"Sial."
Aku menatap sebal sepeda tua di hadapanku. Baru beberapa hari bannya ditambal, sekarang sudah kempes lagi. Kalau waktu itu yang kempes bagian depan, sekarang ban belakang.
Ya Tuhan, kapan tabunganku cukup buat beli sepeda motor? Aku mengembuskan napas kencang hingga menerbangkan poni yang menjuntai. Dengan amat terpaksa aku menuntun sepeda itu lagi.
Jarak dari sekolah ke rumah keluarga Suganda jika ditempuh menggunakan sepeda bisa menghabiskan waktu sekitar 20 menit. Kalau nekat jalan kaki bisa menghabiskan waktu dua kali lipatnya, atau malah lebih. Kalau cuaca sejuk aku sih nggak masalah, tapi sekarang langit kota lagi terik-teriknya.
Aku menuntun sepeda keluar dari area parkir, melewati belakang kelas IPS dan Masjid, kemudian belok ke gerbang belakang yang pintunya terbuka sedikit.
Dari belakang sekolah ada jalan yang menghubungkan lapangan sepak bola dan jalan raya.
"Hei, Cinderella galak, sepeda lo kenapa?!"
Spontan langkahku terhenti dan menoleh mendengar teriakan itu. Segerombolan anak SMA yang bukan hanya dari sekolahku sedang berkumpul di warung Mak Iyah. Ada Prince dan teman-temannya juga. Dan orang yang meneriakiku tadi salah satu anggota gengnya si Tuan Muda Prince, Bams. Cowok sok ganteng yang ngaku-ngaku mirip Boy William.
"Sepeda lo bocor? Lagian hari gini masih pake sepeda butut aja. Kalah lo sama tukang ojek."
Mulutnya minta dilakban banget. Nggak ketua geng, nggak anak buah mulutnya sama-sama pengin aku jahit.
Aku mengabaikan mereka dan melanjutkan menuntut sepeda. Sempat aku mendengar mereka masih membicarakan aku.
"Namanya beneran Cinderella?"
"Bukanlah. Namanya Sindy."
"Cantik sih, kayak Cinderella."
"Bacot."
Entah itu siapa yang mengobrol, nggak penting.
"Lo nggak nolongin dia, Prince?"
Pertanyaan itu sempat aku dengar samar-samar, tapi jawabannya nggak karena langkahku makin jauh dari warung. Lagian nggak ada ceritanya Prince nolongin orang. Ngerjain orang mungkin iya. Aku yakin dia sedang tertawa jahat menertawakan kesialanku.
Peluh mulai mengucur dari dahiku. Sesekali aku mengusapnya dengan punggung tangan. Rasa haus juga mulai mencekik. Sepanjang jalan aku belum menemukan bengkel sepeda. Bengkel yang paling dekat tutup. Sepertinya aku benar-benar harus menuntun sepeda sampai rumah. Apes.
Aku berhenti sesaat melepas lelah sambil celingukan mencari bengkel Tapi tanda-tanda penampakan bengkel itu nggak ada. Aku memutuskan memarkir sepeda di pinggir jalan dan bergerak ke sebuah gerobak yang menjual aneka minuman dingin.
"Bang, mau air mineral dingin gelas satu," ujarku pada penjual yang ada di dalam gerobak.
"Di boks depan, Neng. Ambil aja. Sedotannya di gelas itu ya."
Aku membuka boks berwarna merah pudar. Boks es berisi aneka minuman dari yang manis sampai tawar. Aku mengambil satu air mineral dalam kemasan gelas dan segera menyeruputnya setelah menusuk dengan sedotan. Tenggorokanku yang kering basah seketika.
"Bang, di sini nggak ada bengkel sepeda ya?" tanyaku sembari mengawasi jalanan yang cukup ramai.
"Kalau bengkel sepeda mah nggak ada, Neng. Tapi kalau bengkel motor ada tuh di depan. Sepeda Neng bocor?" tanya si abang penjual sambil menjulurkan kepalanya dari dalam gerobak.
"Iya, Bang. Bengkel sepeda yang di dekat Dwi Warna tutup."
Abang gerobak itu melihat ke arah sepedaku. "Rumahnya jauh?"
"Lumayan sih, Bang." Aku berhasil menghabiskan satu gelas air mineral dan membayarnya. "Makasih, Bang. Saya mau lanjut jalan lagi aja."
