar? Aku mendadak ngeri.
Bukan hanya di rumah. Di sekolah pun dia nggak pernah lagi iseng mengganggu. Harusnya aku senang, tenang. Namun, yang aku rasa justru takut. Pikiran-pikiran buruk mulai berkeliaran. Apa Prince baik-baik saja?
Puncaknya ketika tiba-tiba saja pintu kamarku digedor lumayan kencang dari luar. Aku meloncat dari tempat tidur, dan secepat kilat membuka pintu. Pertama yang kulihat adalah wajah panik Bi Tuti.
"Ada apa, Bi?" tanyaku bingung. Ini sudah pukul sepuluh malam. Biasanya di jam segini pembantu keluarga Suganda itu sudah terlelap.
"Itu Neng, Den Prince demam sampe menggigil. Bi—"
Tanpa menunggu lanjutan kalimat Bi Tuti, aku segera berlari menuju kamar Prince di lantai dua.
"Bi, tolong siapkan termometer, kompres air hangat, dan Paracetamol," seruku sambil terus bergerak ke lantai atas.
"Iya, Neng."
Sejak tinggal di rumah ini, belum sekali pun aku melihat cowok arogan itu sakit. Jadi, sikapnya yang melunak kemarin-kemarin itu pertanda kalau dia memang lagi nggak baik-baik saja.
Saat membuka pintu kamar cowok itu, aku melihatnya terbaring di bawah selimut dengan tubuh bergetar. Matanya terpejam dan wajahnya pucat. Dua tangannya mengepal di depan dada. Dia beneran sakit.
Aku mendekat dan mengecek kondisinya. Bahkan ketika tanganku menyentuh dahinya yang selebar lapangan bola itu, cowok itu tampak nggak peduli.
"Panas banget," gumamku, lumayan kaget.
Begitu Bi Tuti datang, aku langsung meminta termometer dan mengukur suhu badan Prince.
"Dia udah makan belum sih, Bi?" tanyaku sambil meraih handuk kecil dan memasukkannya ke dalam air hangat.
"Makan kok, Neng. Tapi emang cuma dikit."
Aku menatap wajah pucat Prince dengan iba. Aneh, kenapa aku mendadak kasihan? Padahal kalau lagi waras dia ngeselin banget.
"Bi Tuti udah telepon Nyonya Eli?"
Wanita empat puluh tahun itu menggeleng. "Bibi juga baru tahu kalau Den Prince sakit, Neng. Apa BiBi telepon sekarang aja?"
"Jangan dulu deh, Bi. Kita urus sendiri dulu. Siapa tahu dia membaik." Aku mulai mengompres kepala Prince. Dan mengambil termometer yang aku selipkan di ketiaknya. "39,2 derajat, tinggi banget. Bi, Paracetamolnya mana?"
"Ini, Neng."
Aku memaksa Prince bangun agar meminum obat demam itu. Dia benar-benar tidak berdaya, sampai aku harus membantunya duduk dan minum obat.
"Bi Tuti istirahat aja. Biar aku yang jagain Prince."
Kerjaan Bi Tuti sudah lumayan banyak seharian ini. Kalau harus begadang jagain anak manja ini bisa-bisa dia ikut sakit juga.
"Tapi, Neng. Nanti kalau Den Prince—"
"Nggak apa-apa, Bi. Aku jagain dia. Bibi pasti capek."
Bibi akhirnya menurut dan turun untuk istirahat. Aku kembali mengganti kompresan yang sudah adem. Obatnya belum bereaksi apa pun. Panas Prince masih tinggi.
Sudah lebih dari dua jam aku menunggui cowok itu. Meskipun panasnya belum turun, dia sudah nggak menggigil lagi. Aku menyelimuti tubuhnya rapat-rapat.
Tepat pukul dua pagi, keringat tampak bermunculan di area leher dan dahi cowok itu. Kembali aku mengecek suhu badannya.
