Ribut dan gaduh. Itu yang aku tangkap ketika baru saja memasuki koridor kelas XI. Pandanganku menyipit ketika melihat gerombolan cewek yang ada di depan kelasku. Biasanya mereka suka bergerombol karena dua hal. Pertama, karena ada PR yang susah dikerjain, jadi mereka berbondong-bondong menyontek. Kedua, karena ada cowok ganteng.
Berhubung hari ini nggak ada PR, kemungkinan besar mereka berkerumun karena ada cowok ganteng. Keningku berkerut. Tapi siapa cowok ganteng di kelasku? Prince?
Aku menggeleng. Bisa-bisanya aku menganggap manusia menyebalkan itu ganteng. Nggak peduli sama pikiranku yang bisa saja makin melantur, aku kembali melangkah menuju kelas.
Sosok yang mereka ributkan makin jelas terlihat. Meskipun dikerumuni, sosok itu masih bisa aku lihat karena tubuhnya yang lumayan tinggi. Ternyata dia ...
"Sindy!"
Aku kaget ketika dia memanggil. Refleks langkahku terhenti. Bahkan rombongan cewek itu menoleh ke arahku.
"Teman-teman, udah dulu, ya. Aku ada perlu sama Sindy," ujar cowok itu yang ternyata adalah Regan. Dia membelah kerumunan cewek lalu bergerak menghampiriku.
Cewek-cewek tadi yang mengerubunginya pada masang tampang kesal melihat kami, lalu bubar jalan.
"Baru beberapa hari di sini udah dikerubungi cewek-cewek," komentarku.
Regan tertawa dan mengibaskan tangan. "Abaikan itu. Mereka cuma mau kenalan."
Aku mengangguk-angguk. Anak-anak cewek kelas XI memang rada istimewa kalau urusan soal cowok ganteng.
"Tapi kenapa lo—maksudnya kamu kenapa ada di sini?"
Aku hampir lupa kalau Regan nggak berlo-gue.
"Oh iya. Tujuan utamaku datang ke sini memang sengaja nyari kamu."
Dua alisku terangkat. "Nyari aku?" cicitku.
Senyum gulali Regan mengembang. Sial, kenapa manis banget sih? Nggak heran kalau cewek-cewek tadi betah ngerubungi dia.
"Iya. Ini tentang club fisika. Aku disuruh isi kelas dua sesi sama Pak Bian."
Aku mengernyit bingung. Bukannya Regan sudah kelas dua belas? Kenapa dia mau repot-repot?
"Itu karena tahun kemarin di sekolahku yang dulu aku menjuarai olimpiade fisika nasional," jelasnya membuatku mulai paham tujuan Pak Bian. "Jadi Pak Bian nyuruh aku temui kamu buat koordinasi sama jadwal club."
Aku mengangguk. "Sebenarnya ini tergantung kamu, sih. Maksudnya tergantung waktu luang yang kamu punya. Kegiatan club ada dua hari dalam seminggu. Hari Selasa dan Kamis. Kalau misal hari itu kamu sibuk kami bisa menyiapkan waktu," terangku. Selain ganteng ternyata Regan anak pintar. Nilai plusnya makin tinggi.
"Oke, nanti aku hubungi kamu deh buat mastiin. Nomor HP kamu berapa?"
Tiba-tiba saja Regan sudah mengeluarkan ponsel dan siap mengetikkan sesuatu di sana. Wah, kalau Kara dan Meysa tahu Regan minta nomorku, mereka pasti heboh. Membayangkan tampang mereka yang merengek saja aku terkikik.
"Sin?"
Sontak aku membekap mulut. Mengumpat dalam hati karena sempat berpikir konyol. Aku berdeham dan membenarkan ekspresi wajah. Lalu tanpa pikir panjang menyebutkan deret angka yang sudah sangat hapal di luar kepala.
"Oke. Nanti aku hubungi kamu, ya," katanya tersenyum lagi. "Oh ya? Kamu udah sarapan belum?"
"Eh?"
Reaksiku pasti sudah mirip orang bego sekarang. Namun, belum sempat aku menjawab Regan menarik tanganku dan meletakkan satu bungkus rotu sandwich di telapak tanganku.
