Kepalaku sudah mengebul sejak tiga puluh menit lalu duduk di hadapan Prince. Gimana enggak? Mulutku sudah berbusa-busa, tapi dia malah nggak mau mikir, dan lebih sibuk main game di ponselnya yang seharga 16 juta itu ketimbang memperhatikanku menjelaskan materi Induksi Matematika.
Serius, pola induksi matematika saja dia nggak paham. Padahal itu materi dasar. Aku menarik napas beberapa kali.
"Ya itu tugas lo bikin gue paham," ujar Prince saat aku mempermasalahkan IQ-nya yang pas-pasan itu.
Aku sudah menduga dari awal akan kesulitan menghadapi Prince. Daripada mengajari dia lebih baik aku mengajari anak SD. Seenggaknya mereka mau mendengar apa yang aku katakan. Kalau bukan karena permintaan Nyonya Besar dan juga Ibu yang masih di rumah sakit, serta beasiswaku di Dwi Warna, aku ogah memberi les privat anak bengal itu.
Aku membetulkan kacamata yang melorot dan kembali memberikan soal termudah buat Prince. "Nih kerjakan soal ini," kataku mendorong kertas berisi lima soal.
Prince menerima kertas itu, tapi dahinya mengernyit. Dia sempat melirikku dengan senyum menyebalkan sebelum mengambil pena.
"Ini mah gampang," ucapnya meremehkan.
"Udah jangan banyak omong. Kerjain!" Perintahku agak keras. Satu jam berasa lama banget. Mending ngepel seluruh rumah daripada mengajarinya matematika.
Prince sudah sering ikut bimbel, dari yang katanya bisa menjamin pintar, sampai bimbel yang standar. Tapi dasar bengal, bukannya belajar dengan baik malah waktu bimbel dia gunakan buat motor-motoran. Nyonya Besar juga pernah mendatangkan seorang guru privat, tapi guru itu kapok mentorin cowok itu lantaran selalu dijaili saat sedang mengajar privat.
Kata Nyonya hanya denganku cowok itu bisa anteng. Prince bisa duduk manis tanpa usil. Itu kata Nyonya yang nggak tau gimana merananya aku mentorin anaknya selama ini. Belum ada satu semester, tapi rasanya sudah satu abad saja. Dan parahnya kegiatan ini bakal terus berlanjut sampai kami lulus nanti. Ya Tuhan, seandainya hidupku lebih beruntung sedikit saja, mungkin aku nggak akan terjebak di sini.
Prince melempar bukunya. "Tuh, cek!"
Spontan aku melirik jam tangan kecil yang kupakai. Sepuluh menit. Aku menatap curiga cowok di hadapanku seraya menarik buku soal. Jangan-jangan dia cuma asal menjawab.
"Kenapa? Lo nggak percaya kalau gue bisa ngerjain?" tanya Prince dengan alis menukik.
Aku tersenyum sinis. "Kita liat aja."
Aku mulai mengecek pekerjaannya. Di antara lima soal yang benar hanya tiga. Soal nomor tiga dan lima jawabannya hampir benar. Tapi ini lebih baik dari hari sebelumnya.
"Nomor tiga dan lima salah." Aku mencondongkan badan ke depan. Begitu pun Prince yang seolah siap mendengarku menjelaskan penyelesaian yang salah.
Cowok itu manggut-manggut. Aku harap dia paham betulan bukan karena ingin semuanya cepat selesai.
"Dengan demikian P(k + 1) = 11(k + 1) – 6 dapat dinyatakan sebagai kelipatan 5, yaitu 5(11m + 12). Jadi benar bahwa P(k + 1) = 11(k + 1) – 6 habis dibagi 5.
Karena P(n) = 11n – 6 memenuhi kedua prinsip induksi matematika, maka terbukti P(n) = 11n – 6 habis dibagi 5, untuk n bilangan asli. Paham?"
Aku mengembuskan napas begitu mengakhiri penjelasan soal terakhir. Mataku melirik Prince yang malah diam saja setelah mendengar penjelasanku.
"Lo pake perfum apa, sih? Jeruk?"
Dahiku mengernyit. Lalu mataku melotot. Kenapa dia malah tanya parfum?
"Fokus." Refleks aku memukul kepalanya menggunakan buku soal itu.
"Lo!" Prince mundur seraya melotot.
