Apes memang. Bisa enggak, sih, tukar anggota aja? Tatapan dan seringai yang Prince lempar membuatku bisa menebak apa yang ada di pikirannya sekarang.
Aku yakin bakal kerja dobel lagi kalau begini. Prince itu malasnya nggak tertolong. PR aja nggak pernah dikerjain. Seandainya sistem tinggal kelas masih ada, aku yakin dia masuk daftar itu.
"Mau duduk aja lo? Cari daun, gih," ujarku, memerintah.
Prince masih asyik berleha-leha dengan ponselnya, padahal anak-anak lain sudah siap dengan jas praktikum dan tetek bengek perlengkapan praktikum.
"Kok gue? Mana ngerti gue. Lo aja yang cari," sahutnya ogah-ogahan.
Aku membuang napas dan melirik ke depan ruangan. Bu Abel entah pergi ke mana, tanpa pengawasan beliau, murid seperti Prince suka seenaknya.
"Cari, atau gue nggak mau nyontekin tugas ini." Aku mendelik, dan berhasil mendapat perhatian Prince.
Cowok itu berdecak sebal. Lalu tanpa berkomentar apa pun beranjak keluar dari lab.
Nggak lama dia datang membawa daun, oh bukan hanya daun, ranting-rantingnya juga ikut dia bawa. Astaga! Aku menepuk jidat melihatnya menyodorkan ranting pohon yang lumayan rimbun. Kelompok di sebelahku sampai terkikik melihat kelakuan cowok berponi itu.
"Kenapa nggak sekalian lo bawa cabang-cabang pohonnya?" ujarku gemas seraya merebut ranting pohon itu.
"Bawel banget, sih. Kalau kurang lo ngomel lagi."
"Ya, nggak sebanyak ini juga kali. Selembar daun juga cukup."
"Bodo, ah. Yang penting daunnya udah ada."
Aku nggak menimpali lagi karena Bu Abel datang dan meminta kami langsung melakukan pratikum.
"Biar gue aja yang liat. Lo siapin bahannya ke kaca preparat," ucap Prince sok bossy. Padahal di bawah meja, jarinya terus menggulir layar ponsel.
"Iris setipis mungkin ya, anak-anak. Agar sel jaringannya bisa dilihat melalui mikroskop," seru Bu Abel di depan sana. Aku berharap beliau keliling memantau anak didiknya ini, agar nggak ada murid yang ndableg seperti Prince.
"Nggak kelihatan apa-apa," ujar Prince saat mulai melihat preparat melalui lensa mikroskop. "Lo bisa bikin preparat nggak, sih?"
Sontak aku berdecih. Memangnya dia bisa? Aku mendorong lengannya agar menyingkir. Dia terlihat sebal dan hendak membuka mulut tapi menutup lagi ketika melihat teman-teman mulai memperhatikan kami.
Aku bisa melihat dengan jelas beberapa bagian sel daun melalui mikroskop. Memang nggak sejelas seperti preparat yang sekolah punya, tapi masih terbilang lumayan buat ukuran preparat yang dibikin anak sekolahan.
Mataku melihat mikroskop, sementara tanganku mulai menggerakkan pena di atas kertas, menggambar apa yang kulihat.
"Emang kelihatan?" tanya Prince seperti menyangsikan.
Namun, aku nggak peduli dan terus menggambar. Setelah semua selesai baru aku menjauh dari mikroskop tersebut dan melihat hasil gambarku.
"Lo yakin gambarnya seperti itu?" tanya Prince dengan tatap meremehkan.
"Lo liat aja sendiri," ujarku tanpa menoleh padanya sembari memperbaiki gambar.
Beberapa detik berikutnya, aku mendengar Prince berseru, katanya dia bisa melihat stomata.
"Gue udah bikin preparat, sekarang giliran lo yang bikin laporan."
Prince yang masih menunduk di depan moncong lensa mikroskop kontan menoleh dan melayangkan protesnya. "Kok gue?"
