"Terlalu manis."
Aku mengembuskan napas kasar saat lagi-lagi Prince mendorong cawan sup krim jagung yang aku buat. Ini sudah cawan yang kelima. Ada aja yang kurang menurut dia. Padahal buatku rasanya sudah pas. Aku membuatnya sesuai resep yang kulihat di YouTube.
"Kenapa masih berdiri di sini? Cepet bikin lagi!" perintahnya dengan nada menyebalkan seperti biasa.
Aku terpaksa menarik cawan sup itu lagi. Dan membuat ulang sup krim jagung lagi untuk ke-enam! Astaga, enam! Kurang ajar banget nggak, sih tuh cowok? Setelah beberapa lama berkutat di dapur aku berhasil membuat sup krim jagung lagi.
Kalau sampai sup ke-enam ini dia tolak juga, aku bakal menyiram sup itu ke mukanya.
Prince melirik saat aku meletakkan cawan ke-enam itu. "Awas aja kalau ini nggak enak."
Bodo amat! Aku nggak peduli. Nggak berharap dia suka juga. Kulihat Prince menyendok sup, meniupnya sebentar, lalu mencicipi.
"Sup krim apaan ini? Sebenarnya lo bisa masak enggak, sih?!"
Sontak aku menggertakkan gigi. Cowok itu benar-benar mengikis kesabaranku.
"Sup itu enak. Selera lo aja yang ribet."
Wajah Prince tampak kesal saat aku menjawab. "Enak dari mana?! Nih lo coba!" Dia mendorong kasar cawan itu hingga isinya nyaris tumpah.
Menuruti apa katanya, aku mencicipi sup krim buatanku itu. Nggak ada yang salah, rasanya gurih dan nggak terlalu manis juga. Fix, Prince memang sengaja cari gara-gara denganku.
"Ini enak, ya, Prince. Lidah lo bermasalah apa gimana?"
"Apa lo bilang?" Dia berdiri dan melotot. "Lo raguin lidah gue? Emang lidah gue kayak lidah lo yang kampungan itu?! Bilang dong kalau nggak bisa bikin sup krim. Bikin gitu aja nggak becus!" Prince keluar dari rongga antara meja dan kursi lantas beranjak.
"Makanya sekolah itu belajar, jangan malah pacaran mulu!"
Dengan kasar, dan aku yakin itu disengaja, dia menyenggol lenganku hingga cawan yang aku bawa terjatuh ke lantai. Cawan itu pecah dan isinya yang panas berceceran ke lantai bahkan percikannya mengenai punggung kakiku.
Aku memejamkan mata sesaat. Menahan rasa dongkol di dada yang hampir saja meledak.
"Neng! Ada apa?!" pekik Bi Tuti dari arah belakang rumah sambil tergopoh menghampiriku.
"Nggak kenapa-napa kok, Bi." Aku berjongkok dan mulai memunguti serpihan cawan.
"Ya Allah, Den Prince ngamuk lagi?"
Aku mengangguk sambil terus memunguti pecahan cawan.
"Sebentar, bibi ambilkan sapu dan pengki dulu."
Entah ada masalah apa anak majikan ibu itu. Temperamennya buruk sekali. Mungkin karena dia anak bungsu. Atau karena Tuan dan Nyonya terlalu memanjakannya? Sudah menjadi hal lumrah seorang anak menjadi menyebalkan seperti itu ketika menyadari orang tuanya berduit dan kaya. Nggak terkecuali Prince.
Aku menghela napas, dan teringat ucapan terakhir cowok songong itu sebelum pergi. Refleks keningku mengernyit.
Yang Prince ucapkan nggak nyambung sama sekali. Apa hubungannya belajar di sekolah dan memasak sup? Di sekolahku nggak ada pelajaran tata boga kecuali ekskulnya.
Dan tadi dia bilang apa? Pacaran? Bagaimana dia bisa berpikir begitu?
Namun, tiba-tiba aku ingat sempat bertemu Prince di depan ruangan club fisika.
BEBERAPA JAM LALU
"Sindy!"
Aku menoleh mendengar suara Regan memanggil. Dia setengah berlari menghampiriku yang hendak pergi ke ruang club fisika.
"Ke Club Fisika, kan?" tanya Regan saat berhasil menjajari langkahku. Kami lantas beriringan berjalan di koridor menuju ruang club sambil ngobrol.
Aku mengangguk dengan semangat. "Makasih, ya, kamu sudah meluangkan waktu buat anak-anak club."