"Apa?" Aku ikut melotot.
"Jangan mentang-mentang—"
Omelannya terjeda ketika ponsel lelaki itu bergetar. Prince mendengus lalu meraih benda mewah itu. Aku sempat melihat ada nama ibunya tertera di layar ponsel tersebut.
"Apa sih, Mi? Ini aku lagi belajar."
Nggak ada salam, nggak ada kata halo, apalagi tanya kabar. Sumpah, attitude-nya sama orang tua jongkok banget. Padahal orang tuanya lagi jauh di luar negeri sana.
Aku menandai materi-materi bahan ajar besok selagi cowok manja itu menerima telepon dari Nyonya Besar.
"Jadi, kapan Mami pulang?"
Bukan bermaksud menguping, tapi dia memang tidak berpindah tempat saat menelepon. Jadi, jangan salahkan aku mendengar obrolannya yang jijay banget sebagai seorang cowok. Dasar anak mami.
"Nih, mami mau ngomong." Prince menyodorkan ponsel mahalnya. "Awas, jangan laporan yang nggak-nggak."
Aku menerima ponsel mahal itu dengan hati-hati, kalau jatuh bisa repot.
"Halo, Nyonya?" sapaku sedikit kaku.
"Sindy, lagi-lagi kamu panggil saya nyonya. Ibu aja, kamu kan kayak anak saya," protes Nyonya Besar di sana.
Aku hanya mengikuti panggilan yang sering ibu berikan.
"Iya, Nya—eh, Bu."
Prince berdecak nyebelin. "Dasar jiwa babu," cibirnya, membuatku meliriknya tajam.
"Gimana Prince, Sin? Dia mau diajak kerjasama kan?" tanya Nyonya Besar kembali ke poin utama.
"Aman, kok, Bu. Cuma masih sering nggak fokus."
"Getok aja kepalanya kalau dia bandel."
Aku terkekeh sembari mengangguk. "Iya, Bu. Tenang aja. Minggu depan ada ulangan harian matematika. Boleh nggak, Bu, kalau jadwal belajarnya saya padatin."
Prince sontak mendelik, tapi tidak aku hiraukan.
"Boleh, kok. Kalau yang menyangkut soal belajar saya setuju. Saya percaya sama kamu, Sin. Kamu sudah jenguk ibu kamu?"
Ini yang aku suka dari Nyonya Besar, dia tidak selalu berpihak pada anaknya yang manja.
"Habis ini saya ke sana, Bu."
"Baiklah, salam buat ibu kamu, ya."
"Iya, Bu. Terima kasih."
Prince langsung merebut ponselnya begitu panggilan berakhir. Dia sepertinya murka.
"Apa maksud kamu mau madetin jadwal belajar? Gue nggak mau, ya! Ini aja udah bikin kepala gue kemebul, lo mau bikin kepala gue terbakar?"
"Minggu depan ulangan bab matrix. Kalau lo nggak mau padetin jadwal coba kerjain soal ini. Kalau bener semua baru gue kasih lo libur." Aku menyodorkan soal ke depannya.
Prince makin menatapku sadis seperti hendak menelanku bulat-bulat. Hidungnya yang tinggi kembang-kempis menahan kesal.
"Terserah lo lah!" Dia mendorong buku itu kembali ke depanku. Lalu beranjak berdiri.
"Lo mau ke mana? Kita belum selesai loh!"
"Gue mau minum, haus!" ujarnya ketus. Dia ngambek, tapi aku senang melihatnya marah.
Senang melihatnya marah tapi nggak bisa berbuat seenaknya seperti biasa. Dia nggak bisa membantah perkara belajar karena Nyonya Besar selalu mengancam mencabut black card yang dia punya.
Sedikit saja aku melapor tingkah bengalnya, matilah dia.
"Gue kasih waktu lima menit," ujarku acuh tak acuh.
"Gila aja! Lima menit mah buat napas doang! Lo kalau kasih waktu istirahat kira-kira dong! Nih!" Prince menunjuk kepalanya sendiri. "Nggak liat ini kepala gue berasap?!"
"Lebay."
Prince menggeram, tapi nggak aku hiraukan. "Seumur-umur baru gue nemu mentor sadis kayak lo. Awas aja lo!"
Ancaman lagi. Apa sih bisanya dia selain mengancam?
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2