Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinderella And The Bad Prince
MENU
About Us  

Apes memang. Bisa enggak, sih, tukar anggota aja? Tatapan dan seringai yang Prince lempar membuatku bisa menebak apa yang ada di pikirannya sekarang. 

Aku yakin bakal kerja dobel lagi kalau begini. Prince itu malasnya nggak tertolong. PR aja nggak pernah dikerjain. Seandainya sistem tinggal kelas masih ada, aku yakin dia  masuk daftar itu. 

"Mau duduk aja lo? Cari daun, gih," ujarku, memerintah. 

Prince masih asyik berleha-leha dengan ponselnya, padahal anak-anak lain sudah siap dengan jas praktikum dan tetek bengek perlengkapan praktikum.

"Kok gue? Mana ngerti gue. Lo aja yang cari," sahutnya ogah-ogahan. 

Aku membuang napas dan melirik ke depan ruangan. Bu Abel entah pergi ke mana, tanpa pengawasan beliau, murid seperti Prince suka seenaknya. 

"Cari, atau gue nggak mau nyontekin tugas ini." Aku mendelik, dan berhasil mendapat perhatian Prince. 

Cowok itu berdecak sebal. Lalu tanpa berkomentar apa pun beranjak keluar dari lab. 

Nggak lama dia datang membawa daun, oh bukan hanya daun, ranting-rantingnya juga ikut dia bawa. Astaga! Aku menepuk jidat melihatnya menyodorkan ranting pohon yang lumayan rimbun. Kelompok di sebelahku sampai terkikik melihat kelakuan cowok berponi itu. 

"Kenapa nggak sekalian lo bawa cabang-cabang pohonnya?" ujarku gemas seraya merebut ranting pohon itu.

"Bawel banget, sih. Kalau kurang lo ngomel lagi." 

"Ya, nggak sebanyak ini juga kali. Selembar daun juga cukup." 

"Bodo, ah. Yang penting daunnya udah ada." 

Aku nggak menimpali lagi karena Bu Abel datang dan meminta kami  langsung melakukan pratikum. 

"Biar gue aja yang liat. Lo siapin bahannya ke kaca preparat," ucap Prince sok bossy. Padahal di bawah meja, jarinya terus menggulir layar ponsel. 

"Iris setipis mungkin ya, anak-anak. Agar sel jaringannya bisa dilihat melalui mikroskop," seru Bu Abel di depan sana. Aku berharap beliau keliling memantau anak didiknya ini, agar nggak ada murid yang ndableg seperti Prince. 

"Nggak kelihatan apa-apa," ujar Prince saat mulai melihat preparat melalui lensa mikroskop. "Lo bisa bikin preparat nggak, sih?" 

Sontak aku berdecih. Memangnya dia bisa? Aku mendorong lengannya agar menyingkir. Dia terlihat sebal dan hendak membuka mulut tapi menutup lagi ketika melihat teman-teman mulai memperhatikan kami. 

Aku bisa melihat dengan jelas beberapa bagian sel daun melalui mikroskop. Memang nggak sejelas seperti preparat yang sekolah punya, tapi masih terbilang lumayan buat ukuran preparat yang dibikin anak sekolahan. 

Mataku melihat mikroskop, sementara tanganku mulai menggerakkan pena di atas kertas,  menggambar apa yang kulihat. 

"Emang kelihatan?" tanya Prince seperti menyangsikan. 

Namun, aku nggak peduli dan terus menggambar. Setelah semua selesai baru aku menjauh dari mikroskop tersebut dan melihat hasil gambarku. 

"Lo yakin gambarnya seperti itu?" tanya Prince dengan tatap meremehkan. 

"Lo liat aja sendiri," ujarku tanpa menoleh padanya sembari memperbaiki gambar. 

Beberapa detik berikutnya, aku mendengar Prince berseru, katanya dia bisa melihat stomata. 

"Gue udah bikin preparat, sekarang giliran lo yang bikin laporan." 

Prince yang masih menunduk di depan moncong lensa mikroskop kontan menoleh dan melayangkan protesnya. "Kok gue?"

"Ya, terus siapa? Setan? Di kelompok ini kan cuma ada gue sama elo, ya kali gue nyuruh Marcell." Aku mendengus sebal dan mendorong kertas laporan ke dadanya. Prince memang payah dalam hal pelajaran, tapi herannya banyak banget yang memuja dia. 

"Ya lo lah. Sekalian."  Dahinya berlipat ketika mengatakan itu. 

"Terus kerjaan lo ngapain?" Aku bersedekap tangan menatapnya. 

"Kasih semangat lo buat ngerjain laporan." 

Sotoy! 

"Lo ini memang payah banget, ya," desisku lalu mengambil kertas laporan dari tangannya lagi. 

Ujung-ujungnya aku semua yang ngerjain!

***

"Nih!"

Dengan malas aku menyerahkan kado dari Meysa buat Prince saat kami berada di locker. Ini kesialan berikutnya. Locker-ku berdekatan dengan locker cowok itu. 