"Nggak masalah. Justru aku senang bisa berbagi sama kalian."
Regan tersenyum manis dan bikin dadaku menghangat. "Ada materi yang mau kamu sampaikan nanti?"
"Nggak ada sih. Aku cuma bawa catatan soal-soal yang keluar di olimpiade fisika nasional tahun kemarin."
"Wah! Hebat! Kami butuh itu banget." Aku nggak bisa menyembunyikan rasa senang.
"Sebenarnya ini soal yang aku buat sendiri. Tapi bisa dipastikan cara penyelesaiannya sama seperti soal asli. Soal aslinya nggak dikasih, jadi ya aku bikin soal sesuai daya ingatku."
Mendengarnya aku makin takjub dengan cowok itu. Dia benar-benar pintar. Kemampuannya nggak diragukan.
"Kok bisa sih ada orang sepintar kamu?" Mungkin sekarang mataku penuh bintang saking kagumnya pada manusia ganteng di depanku.
Regan hanya terkekeh, lalu menggaruk kepala seperti orang salah tingkah.
"Kalau pacaran jangan di jalan dong!"
Tiba-tiba Prince membelah jalan kami dari belakang. Membuatku dan Regan otomatis terdorong ke samping. Astaga, padahal jalan masih lebar. Sengaja banget sumpah.
Tanpa mengucap maaf atau apa, dia ngeloyor pergi sambil men-dribbel bola basket.
"Sebenarnya dia punya masalah apa sih?" gumamku mendadak bete seraya mengusap-usap lengan.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Regan.
"Aku nggak apa-apa, kok. Sori ya soal yang tadi. Anak itu memang kurang akhlak."
Lagi-lagi Regan hanya terkekeh. "Nggak masalah, tapi kenapa kamu yang minta maaf?" Dua alis tebalnya naik.
Sekarang aku yang bingung sendiri mesti jawab apa. Aku menggaruk kepala yang nggak gatal, mencoba mencari alasan. "Nggak apa-apa. Cuma dia itu kan anak kelas XI dan sekelas sama aku juga. Anggap aja aku wakilnya."
Aku bisa membaca raut heran di wajah Regan, tapi bodo amatlah. "Yuk, anak-anak udah pada nungguin."
Sekarang aku tahu kenapa Prince mengatakan hal itu. Cowok itu benar-benar nggak bisa membedakan mana teman dan pacar.
***
Sepagi ini aku sudah ada di ruang club fisika untuk mengerjakan soal-soal, tentu saja. Masih belum ada siapa pun. Aku menjadi yang pertama kali datang. Dan ketika aku berhasil menyelesaikan tiga soal, Meysa muncul sembari nyengir.
"Murid teladan, masih pagi udah di sini aja. Gimana acara kemarin?" tanya Meysa sambil melepas tas selempangnya. "Sayang banget gue nggak bisa ikutan. Gagal mantengin si ganteng Regan."
"Lancar kok. Gimana keadaan nyokap lo?"
Meysa kemarin nggak masuk karena harus jagain nyokapnya yang tiba-tiba jatuh pingsan.
"Nyokap udah baikan. Kemarin drop karena anemianya kambuh."
Anak-anak club yang lain lantas berdatangan dan langsung membahas soal yang kemarin Regan kasih.
"Selamat pagi semua."
Ternyata Meysa beruntung karena tiba-tiba Regan nongol di club.
"Wah kebenaran banget Kak Regan datang. Ini kami lagi bahas soal yang kemarin, Kak. Ada yang susah dipecahin," ujar Ricko menyambut kedatangan kakak kelas itu.
"Ya ampun, Ko. Kak Regan baru datang udah ditanya soal aja. Kasih minum, kek," sambar Meysa yang langsung berdiri lantas menarik kursi. "Silakan duduk di sini, Kak."
Regan tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Manis. Nggak heran cewek-cewek Dwi Warna tersihir sama pesonanya.
"Makasih, ya. Mana coba aku lihat."
"Eh, Kak. Serius nih nggak apa-apa?" Ricko mengerjap. Dia pasti merasa nggak enak karena teguran Meysa.
"Nggak apa-apa kok. Tujuanku ke sini kan buat bantu kalian."
Nilai plusnya tambah di mataku. Baiknya nggak kaleng-kaleng. Kami lantas kompak memperhatikan penjelasan dia yang begitu terperinci dan mudah dipahami. Yang menyenangkan, Regan juga memberi cara mudah untuk mengerjakan soal.