"Ya, terus siapa? Setan? Di kelompok ini kan cuma ada gue sama elo, ya kali gue nyuruh Marcell." Aku mendengus sebal dan mendorong kertas laporan ke dadanya. Prince memang payah dalam hal pelajaran, tapi herannya banyak banget yang memuja dia.
"Ya lo lah. Sekalian." Dahinya berlipat ketika mengatakan itu.
"Terus kerjaan lo ngapain?" Aku bersedekap tangan menatapnya.
"Kasih semangat lo buat ngerjain laporan."
Sotoy!
"Lo ini memang payah banget, ya," desisku lalu mengambil kertas laporan dari tangannya lagi.
Ujung-ujungnya aku semua yang ngerjain!
***
"Nih!"
Dengan malas aku menyerahkan kado dari Meysa buat Prince saat kami berada di locker. Ini kesialan berikutnya. Locker-ku berdekatan dengan locker cowok itu.
Awalnya nggak masalah karena Prince selalu menganggapku nggak ada. Namun sejak aku tinggal di rumahnya, semua terasa kacau.
"Apaan?" sahutnya ketus dan terlihat nggak peduli.
Aku sudah menduga. Sikapnya sama saja seperti hari-hari lalu. "Kado dari Meysa."
Cowok yang sudah mengganti pakaian dengan baju basket itu berdecak. "Lo kurir?"
Tatapku sontak bergulir padanya. Dan ternyata Prince tengah menatapku juga dengan pandangan meremehkan seperti biasanya.
"Terserah lo mau ngomong apa. Kalau bukan karena temen gue yang merengek, gue juga ogah jadi kurir."
Aku mendorong kado itu ke perutnya, membuat cowok itu refleks menerima kado tersebut. Setelah itu, aku memutar dan beranjak. Namun baru tiga langkah, aku mendengar suara sesuatu yang dilempar ke tong sampah.
Langkahku kontan berhenti, dan kepalaku sedikit menoleh ke tong sampah di sebelah kanan. Dia pembasket hebat, hadiah dari Mesya jatuh tepat ke dalam tong sampah!
"Nggak guna," umpatnya pelan, tapi masih bisa aku dengar.
Dia memang sebrengsek itu. Nggak pernah menghargai perhatian kecil dari orang-orang di sekitarnya. Whatever, tugasku sudah selesai. Tanpa peduli dengannya lagi, aku segera pergi.
Mesya sudah ada di ruang club fisika ketika aku sampai. Dia seperti tengah sengaja menunggu kedatanganku.
Aku menghela napas sejenak sebelum bergerak masuk ke ruangan yang sudah penuh oleh beberapa anak-anak club. Mereka terlihat sibuk mendiskusikan soal-soal fisika.
"Gimana? Udah lo kasih?" tanya Meysa setengah berbisik ketika aku sampai dan duduk di kursi yang bersisian dengannya.
"Udah," sahutku singkat seraya meletakkan tas ke meja. Aku mengeluarkan buku fisika. Beberapa soal sudah aku tandai untuk menjadi bahan diskusi sore ini.
"Terus gimana?"
Aku kembali menghela napas. Harusnya Meysa bisa membaca ekspresiku. Hal kayak gini bukan pertama kali. Aku sampai capek bilang sama cewek itu buat stop memberi hadiah-hadiah ke Prince.
Meysa terlihat kecewa karena aku tak kunjung bersuara. "Kenapa sih susah banget bikin dia natap gue?" desah cewek itu menyandarkan punggung ke kursi. Dia sadar, tapi bebal.
Namun tiba-tiba punggung Meysa kembali menegak dan aku sangat tahu itu bukan pertanda baik.
"Kalau pake kado nggak mempan pake makanan pasti bisa. Sin, makanan kesukaan Prince apa?"
Tuh kan!
Aku mengarahkan bola mata ke atas. "Ya Tuhan, kapan sih anak ini jera?"