"Dimakan ya. Aku balik ke kelas dulu," pungkasnya lantas berjalan cepat meninggalkan aku yang masih terbengong di depan kelas.
Tatapku melirik roti sandwich berbentuk persegi itu beberapa detik lamanya. Bibirku lantas melengkung kecil dan menggumam. "Makasih."
"Cuma sebungkus roti aja senyum-senyum nggak jelas," sambar seseorang, membuatku mengernyit. Secara refleks eskpresi wajahku berubah. Kaget campur malu bersatu. Dengan cepat aku menoleh dan mencari sumber suara barusan.
Prince? Cowok itu berjalan melewatiku sembari ngatain aku senyum nggak jelas. Saat hendak masuk kelas, cowok itu menoleh dan melempar tatapan sinis padaku. Ada masalah apa sih dia?
Aku memutuskan nggak peduli dan masuk kelas. Kara dan Meysa datang nggak lama setelah aku duduk. Mereka berdua langsung nimbrung ke meja.
"Sin, lo tau enggak ternyata Regan itu juara olimpiade fisika nasional tahun lalu. Oh my God, oh My Wow. Selain ganteng to the max, dia ternyata smart. Idaman banget enggak sih?" tutur Meysa kehebohan.
"Gue jadi ngiri deh sama kalian berdua. Harusnya gue ikut club kalian berdua biar pinter fisika jadi bisa pedekate sama Regan," timpal Kara dengan muka sedih.
Aku memutar bola mata. Kedua cewek di depanku ini benar-benar lebay.
"Gue tau kok. Dia juga bakal ngisi sesi dua kali di club," ujarku membuat mata bulat Meysa makin membulat.
"Serius? Kapan?!" tanya Meysa membenarkan posisi duduk terlihat antusias.
"Belum tau. Regan masih nyari waktu yang pas. Tapi dia bakal usahain dalam waktu dekat."
Beberapa saat sebelum masuk tadi, Regan sempat kirim pesan dan berjanji akan segera mengabari jadwal sesinya di club fisika.
Meysa menepuk tangan lalu membawa tangannya yang menyatu ke pipi. Tatapnya menerawang ke udara. Dia lagi ngayal. "Gue bakal puas-puasin hari itu buat mandang wajahnya dari dekat."
Tuh kan, belum apa-apa sudah membayangkan yang iya-iya.
Marcell salah satu anggota genk Prince yang juga ketua kelas masuk dan langsung berdiri di depan kelas.
"Gaes, hari ini PJOK kosong. Pak Iqbal sedang ada keperluan penting. Jadi, kita olahraga bebas," ujarnya lantang dan langsung disambut meriah oleh anak-anak sekelas.
Dan seperti sudah tersetting secara otomatis lapangan basket akan dikuasai Prince dan murid-murid cowok lainnya. Sementara murid-murid cewek berperan sebagai pemandu sorak. Kecuali aku tentu saja. Masih ada kegiatan faedah lain daripada menjadi pemandu sorak.
"Sin, astaga. Ini jam kosong PJOK masa buat ngerjain fisika?" Suara Kara terdengar bersamaan munculnya dia di sebelahku.
"Iya, masih ada soal yang belum aku pahami," sahutku tanpa melepas tatap dari buku bacaan fisika.
"Kantin aja, yuk." Ajakan Kara aku balas gelengan.
Hari ini aku punya roti sandwich dari Regan. Lumayan bisa buat menghemat uang saku yang memang pas-pasan.
"Lo ajak Meysa gih. Ini gue lagi nanggung," sahutku seraya melipat kertas, mencari space kosong yang belum kena coretan tinta.
"Dia lagi neriakin yel-yel buat Prince di sana."
"Kenapa lo nggak ikutan?" tanyaku menoleh sejenak.
"Panas, matahari makin tinggi. Gosong ntar kulit gue."
Aku meliriknya sesaat. Kara itu manis. Dia punya cita-cita pengin berkulit putih. Katanya sih biar gampang dapat pacar. Jaman sekarang fisik itu hal utama sebelum memutuskan suka. Meski aku nggak sepenuhnya setuju dengan pendapatnya itu. Kara pikir cewek berkulit putih itu identik dengan cantik. Dia yang memiliki tone kulit gelap berusaha banget merawat kulit dengan bermacam cara.