"Astaga, ternyata semudah itu," seru Ricko setelah Regan mengakhiri penjelasannya. Ucapannya disetujui anggota lain termasuk aku.
"Jadi, kapan seleksi ?" tanya Regan memindai kami satu per satu.
"Jumat ini, Kak," sahut Erika, anak XI IPA 4.
"Kalian semangat ya. Kalau ada hal yang nggak kalian pahami bisa tanya aku. Siapa tahu aku bisa bantu."
"Oh, itu pasti dong. Sekalian cuci mata," sambut Meysa antusias. Aku melihat tangannya terjulur masuk ke tas dan mengeluarkan sesuatu. "Ini buat Kak Regan. Diterima, ya."
Aku membelalak melihatnya ngasih cokelat ke Regan. Kebiasaannya memberi hadiah ke Prince sepertinya bakal beralih ke Regan.
"Ini serius buat aku?" tanya Regan seolah nggak percaya.
"Ya serius dong, Kak."
"Hm, gercep, ya. Apa kabar Prince?" sambar Ricko meledek.
"Berisik lo, Rick," hardik Meysa seraya mendelik. Hanya sebentar sebelum dia tersenyum lagi dan menghadap Regan. "Diimakan ya, Kak. Jangan sampai dikasih ke orang lain. Apalagi dikasih ke Sindy."
Aku mengernyit. "Kok gue?"
Regan tertawa kecil. "Ya udah. Makasih ya cokelatnya. Kalian nggak pada balik ke kelas?"
"Ini mau ke kelas kok. Kenapa? Mau nganterin ya?"
Aku langsung menyikut perut Meysa. Tumben sekali dia bersikap begini. Waktu pedekate sama Prince nggak gini-gini amat. Untung saja Regan tidak menganggap serius. Cowok itu hanya terkekeh dengan muka memerah. Menggemaskan sekali.
Tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar dari luar dan sosok Prince muncul dengan wajah garang.
"Ternyata di sini. Lo mau mangkir? Lo inget kan ini hari apa?"
Entah cowok itu berbicara pada siapa, tapi matanya menusuk tajam ke arahku.
"Prince, sori." Meysa berdiri lalu bergerak menghampiri cowok itu. "Nanti gue kasih cokelat yang lebih enak. Gue janji," ujarnya seraya meraih lengan kapten basket Dwi Warna itu.
"Apaan sih?" Prince menyentak tangan Meysa yang menggelayut sampai-sampai cewek itu kaget. "Gue nggak lagi ngomong sama lo, tapi sama temen lo itu."
Bisa kulihat Erika dan Ricko memalingkan wajah seraya menggembungkan pipi. Mereka sedang menahan tawa.
Meysa cemberut dan kembali ke kursinya dengan langkah kesal.
"Lo nggak ada kegiatan lain selain bikin ribut ya? Gue inget kok sekarang piket gue," ujarku, lalu mengemas buku dan memasukkannya ke dalam tas. "Gaes, gue duluan, ya." Aku berdiri dan segera meninggalkan meja.
"Biar aku antar kamu ke kelas," ucap Regan seraya berdiri.
"Nggak perlu. Dia nggak bakal tersesat. Emangnya lo, belum sebulan aja udah tebar pesona." Prince menyahut dengan nada nyinyir plus judes.
Aku melirik cowok itu dengan tatapan heran. Mengingat-ingat makanan yang dia makan pagi ini. Sepertinya masih normal, tapi kenapa pagi ini dia bersikap ubnormal?
"Lo salah minum obat ya?" tanyaku begitu kami akhirnya keluar dari ruang club.
"Berisik."
"Bukan kebiasaan lo banget nyari orang buat piket kelas. Biasanya juga Marcell yang—"
"Gue nggak mau piket sendirian ya. Enak aja. Emang yang piket gue doang."
Aku mengembuskan napas. Percuma mendebat anak manja yang selalu ingin menang ini.
"Kalau mau pacaran inget waktu dong! Emang kemarin nggak cukup apa," ujarnya membuat langkahku berhenti seketika. Lagi-lagi dia ngomong soal pacaran.
"Yang pacaran siapa sih? Kami itu lagi bahas soal fisika," sahutku merasa kesal karena terus dituduh nggak jelas gitu.
"Modus." Prince mencibir. Sudut bibirnya naik dan matanya menatapku dengan pandangan meremehkan. "Belagu lo ya sekarang dekat sama cowok baru itu?"
Makin nggak jelas. "Emang kenapa kalau gue deket sama dia? Masalah lo apa?"
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2