Meysa malah tertawa mendengarnya. Entah hatinya terbuat dari apa. Ditolak ribuan kali masih aja suka. Kalau aku sih ogah.
"Sin ...." Dia merengek lagi sambil menggoyang lenganku.
Sumpah aku males banget kalau dia sudah begitu. "Gue nggak tau."
Aku mengabaikan, mengalihkan tatapan ke dua orang di depanku yang sedang membahas soal. "Kalian ada yang bisa ngerjain soal nomor dua dan sepuluh di halaman delapan nggak? Bantuin dong."
Di saat yang bersamaan aku mendengar napas Meysa berembus kasar.
Keduanya mendongak. Lalu menatap satu sama lain sebelum mengangguk dan tersenyum.
"Yang nomor dua itu pakai rumus Newton," ujar cowok dengan kacamata minus yang terlihat pas pada wajahnya. Dia Ricko, anak XI IPA 2. "Lo tinggal aplikasikan ke variable yang dihasilkan dari perhitungan sebelumnya."
"Oh, oke." Aku mengangguk dan menarik bukuku kembali.
"Lo beneran nggak tau?"
Suara Meysa kembali menginterupsi. Dia belum mau menyerah. Namun, aku berusaha nggak peduli dan terus mengerjakan soal. Syukurlah, Pak Bian akhirnya datang sehingga berhasil menghentikan Meysa yang kayaknya masih ingin terus membahas tentang Prince.
Aku terkurung di ruang club fisika cukup lama. Ada soal tambahan lumayan pelik yang harus kami pecahkan. Minggu depan sudah memasuki seleksi olimpiade daerah, nggak heran kalau Pak Bian terus menggembleng kami.
Sekitar pukul lima sore aku baru bisa keluar dari ruang club fisika. Meysa sudah lebih dulu pulang dijemput papanya. Sore beginii suasana sekolah masih ramai. Anak-anak dari klub karate dan basket masih menyemarakan dua lapangan di tengah-tengah gedung.
Buat menuju parkir sepeda aku terpaksa melewati dua lapangan itu lantaran parkir sepeda ada di belakang gedung kelas XII IPS berdampingan dengan toilet belakang dan ruang ganti.
"Cinderella pun tiba ... dengan kereta kencana... Sepatu buluk hiasi kakinya ..."
Aku mengembuskan napas seraya merapatkan bibir mendengar lagu itu dinyanyikan dengan iseng oleh ... entah siapa, tapi suara itu berasal dari lapangan basket yang sekarang sejajar lurus dengan posisiku berjalan.
Kepalaku menoleh dengan bibir berkerut. Menyorot tajam pada beberapa gerombolan anak basket yang digawangi Prince.
"Cie ... Cinderella-nya liat ke arah kita!" teriak salah satu dari mereka dengan nada menyebalkan. Sementara anak-anak lain tertawa.
Namun, dari arah yang nggak disangka, tiba-tiba sebuah bola basket tampak melayang begitu cepat ke arahku. Mataku sontak melebar, tapi anehnya aku nggak bisa bergerak atau menghindar. Aku persis orang bodoh, diam di tempat seolah menanti kedatangan bola orens itu menghantam kepalaku.
Refleks aku memejamkan mata erat ketika bola itu makin dekat hingga ....
Satu detik, dua detik, tiga detik. Hening. Dahiku berkerut saat aku nggak merasakan sakit apa pun. Harusnya bola itu sudah mengenai wajahku kan?
Sontak aku membuka mata dan menemukan bola orens itu tepat berada di depanku. Cuma nggak melayang seperti tadi, tapi bola itu dipegang oleh seorang cowok yang nggak aku kenal. Bahkan nggak pernah kulihat sebelumnya.
"Kamu nggak apa-apa?"
Mataku mengerjap saat melihat cowok itu tersenyum. Demi Tuhan! Aku belum pernah melihat cowok yang memiliki senyum semanis dia.
Siapa dia?
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2