"Gue pengin suntik arbutin aja. Tapi nyokap mencak-mencak. Katanya dari pada buat suntik putih mending buat beli beras berkarung-karung. Nyokap ngerti enggak sih kalau hidup itu nggak melulu persoalan beras?" curhatnya suatu kali.
Gimana nyokapnya nggak mencak-mencak kalau sekali suntik harganya jutaan?
Kara harus cukup puas hanya dengan perawatan murah yang pas di kantong emaknya.
"Sindy?"
Aku menoleh mendengar suara khas itu. Beberapa kali bertemu membuatku dengan cepat mengenali suaranya. Regan.
"Oh My God," pekik Kara tertahan. Remasannya pada lenganku membuatku meringis.
"Regan kok kamu di sini?" tanyaku bingung.
Cowok manis itu malah terkekeh. "Iya, di sini. Ini kan kelasku." Dia menuding kelas yang tepat berada di belakangku.
Aku dan Kara kompak menoleh. Tulisan XII IPA 3 terpampang jelas di atas pintu kelas. Kenapa aku bisa lupa kalau lagi nongkrong di teras kelas XII IPA?
"Oh iya ya." Aku meringis canggung.
"Aku tuh yang harusnya tanya kenapa kamu malah di sini bukannya gabung sama teman-teman kamu di sana."
"Pelajaran olahraga kosong, Kak. Makanya si Sindy yang kerajinan ini malah garap soal," sahut Kara.
"Wah, rajin, ya."
"Betewe, kita belum kenalan loh, Kak." Kara berdiri lalu mengulurkan tangannya. "Aku Kara, Kak. Teman sekelas Sindy."
Regan tersenyum dan menyambut uluran tangan Kara. "Regan."
"Ya ampun, kakak beneran ganteng kalau dilihat dari deket gini," puji Kara frontal.
Astaga, dia yang muji, kenapa aku yang malu ya? Apa lagi sekarang Regan tertawa.
"Kamu bisa aja." Regan menoleh padaku. Ah bukan, tepatnya melirik buku fisikaku yang terbuka. "Elastisitas dan Hukum Hooke, ya?"
Aku mengangguk. "Iya. Yang kayak gini pasti gampang buat kamu."
Lagi-lagi Regan terkekeh. "Enggak juga. Kadang aku juga nemu kesulitan kok."
"Nah tuh. Mumpung ada Kak Regan tanya aja. Tadi katanya ada soal yang nggak lo pahami," sambar Kara lagi. Aku refleks memberinya kode agar tutup mulut.
"Oh ya? Soal yang mana?" tanya Regan.
Aku jadi nggak enak. "Nggak kok, nggak apa-apa. Nggak usah. Nanti kamu repot."
"Oh nggak apa-apa kebetulan di kelas lagi pada ngerjain tugas. Dan aku udah selesai. Jadi, mana soal yang nggak kamu pahami?"
Aku menatap Kara dan melotot padanya. Cewek itu cuma bisa nyengir sambil mengerlingkan mata. Modus banget biar bisa lama-lama dekat Regan.
Sekarang posisi Regan ada di bawah menghadap buku fisika yang terletak di bangku beton teras. Sementara aku dan Kara masing-masing berada di sisi kanan-kiri Regan. Cowok itu mulai menjelaskan cara penyelesaian soal yang nggak aku pahami.
Namun baru setengah jalan dia menerangkan, sebuah bola basket jatuh tepat mengenai coretan yang sedang Regan tulis hingga pena yang dia pegang loncat. Untung nggak mengenai wajah Regan karena bola itu langsung memantul.
Kami kompak menoleh, dan hampir saja emosiku meledak.
Prince tanpa merasa bersalah malah cengengesan. "Eh, kena ya? Nggak sengaja. Makanya kalau belajar itu di kelas."
Nggak sengaja dia bilang? Lapangan basket di mana, dia di mana, dan masih bilang nggak sengaja? Sebenarnya dia punya masalah apa, sih? Dari pagi reseknya nggak kelar-kelar.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2