Awalnya nggak masalah karena Prince selalu menganggapku nggak ada. Namun sejak aku tinggal di rumahnya, semua terasa kacau. 

"Apaan?" sahutnya ketus dan terlihat nggak peduli. 

Aku sudah menduga. Sikapnya sama saja seperti hari-hari lalu. "Kado dari Meysa." 

Cowok yang sudah mengganti pakaian dengan baju basket itu berdecak. "Lo kurir?" 

Tatapku sontak bergulir padanya. Dan ternyata Prince tengah menatapku juga dengan pandangan meremehkan seperti biasanya. 

"Terserah lo mau ngomong apa. Kalau bukan karena temen gue yang merengek, gue juga ogah jadi kurir." 

Aku mendorong kado itu ke perutnya,  membuat cowok itu refleks menerima kado tersebut. Setelah itu, aku memutar dan beranjak. Namun baru tiga langkah, aku mendengar suara sesuatu yang dilempar ke tong sampah. 

Langkahku kontan berhenti, dan kepalaku sedikit menoleh ke tong sampah di sebelah kanan. Dia pembasket hebat, hadiah dari Mesya jatuh tepat ke dalam tong sampah! 

"Nggak guna," umpatnya pelan, tapi masih bisa aku dengar. 

Dia memang sebrengsek itu. Nggak pernah menghargai perhatian kecil dari orang-orang di sekitarnya. Whatever, tugasku sudah selesai. Tanpa peduli dengannya lagi, aku segera pergi. 

Mesya sudah ada di ruang club fisika ketika aku sampai. Dia seperti tengah sengaja menunggu kedatanganku. 

Aku menghela napas sejenak sebelum bergerak masuk ke ruangan yang sudah penuh oleh beberapa anak-anak club. Mereka terlihat sibuk  mendiskusikan soal-soal fisika. 

"Gimana? Udah lo kasih?" tanya Meysa setengah berbisik ketika aku sampai dan duduk di kursi yang bersisian dengannya.

"Udah," sahutku singkat seraya meletakkan tas ke meja. Aku mengeluarkan buku fisika. Beberapa soal sudah aku tandai untuk menjadi bahan diskusi sore ini. 

"Terus gimana?" 

Aku kembali menghela napas. Harusnya Meysa bisa membaca ekspresiku. Hal kayak gini bukan pertama kali. Aku sampai capek bilang sama cewek itu buat stop memberi hadiah-hadiah ke Prince. 

Meysa terlihat kecewa karena aku tak kunjung bersuara. "Kenapa sih susah banget bikin dia natap gue?" desah cewek itu menyandarkan punggung ke kursi. Dia sadar, tapi bebal. 

Namun tiba-tiba punggung Meysa kembali menegak dan aku sangat tahu itu bukan pertanda baik. 

"Kalau pake kado nggak mempan pake makanan pasti bisa. Sin, makanan kesukaan Prince apa?"

Tuh kan! 

Aku mengarahkan bola mata ke atas. "Ya Tuhan, kapan sih anak ini jera?" 

Meysa malah tertawa mendengarnya.  Entah hatinya terbuat dari apa. Ditolak ribuan kali masih aja suka. Kalau aku sih ogah. 

"Sin ...." Dia merengek lagi sambil menggoyang lenganku. 

Sumpah aku males banget kalau dia sudah begitu. "Gue nggak tau." 

Aku mengabaikan, mengalihkan tatapan ke dua orang di depanku yang sedang membahas soal. "Kalian ada yang bisa ngerjain soal nomor dua dan sepuluh di halaman delapan nggak? Bantuin dong." 

Di saat yang bersamaan aku mendengar napas Meysa berembus kasar. 

Keduanya mendongak. Lalu menatap satu sama lain sebelum mengangguk dan tersenyum.  

"Yang nomor dua itu pakai rumus Newton," ujar cowok dengan kacamata minus yang terlihat pas pada wajahnya. Dia Ricko, anak XI IPA 2. "Lo tinggal aplikasikan ke variable yang dihasilkan dari perhitungan sebelumnya." 

"Oh, oke." Aku mengangguk dan menarik bukuku kembali. 

"Lo beneran nggak tau?" 

Suara Meysa kembali menginterupsi. Dia belum mau menyerah. Namun, aku berusaha nggak peduli dan terus mengerjakan soal. Syukurlah, Pak Bian akhirnya datang sehingga berhasil menghentikan Meysa yang kayaknya masih ingin terus membahas tentang Prince. 

Aku terkurung di ruang club fisika cukup lama. Ada soal tambahan lumayan pelik yang harus kami pecahkan. Minggu depan sudah memasuki seleksi olimpiade daerah, nggak heran kalau Pak Bian terus menggembleng kami. 

Sekitar pukul lima sore aku baru bisa keluar dari ruang club fisika. Meysa sudah lebih dulu pulang dijemput papanya. Sore beginii suasana sekolah masih ramai. Anak-anak dari klub karate dan basket masih menyemarakan dua lapangan di tengah-tengah gedung. 