"38 derajat. Kalau sampai besok masih tinggi, terpaksa harus dibawa ke dokter," gumamku menyisihkan termometer ke nakas. Aku bergerak ke kamar mandi buat mengganti air kompresan lagi. Entah sudah berapa kali bolak-balik seperti ini.
Prince sudah mulai terlihat nyenyak tidur saat aku kembali meletakkan handuk hangat di dahinya. Sementara mataku juga sudah berasa berat banget. Beberapa kali aku menguap dan terkantuk-kantuk, lalu berusaha melek lagi buat mengganti kompres. Hingga entah di pukul berapa aku melambaikan tangan dan jatuh tertidur juga.
Aku terkejut bukan main saat mendengar bunyi alarm. Sontak aku terbangun dan merasakan nyeri luar biasa di kepala. Untungnya setelah berdiam diri sejenak, nyeri itu perlahan pergi.
Refleks aku menyingkap selimut dan menurunkan kaki. Tapi sejurus kemudian aku kebingungan. Lalu kepalaku langsung mengingat Prince. Dia....
"Kok gue ada di atas tempat tidur? Lah, dia ke mana?" Kesadaranku belum sepenuhnya ngumpul ketika melihat Prince keluar dari walk in closet sudah berpakaian seragam lengkap.
"Lo udah bangun?" tanya cowok itu menghadap sebuah standing mirror, mengenakan dasi.
"Kok lo ke sekolah sih? Emang lo udah sembuh?" Aku berdiri dan menghampiri cowok itu. Tanganku terjulur meraba dahinya yang lebar. Adem.
"Sembuh, kan?"
"Iya. Tapi lo kan baru mendingan. Ntar kalau kena angin lagi demam lo—"
"Kita pake mobil ke sekolah," ujarnya menatapku. Kulihat dasinya belum terpasang dengan benar.
Aku mengangguk ragu dan mengalihkan pandang. "Kalau gitu ..." Tiba-tiba sesuatu yang janggal menghampiri pikiranku. "Prince, kenapa gue bangun-bangun ada di kasur lo?"
Prince kembali menghadap cermin dan mencoba menyimpul dasi. "Menurut lo? Masa lo naik ke tempat tidur sendiri? Gue yang pindahin lah," sahutnya santai, tapi nggak dengan aku.
"Lo yang pindahin?! Terus lo—"
"Nggak usah mikir aneh-aneh deh. Gue tidur di sofa itu."
Lega. Mataku udah melotot aja.
"Udah sana mandi. Mau sekolah enggak?"
Astaga. Aku lumayan kaget. Dengan cepat kakiku beranjak keluar dari kamar Prince. Sempat kudengar Prince terkekeh melihatku lintang pukang.
***
Seperti biasa kami berpisah di parkiran sekolah. Aku lebih dulu beranjak memasuk lobi. Suasana sekolah sudah cukup ramai ketika kakiku menginjak lantai koridor. Hanya saja ... ada yang aneh.
Bukannya aku GR, tapi entah kenapa semua murid yang berpapasan denganku menatap dengan pandangan aneh. Bahkan aku melihat secara terang-terangan ada yang berbisik-bisik sambil memperhatikan aku diam-diam.
Sepanjang melewati koridor kelas XI aku dibuat senewen oleh tingkah mereka. Apa ada yang aneh dengan penampilanku sekarang? Biar kuingat dulu. Pagi ini memang agak riweh. Bahkan aku belum menyetrika rok. Beruntung baju seragam sudah aku setrika kemarin. Semua serba terburu-buru karena aku bangun telat. Tapi aku yakin sudah memastikan nggak ada yang kurang dengan penampilanku. Maksudnya, masih seperti biasa.
Saat memasuki kelas pun suasana mendadak aneh. Kelas yang tadinya terdengar ribut dari luar mendadak hening begitu aku datang. Kelas makin anyep, ketika Prince menyusul kemudian. Bola mataku bergerak memindai sekeliling. Berusaha menangkap ekspresi teman-teman sekelas.
"Tumben banget kalian anteng?" celetuk Prince. Dia bergerak mendahuluiku. "Kalian lagi pada sariawan atau pada sakit tenggorokan mendadak?"
