Gulali. Senyum itu manis seperti gulali yang ditambah satu kilo gula lagi. Terlampau manis. Bahkan aku mengira bakal diabetes.
Tatapku mengerjap menyaksikan cowok itu melempar bola ke anak-anak club basket. "Hati-hati, Bro, kalau main. Bahaya, bisa benjol kepala orang!" serunya lantang.
Tubuh tinggi itu lantas menoleh padaku. "Masih syok? Nih, minum." Tangannya mengulurkan minuman isotonik berukuran kecil.
Melihat itu kesadaranku kembali. Dengan cepat aku menggeleng. "Enggak, makasih. Yang tadi juga makasih, ya."
Setelah mengatakan itu aku bergegas kabur. Pasalnya berhadapan dengan cowok asing itu membuat dadaku berdebar-debar. Eh, tunggu! Dadaku berdebar lantaran bola basket yang hampir menyasarku, bukan karena cowok itu.
"Tunggu!"
Aku tersentak saat ternyata cowok itu mengejar. Astaga, mau ngapain? Ketika aku berbelok ke belakang kelas XII IPS, dia berhasil menjegal langkahku. Sontak kakiku mengerem mendadak.
"Buru-buru amat, sih?"
Muka ganteng itu sekarang di depanku lagi, bikin grogi setengah mati. Aneh, seumur-umur aku nggak pernah grogi begini pada lawan jenis. Grogiku biasanya saat ngadepin audience yang memperhatikan aku lomba pidato bahasa Inggris, bukan karena cowok asing yang nggak pernah aku lihat sebelumnya.
"Itu ... gue mau balik. Udah sore."
"Oh." Cowok itu mengangguk, tapi nggak mau menyingkir dari depanku. Malah dia mengulurkan tangan. "Aku Regan."
Tanpa diminta, cowok itu mengenalkan diri. Tentu saja aku nggak langsung menyambut. Aku menatap tangannya yang terulur, dan sialnya lagi-lagi aku dibikin grogi sama senyumnya.
"Gue Sindy," sahutku akhirnya, dan menyambut ragu uluran tangan itu.
"Salam kenal, ya. Sori, kita pake sapaan aku-kamu aja bisa?"
Heh! Aku yakin wajahku sekarang merah padam. Bukannya apa, sapaan aku-kamu di sini biasanya digunakan buat orang yang memiliki hubungan spesial. Lah dia? Kenal aja barusan.
"Aku nggak terbiasa pake lo-gue," ujarnya lagi seolah menjawab kekagetanku.
Aku meringis, lantas mengangguk. Apa boleh buat?
"Kalau gitu, aku balik dulu. Bye." Aku mengangkat tangan ragu dan segera beranjak ke parkir sepeda.
Hingga aku menaiki sepeda dan keluar dari lingkungan sekolah lewat pintu belakang, Regan masih berdiri di tempatnya seraya mengawasiku. Cowok itu kenapa, sih?
***
"Woy, ban sepeda lo bocor tuh!" teriak Prince dari atas motornya.
Spontan aku menunduk dan meneliti dua roda sepeda. Benar. Ban belakang kempes. Aku mendengus sebal. Pasalnya ini sudah terlalu siang, kalau harus mengurusi ban sepeda dulu, bisa-bisa aku telat.
"Jam segini bengkel belum ada yang buka. Selamat jalan kaki ...," ejek Prince dengan nada suara menyebalkan sambil tertawa. Setelahnya, dan tanpa perasaan dia pergi dengan motornya, meninggalkan asap yang mengepul, mengganggu pernapasan.
Manusia itu bener-bener, ya!
Aku melepas napas panjang dan terpaksa mengembalikan sepeda ke tempatnya di samping rumah.
"Loh kok belum berangkat, Neng?" tanya Bi Tuti melihatku masih berada di sekitar rumah besar Suganda.
"Ban sepedaku bocor, Bi. Ya udah, aku berangkat dulu, Bi."
Aku melesat keluar dari pintu samping rumah. Berlari cepat menapaki halaman luas taman sebelum menyelinap keluar gerbang rumah mewah ini.
"Neng Sindy, jangan lari-lari nanti jatuh," seru Pak Gito yang sudah stand by di pos jaga. Aku hanya melambaikan tangan sebelum lanjut berlari.
Kalau nggak lari aku bisa telat. Angkutan umum ada di depan komplek dan jaraknya lumayan jauh. Peluh di dahi mulai bercucuran lantaran matahari makin meninggi. Napasku sedikit tersengal dengan jantung terpacu lebih cepat. Aku benci telat, jadi sekuat tenaga mengayunkan kaki agar cepat-cepat keluar gedung perum untuk mencegat angkutan. Sebuah mobil yang melintas dengan cepat pun nggak aku hiraukan.
Senyumku terbit saat pos penjaga gerbang perum sudah terlihat. Aku mempercepat lari. Namun, sebuah mobil yang jauh di depanku tiba-tiba bergerak mundur. Refleks aku mundur dan menepi, membiarkan mobil itu lewat. Ah, tidak, mobil itu tiba-tiba berhenti. Aku yang tadi juga sempat berhenti sesaat kembali melangkah cepat. Bodo amat, keburu telat.
