"Sebenernya ...." Kara menggantung kalimatnya dan menatapku dengan pandangan menyipit. "Hubungan lo sama Prince itu apa sih selain tutornya?"
Aku balas menatapnya dengan kening berkerut. "Temen sekelas?"
Kara berdecak. Tangannya meraih botol saus sambal. "Itu juga gue tau. Kan kita emang sekelas." Dia membubuhkan banyak saus sambal pada mangkok baksonya. Kuah bakso itu sudah sangat merah dan terlihat pedas. "Sadar nggak lo, kalau Prince itu—"
"Nggak usah ngaco dan berasumsi yang enggak-enggak," potong Meysa. Matanya mengedar entah mencari apa. Namun, detik berikutnya tangannya terangkat tinggi-tinggi dan melambai kepada seseorang.
Saat aku mengikuti arah pandangnya ternyata dia sedang memanggil Regan yang tampak kebingungan mencari tempat duduk. Kantin di jam makan siang memang selalu ramai dan penuh.
Cowok berkulit pucat itu tersenyum lalu melangkah mendekati kami.
"Kita makan siang ditemani si ganteng Regan. Asyik enggak tuh," ucap Meysa seraya menaik turunkan alis.
Kara mengedikkan bahu, sementara aku hanya menggeleng. Regan teman diskusi yang baik dalam hal membahas soal fisika, seenggaknya aku bisa fokus saat mengerjakan soal. Selain itu, aku lebih baik nggak ketemu karena jantungku rawan bermasalah kalau dekat-dekat sama dia.
"Boleh aku gabung sama kalian?" tanya Regan begitu cowok itu sampai di hadapan kami.
"Oh jelas boleh dong. Kursi ini masih panjang dan selalu ada buat kamu," sahut Meysa menggeser duduknya.
Sekarang posisi kami, Meysa berada di sebelah Regan, sementara aku berada di hadapan Regan dan Kara di sebelahku.
"Makasih, ya. Kantin rame banget aku tadi bingung nyari tempat." Senyum Regan terbit. Dia lantas mulai mengangkat sumpit. Siang ini cowok itu memesan mie ayam.
"Sore ini Kak Regan isi materi lagi, kan?" tanya Meysa. Bulu matanya yang panjang berkedip genit.
"Iya. Minggu kemarin kamu nggak ikut ya?"
"Iya, Kak. Mamaku sakit jadi nggak ikut. Tapi sore ini akan aku pastikan bisa ikut materi Kak Regan. Kapan lagi, ya kan?"
Kara di sampingku berdeham keras. "Gue jadi pengin masuk club fisika. Masih open member nggak?"
"Ma—"
"Udah tutup. Lo bisa ikutan tahun depan." Meysa buru-buru memangkas ucapanku yang hendak keluar.
"Ahelah gitu banget lo." Kara mendengus dan memajukan bibir. Lalu kembali menusuk somay pada piringnya.
Meysa nggak ingin mendapat saingan buat dapetin hati Regan. Bisa aja dia.
"Sin, nanti di club aku minta kamu buat bantu aku presentasi mau ya?"
Aku yang hendak memasukkan batagor ke mulut sontak mendongak mendengar pertanyaan itu. Wajah Regan yang bening langsung tertangkap indra mata ini seketika. Dan aku cukup tersentak ketika bibir cowok itu melengkung.
"O-oh, o-oke," sahutku agak tergagap. Bisa-bisanya aku pasang wajah bego begini. Buru-buru aku menunduk, menghindari tatapannya karena jantung di dadaku mendadak berulah.
"Terima kasih."
"Kenapa Kak Regan nggak minta tolong aku aja, sih? Aku dengan senang hati bantuin kok," sambar Meysa sembari mencebikkan bibir.
"Ngarep lo!" sembur Kara. Cewek hitam manis itu menjadikan hal ini ajang balas dendam.
"Nggak apa-apa, Sindy aja nanti yang bantuin aku. Soalnya pertemuan kemarin dia yang bantuin. Dan aku merasa cocok," kata Regan tersenyum menatap lembut Kara dan Meysa berganti.
Gila, kenapa wajahku terasa panas mendengar ucapan Regan barusan. Norak banget gue, sumpah.
"Tuh denger, Mey!" Lagi-lagi Kara berkata ketus seraya membelalakkan mata. "Sindy dilawan."
Meski nggak tahu maksud ucapan Kara, kenapa rasanya nggak kedengaran enak, ya? Aku putuskan masa bodo dan kembali menusuk batagor. Regan juga tampak nggak peduli dan lanjut menyantap mie ayam.
Namun, ketika hendak memasukkan batagor yang sudah kutusuk dengan garpu ke mulut, seseorang menyambar tanganku. Lalu tiba-tiba batagor itu sudah berpindah ke mulut orang itu. Refleks aku menggeram. Apalagi begitu wajah close up Prince mendadak ada di depanku.
"Batagor lo rasanya lebih enak. Ini buat gue aja, ya." Dan dengan seenaknya dia menarik piring batagor itu. "Geser dong."
Dengan begonya aku malah bergeser dan membiarkan cowok songong itu duduk di sebelahku. Kejadiannya begitu cepat, aku nggak sempat berpikir waras sampai Prince mengambil alih garpu dan piring punyaku.
"Heh! Lo kan bisa pesan sendiri!" hardikku jengkel.