Namun ketika hendak menuntun sepeda lagi, sebuah motor besar mendekat. Aku sangat tahu itu motor milik siapa.
"Lo mau bawa sepeda itu sampai rumah?" tanya si pengendara yang tak lain dan tak bukan adalah Prince.
"Menurut lo?"
"Tinggal aja sepedanya. Lo balik bareng gue."
Aku mengernyit. Menduga-duga cowok itu kesambet jin. Tumben dan sangat langka Prince nawarin balik bareng. Aku jadi curiga.
"Nggak usah, makasih," sahutku, menaikkan standar sepeda.
Prince tampak mengangkat bahu. Lalu mengenakan helmnya lagi. "Terserahlah lo. Tapi jangan bilang aneh-aneh sama nyokap gue."
Aku menghela napas. Selama ini nggak pulang pergi sekolah bareng pun aku nggak pernah ngadu sama nyokapnya. Padahal Nyonya Eliana minta agar Prince selalu mengantarku sekolah. Bisa-bisanya dia bilang begitu?
Sudah aku duga tawarannya balik bareng cuma iseng. Prince mana sudi aku menempel di jok motornya yang mengkilap itu.
Tenagaku habis begitu sampai rumah. Aku menggelesor di teras belakang rumah sambil mengibas-ngibaskan tangan.
"Loh, Neng? Baru pulang? Tumben banget lama? Den Prince udah dari tadi loh sampai rumah," tanya Bi Tuti yang baru dari lantai atas, tempat jemuran berada.
"Sepedaku bocor lagi, Bi. Capek aku nuntun sepeda dari sekolah ke sini."
"Kenapa nggak nebeng Den Prince aja, Neng?"
"Ih, kayak nggak tau dia aja, Bi."
Bi Tuti terlihat menghela napas. "Ya udah ganti baju sana. Terus makan. Kamu belum makan, kan?"
"Iya, Bi. Makasih." Aku bangkit dan menatap nanar sepedaku. Hari ini ada jadwal menjenguk ibu. Sepeda itu satu-satunya kendaraan yang biasa aku naiki. Bagaimana aku bisa ke rumah sakit kalau begini? Naik angkutan umum memakan waktu cukup lama.
"Sebentar lagi Mang Tejo datang bawa sepeda motor. Kamu bisa pinjam kalau mau," ujar Bi Tuti membuatku menoleh.
"Nggak deh, Bi. Mana bisa aku pake motor Mang Tejo?"
Selain starter-nya nggak nyala, motor Mang Tejo itu bukan motor matic. Aku belum pernah latihan menggunakan motor bergigi.
Hari ini nggak ada jadwal les, jadi begitu selesai makan aku segera pamit ke Bi Tuti.
"Nanti biar Mang Tejo Bibi suruh bawa sepeda Neng Sindy ke tukang tambal ban dulu," ujar Bi Tuti.
"Makasih, Bi. Sindy berangkat dulu."
"Hati-hati, salam buat ibu kamu."
Aku hanya mengangguk. Setiap kali menjenguk ibu di rumah sakit Bi Tuti tidak pernah absen menitipkan salam. Semua salam itu aku sampaikan meskipun tidak pernah ada jawaban dari ibu.
"Ke mana lo?"
Aku menoleh dan mendapati Prince sedang duduk-duduk di teras rumah. Tangannya memegang game konsol.
"Mau kencan lo ya? Emang ada cowok yang mau kencan sama lo?"
Di ujung kalimat tanyanya yang menyebalkan, dia tertawa.
Seenggaknya seminggu dua kali aku melakukan rutinitas menjenguk ibu sepulang sekolah. Bahkan hari Minggu aku bisa seharian di rumah sakit. Tapi, si Tuan Muda yang bodoh itu masih saja menanyakan hal itu tiap kali aku ketahuan mau pergi.
Prince mungkin tahu keadaan ibu, tapi menghilangnya salah seorang yang sudah merawatnya dari kecil seolah nggak meninggalkan bekas apa pun di hati cowok itu. Tanya tentang ibu saja dia nggak pernah.
"Bukan urusan lo," jawabku tak acuh lalu kembali melangkah.
"Mana ada cowok yang mau sama cewek judes kayak lo!"