Aku berjalan lambat menuju mejaku. Di sana sudah ada Kara yang tampak menunduk memekuri sebuah buku. Pura-pura nggak peduli dengan kedatanganku. Di belakangnya, Meysa pun sama saja.
Namun, ketika langkahku sampai di depan meja hal yang nggak aku duga sebelumnya terjadi. Sesuatu terdengar meledak dan serpihan kertas warna-warni bertebaran mengenai kepalaku. Itu petasan confetti aku tahu. Blink-blink dari petasan itu sengaja menyembur ke arahku dan juga Prince.
Suasana seketika riuh. Aku benar-benar nggak paham saat kemudian ucapan selamat berdatangan. Aku bingung dan nggak mengerti. Kalau ini ucapan selamat karena aku lolos OSN ke tingkat provinsi, sumpah ini telat banget. Hari ulang tahunku juga masih lama. Tapi, bukan itu sepertinya. Apalagi yang mendapat ucapan selamat di sini bukan hanya aku, Prince juga.
"Akhirnya Cinderella jutek kita jodoh juga dengan pangerannya!" seru Ricky, membuatku menatap dengan pandangan menyipit.
"Tunggu, sebenernya ini ada apa?" tanyaku sembari menyingkirkan kertas warna-warni yang nyangkut di rambut dan bajuku.
"Iya, apaan sih? Kalian norak banget," gerutu Prince yang juga sibuk membersihkan kepalanya.
"Kayak gini kan perlu dirayain. Akhirnya Prince melepas masa lajangnya," ujar Bams sembari merentangkan dua tangan, berpuisi.
"Melepas lajang pala lo peyang!"
"Kita cuma mau ngasih selamat buat kalian kok," ujar Kara yang juga ikut-ikutan membunyikan petasan kampret itu. "Gue bilang juga apa, pada akhirnya kalian jadian juga."
"Jadian?!"
Aku dan Prince kompak teriak, terkejut. Lalu kami saling pandang sejenak. Kapan gue jadian sama kutu kupret itu?
Kesalahpahaman ini nggak bisa dibiarin. Bisa-bisa gosipnya menyebar luas. Atau jangan-jangan memang sudah menyebar. Astaga!
"Kalian kayaknya salah paham deh." Aku mencoba meluruskan. "Gue sama Prince nggak—"
"Thanks, ya. Gue terharu. Gue nggak tau bakal ada surprise begini. Gue sama Sindy seneng." Prince memangkas ucapanku dengan seenaknya, lalu menggaet bahuku. "Doain kami langgeng ya."
Mataku sontak melotot, lalu mendongak menatap cowok aneh yang saat ini tengah menebar senyum. Heh! Apa maksudnya?!
"Apa-apaan ini? Gue—"
Tepuk tangan lantas saling bersahutan menenggelamkan suaraku. Parahnya mereka lalu nyanyi-nyanyi nggak jelas seolah tengah merayakan hari besar. Kenapa jadi begini?
Aku melepas kasar lengan Prince yang menyampir di bahuku. Cowok itu sedikit terkesiap melihatku melotot dengan muka masam. Tapi, dia nggak peduli dan kembali menebar senyum kepada teman-temannya yang mulai mengerubung.
Hela napas berat kulepas ketika berhasil mendaratkan bokong ke kursi. Kara di sebelah sudah resek menyenggol-nyenggol lenganku. Belum lagi Meysa di belakang. Tangan usilnya terus mencolek-colek bahuku.
"Demi lo, gue relain Prince deh. Tapi nggak dengan Regan," ujar Meysa lantas terkikik.
"Congrats ya, Sin. Love hate relationship banget ini mah," sambung Kara tersenyum lebar.
Dan ketika aku akan membantah, bel masuk berdering, nggak lama guru matematika memasuki kelas.
Oh My God! Kenapa jadi gini sih?
=========
Jangan lupa like dan komen yak, Gaes.
=====
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2