"Gue udah pesen kok. Paling bentar lagi datang." Tanpa rasa bersalah cowok itu terus mengunyah. "Ntar punya gue buat lo aja. Punya lo buat gue," ucapnya tersenyum lebar.
Apa dia nggak malu sikapnya itu menjadi perhatian Kara dan Meysa? Dua cewek itu sempat kaget dan melongo melihat tingkah gila Prince yang suka semena-mena.
"Nah! Tuh! Pesenan gue datang!" seru Prince menunjuk Bams yang bergerak mendekat ke meja kami seraya membawa dua piring.
Nggak lama Bams meletakkan piring ke meja. "Loh kok lo udah makan aja? Ini pesenan lo gimana?" tanya cowok itu bingung.
"Ini buat Sindy." Prince mendorong piring yang seharusnya menjadi miliknya ke depanku. "Nih, lo habisin ya. Biar kenyang."
"Gue sekalian numpang duduk dong. Penuh nih nggak ada tempat. Kakak kelas, lo bisa geser nggak?" tanya Bams merujuk pada Regan.
Cowok se-charming Eun Woo di seberangku tampak terpaksa menggeser tempat duduknya. Aku bisa melihat wajah sebalnya saat menatap Prince yang lahap makan batagor.
"Thank you, Kakak kelas," ucap Bams dengan nada menggoda saat dia berhasil duduk. "Time to eat."
"Lain kali jangan suka menyerobot makanan orang. Heran, dari dulu tingkah kamu nggak berubah," decak Regan terdengar sinis.
Aku yang hendak makan batagor urung dan menggeser tatapan kepada Meysa. Ternyata cewek itu juga melakukan hal sama. Baru pertama kali aku mendengar Regan berkata sinis begitu. Tapi herannya itu diucapkan dengan raut setenang air telaga.
"Lo ngomong ke gue?" timpal Prince menunjuk dirinya sendiri.
"Emang di sini ada yang nyerobot makanan selain kamu?" balas Regan. Mata legamnya menyorot Prince.
"Masalah lo apa? Gue juga udah ganti sama yang baru."
"Bukan soal ganti, tapi ini soal etika, adab," sahut Regan, kembali menekuri mangkok mie ayamnya dengan santai.
Namun nggak buat Prince. Dia melepas garpu agak kasar dan menatap tajam Regan. Bibirnya yang merah mengerucut.
"Tahu apa lo soal etika dan adab? Ingatan lo udah karatan, ya? Siapa yang suka nyerobot sebenarnya di sini?"
Saat itu juga aku mencium hawa yang nggak baik. Sepertinya Kara dan Meysa pun merasakan hal sama, wajah mereka mendadak gusar.
"Semua di meja ini juga lihat kalau kamu tadi menyerobot piring Sindy."
"Emang kenapa kalau gue nyerobot piring Sindy? Masalah buat lo? Yang punya aja nggak apa-apa kenapa lo sok komen?"
Aku kembali melirik Meysa. Dia memberi kode yang artinya aku harus melakukan sesuatu. Kara juga mencolek pinggangku. Dan ketika aku menoleh padanya, dagunya bergerak-gerak.
"Oh ya? Coba dong kamu tanya Sindy, apa dia baik-baik aja kamu perlakukan seenaknya begitu?"
"Lo—"
"Prince! Cukup." Aku berdiri dan meraih piring. Sebelah tanganku mencekal lengannya. "Kita pindah, jangan duduk di sini," ucapku dengan nada tegas. Aku nggak mau ada keributan dan menjadi pusat perhatian penghuni kantin.
Untungnya Prince menurut. Dia mengambil piring seraya berdecak, lalu keluar dari meja disusul aku. Kebetulan ada meja kosong dengan posisi jauh dari meja kami sebelumnya.
"Lo apaan sih?" Aku berdecak sebal sembari duduk di kursi panjang. Prince menyusul duduk di depanku kemudian.
"Apaan gimana? Murid baru itu yang nyebelin kok."
"Ya karena sikap lo nyebelin juga."
Prince tersenyum miring. "Kenapa bukan lo yang protes tadi? Lo sengaja cari perhatian sama cowok itu ya, biar dibela? Dasar cewek."
Andai aku memiliki temperamen seburuk cowok itu, mungkin sudah kutumpahkan piring batagor ini ke atas kepalanya.
Aku memilih mengabaikan dan lanjut makan. Sebentar lagi istirahat siang berakhir. Aku nggak mau beresiko terlambat cuma ngurusin tuan muda arogan ini.
"Makannya pelan-pelan ntar keselek."
"Nggak us—uhuk!"
Sial, aku keselek beneran. Tenggorokanku rasanya panas, dan untuk beberapa saat seperti kehilangan napas. Tanganku bergerak hendak menggapai sesuatu, tapi yang aku temui hanya udara kosong.
"Astaga, gue bilang juga apa." Prince berdiri dan menepuk-nepuk punggungku beberapa kali. Dia lantas beranjak ke showcase yang kebetulan dekat dengan meja kami. Nggak lama cowok itu menyodorkan minuman dingin dalam kemasan yang tutupnya sudah dia buka.
"Minum dulu."
Tanpa banyak bicara lagi, aku segera meraih botol air itu dan meminumnya begitu batuk ini mereda.
"Lain kali kalau mau ngomel dan lagi makan. Telen dulu tuh makanannya."
Aku meliriknya sebal. Siapa juga yang bikin gue keselek begini?
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2