"Bodo amat!" sahutku tanpa menoleh padanya. Aku terus berjalan menuju pintu gerbang rumah.
Pak Gito nggak terlihat di pos jaga, jadi aku terus saja keluar melalui pintu gerbang samping.
Perjalanan naik angkutan umum dan sepeda hampir sama waktunya. Mungkin sepeda memang lamban, tapi angkutan umum ini jauh lebih lamban karena sedikit-sedikit berhenti. Bahkan saat melewati pasar, si angkutan ini ngetem lama banget.
Nggak ada perubahan yang signifikan. Ibu masih terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan. Sudah hampir 7 bulan dia seperti itu. Hanya saja dokter sudah melepas alat pernapasannya dan memindahkannya ke ruang HCU. Itu perkembangan bagus menurut dokter. Entah, aku kurang paham. Bagiku perkembangan bagus itu ketika ibu bisa membuka mata, melihatku, dan memelukku lagi.
"Bu, Sindy datang lagi. Gimana keadaan ibu?" tanyaku saat duduk di samping pembaringannya.
Nggak ada respons apa pun. Sama seperti hari-hari sebelumnya, beku. Aku meraih tangan ibu.
"Kapan ibu bangun? Ibu nggak kangen meluk Sindy? Sindy kangen banget, Bu." Aku mengecup tangan yang terlihat makin renta itu.
"Oh iya, seperti biasa ibu dapat salam dari Bi Tuti dan juga Nyonya Besar. Nyonya Besar masih di luar negeri belum sempat datang ke sini. Bu, Sindy harap ibu cepat bangun dan sehat lagi, biar Sindy bisa keluar dari rumah Nyonya Besar. Sindy nggak betah, Bu."
Aku menyeka sudut mata. Sebanyak apa pun aku bercerita, belum pernah sekali pun ibu merespons. Tapi aku nggak pernah lelah mengajaknya bercerita tentang banyak hal.
"Di sekolahku ada murid pindahan. Namanya Regan. Dia cowok baik, pintar, dan ...." Aku melirik ibu dan tersenyum. " ... ganteng."
"Jauh banget karakternya sama si Tuan Muda arogan itu." Senyumku memudar saat mengingat Prince. "Bukan cuma ke ibu dia merepotkan. Sama aku juga. Seandainya rumah sakit dan sekolahku bukan keluarganya yang membiayai, mungkin aku lebih memilih pergi dari sana, Bu."
Karena kunjungan terbatas, aku nggak berlama-lama di ruangan itu. Lagi pula hari makin sore. Aku nggak mau pulang kemalaman.
Aku sempatkan mampir ke toilet rumah sakit sebelum keluar. Tapi ketika hendak berbelok ke arah toilet, tatapku sekelebat menangkap sosok Prince. Karena penasaran, aku berbalik dan memastikan.
Kalau nggak salah dia berjalan menuju arah ICU dan HCU. Dan benar, saat kakiku mengarah ke sana, mataku melihat sosoknya yang tampak jalan terburu-buru. Di tangan cowok itu ada sebuket bunga.
"Dia mau menjenguk siapa?"
Aku melupakan keinginanku ke toilet dan malah mengikuti cowok itu. Sebenarnya ini kurang kerjaan, tapi nggak tau kenapa aku malah terus menyeret kaki, membuntuti dan mengawasi Prince dari jauh.
Cowok arogan itu berdiri di depan ruang HCU sesaat, lalu tampak bergerak masuk setelah salah seorang petugas menerima buket bunga yang dia bawa.
"Dia kenapa masuk ke sana?"
Seingatku selain ibu ada satu lagi pasien yang berada di ruang itu. Mungkinkah Prince menjenguk pasien itu?
Ragu aku melangkah mendekati pintu HCU. Namun akhirnya aku mendorong pintu kaca itu juga dan masuk.
Dari tempat sterilisasi yang aku pijak sekarang, aku bisa melihat Prince berdiri di depan bed salah satu pasien. Aku mengedipkan mata pelan. Melihat Prince bergerak ke sisi samping pasien. Wajahnya tampak memerah. Namun, kulihat dia tidak mengatakan apa pun.
Selama hampir 7 bulan dirawat, aku baru melihatnya menjenguk ibu. Iya, Prince tengah berdiri dengan posisi membeku di samping ranjang ibu.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2