Buat menuju parkir sepeda aku terpaksa melewati dua lapangan itu lantaran parkir sepeda ada di belakang gedung kelas XII IPS berdampingan dengan toilet belakang dan ruang ganti. 

"Cinderella pun tiba ... dengan kereta kencana... Sepatu buluk hiasi kakinya ..." 

Aku mengembuskan napas seraya merapatkan bibir mendengar lagu itu dinyanyikan dengan iseng oleh ... entah siapa, tapi suara itu berasal dari lapangan basket yang sekarang sejajar lurus dengan posisiku berjalan. 

Kepalaku menoleh dengan bibir berkerut. Menyorot tajam pada beberapa gerombolan anak basket yang digawangi Prince. 

"Cie ... Cinderella-nya liat ke arah kita!" teriak salah satu dari mereka dengan nada menyebalkan. Sementara anak-anak lain tertawa. 

Namun, dari arah yang nggak disangka, tiba-tiba sebuah bola basket tampak melayang begitu cepat ke arahku. Mataku sontak melebar, tapi anehnya aku nggak bisa bergerak atau menghindar. Aku persis orang bodoh, diam di tempat seolah menanti kedatangan bola orens itu menghantam kepalaku. 

Refleks aku memejamkan mata erat ketika bola itu makin dekat hingga ....

Satu detik, dua detik, tiga detik. Hening. Dahiku berkerut saat aku nggak merasakan sakit apa pun. Harusnya bola itu sudah mengenai wajahku kan? 

Sontak aku membuka mata dan menemukan bola orens itu tepat berada di depanku. Cuma nggak melayang seperti tadi, tapi bola itu dipegang oleh seorang cowok yang nggak aku kenal. Bahkan nggak pernah kulihat sebelumnya.

"Kamu nggak apa-apa?"

Mataku mengerjap saat melihat cowok itu tersenyum. Demi Tuhan! Aku belum pernah melihat cowok yang memiliki senyum semanis dia. 

Siapa dia?

 


 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • kori

    Colokin aja tuh daun ke matanya

    Comment on chapter Bab 2
  • kori

    Prince tipe yang kudu ditampol dulu

    Comment on chapter Bab 1
  • shasa

    Bakal seru ini wkwk...

    Comment on chapter Bab 1
  • jewellrytion

    Bener-bener bad Prince!! Sesuai dengan judulnya. Baru baca Bab 1 aja udah bikin spaneng sama kelakuannya 😩😂😂

    Comment on chapter Bab 1
Similar Tags
Aku Benci Hujan
7611      1996     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
193      166     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Seiko
655      481     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
Secret Melody
2314      816     3     
Romance
Adrian, sangat penasaran dengan Melody. Ia rela menjadi penguntit demi gadis itu. Dan Adrian rela melakukan apapun hanya untuk dekat dengan Melody. Create: 25 January 2019
Man in a Green Hoodie
5176      1289     7     
Romance
Kirana, seorang gadis SMA yang supel dan ceria, telah memiliki jalan hidup yang terencana dengan matang, bahkan dari sejak ia baru dilahirkan ke dunia. Siapa yang menyangka, pertemuan singkat dan tak terduga dirinya dengan Dirga di taman sebuah rumah sakit, membuat dirinya berani untuk melangkah dan memilih jalan yang baru. Sanggupkah Kirana bertahan dengan pilihannya? Atau menyerah dan kem...
Varian Lara Gretha
5605      1724     12     
Romance
Gretha harus mempertahankan persahabatannya dengan Noel. Gretha harus berusaha tidak mengacuUhkan ayahnya yang berselingkuh di belakang ibunya. Gretha harus membantu ibunya di bakery untuk menambah biaya hidup. Semua harus dilakukan oleh Gretha, cewek SMA yang jarang sekali berekspresi, tidak memiliki banyak teman, dan selalu mengubah moodnya tanpa disangka-sangka. Yang memberinya semangat setiap...
Perjalanan Tanpa Peta
77      72     1     
Inspirational
Abayomi, aktif di sosial media dengan kata-kata mutiaranya dan memiliki cukup banyak penggemar. Setelah lulus sekolah, Abayomi tak mampu menentukan pilihan hidupnya, dia kehilangan arah. Hingga sebuah event menggiurkan, berlalu lalang di sosial medianya. Abayomi tertarik dan pergi ke luar kota untuk mengikutinya. Akan tetapi, ekspektasinya tak mampu menampung realita. Ada berbagai macam k...
Photobox
6681      1652     3     
Romance
"Bulan sama Langit itu emang bersama, tapi inget masih ada bintang yang selalu ada." Sebuah jaket berwarna biru laut ditemukan oleh Langit di perpustakaan saat dia hendak belajar, dengan terpaksa karena penjaga perpustakaan yang entah hilang ke mana dan Langit takut jaket itu malah hilang, akhirnya dia mempostingnya di media sosialnya menanyakan siapa pemilik jaket itu. Jaket itu milik Bul...
Help Me to Run Away
2665      1191     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
A Missing Piece of Harmony
440      317     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...