"Sindy!"
Aku yang ingin buru-buru sampai gerbang berhenti seketika saat sebuah suara dari dalam mobil tersebut meneriakkan namaku. Spontan aku menoleh, dan melihat mobil itu bergerak menjajari langkahku.
"Mau ke sekolah, kan? Yuk, bareng aja," ucap si pengemudi.
Yang membuatku tercengang, ternyata sosok di balik kemudi adalah cowok kemarin sore yang senyumnya semanis gulali. Regan. Saat ini pun dia sedang tersenyum, bikin dadaku kebat-kebit menjijikkan.
Aku masih memaku di tempat. Ini dia nawarin gue?
Seumur-umur aku belum pernah naik mobil pribadi, tapi kalau lihat sering. Mobil majikan ibu, alias keluarga Suganda yang sering seliweran hanya bisa dilihat dan disentuh, tapi nggak bisa dinaiki.
"Yuk, nanti telat lho."
Aku tersentak mengingat waktu yang terus berdetak. Kulihat Regan mencondongkan badan ke samping dan membuka pintu mobil yang paling dekat dengan tempatku berdiri.
"Yuk, masuk."
Aku tersenyum canggung sebelum menurutinya. Entah kenapa aku jadi deg-degan. Nggak peduli dibilang norak, tapi ini memang baru pertama kalinya aku naik mobil pribadi, seringnya angkot, dan paling banter ojek. Bahkan aku mikir seribu kali buat naik taksi online.
Regan mengenakan jaket yang resletingnya terbuka, membuat seragam yang dia kenakan menyembul. Dia memakai seragam yang sama denganku.
"Kamu sekolah di Dwi Warna juga?" tanyaku. Harusnya aku bisa menebak saat kemarin bertemu di sekolah.
Cowok itu mengangguk dan lagi-lagi melempar senyum maut. Melihat tampangnya yang begitu cute aku yakin Kara dan Meysa bakal putar haluan jadi ngefans sama Regan, bukan Prince lagi.
"Ini hari pertama aku masuk. Sebenarnya tanggung banget sih pindah, karena aku udah kelas XII, tapi ibuku maksa."
Aku menoleh cepat mendengar penuturannya. "Kakak kelas dong. Harusnya aku panggil kamu kakak, ya."
Regan tertawa kecil, dan itu makin menambah kadar ketampanannya. "Nggak perlu begitu. Cukup panggil nama aja."
Dari wajahnya dia terlihat pintar. Pembawaannya tenang dan nggak pecicilan seperti Prince. Meskipun sama-sama ganteng, aku yakin kepribadian mereka sangat bertolak belakang.
"Jadi, kamu mau kan jadi temanku?" tanya Regan begitu dia berhasil memarkirkan mobil di halaman parkir sekolah. Berkat dia aku nggak jadi telat.
Nggak ada yang bisa aku jawab selain mengangguk. "Regan, makasih, ya buat tebengannya," ujarku sebelum beranjak turun.
"Sama-sama."
Tapi ... Ini gimana cara bukanya?
Regan tiba-tiba mencondongkan badan ke arahku. Kepalanya melewati wajahku, membuatku refleks mundur dan menahan napas. Aku sempat menghidu aromanya yang wanginya maskulin banget. Benar-benar—
"Begini cara bukanya," ucapnya lantas membuka pintu di sampingku.
Aku meringis, jujur malu. Wajahku pasti terlihat bego sekarang. Adegan membuka pintu mobil padahal sudah sering aku lihat di TV-TV, tapi pas dihadapkan realita malah bengong dan katrok.
"Sekali lagi makasih, ya," ucapku sebelum lari terbirit-birit menjauhi lahan parkir mobil. Malu!
Kakiku baru saja menginjak lantai kelas saat Kara dan Meysa jejeritan sambil berlari menghampiriku. Keduanya langsung menggaet tanganku.
"Lo tau nggak, katanya ada murid baru yang gantengnya ngalahin Prince loh," cerocos Kara dengan wajah penuh binar.
Berita tentang murid baru ganteng ternyata cepat menyebar.
"Katanya kemarin sore sempat ada di sini, Sin. Tapi kok kita nggak liat, ya. Padahal kan kita pulang sore," imbuh Meysa.
Kita? Dia aja kali. Aku merasa beruntung karena menjadi orang pertama yang menjadi temannya di sekolah ini.
"Tau, namanya Regan," responsku sambil melepas tas selempang dari pundak, lalu duduk di bangku kesayangan.
"Demi! Kok lo nggak kasih tau gue, sih?"
Aku mengernyit mendengar pekikan Kara. Dua cewek centil ini selalu saja berisik kalau urusan cowok.
"Lo tau dari mana?" tanya Meysa yang sudah duduk di sampingku dengan wajah penasaran. Kara di sisi lainnya pun tak kalah heboh.
"Kemarin gue liat kok, dan sempat kenalan juga."
"Sindy!" seru Kara dan Meysa bersamaan, membuat isi kelas kompak menoleh ke meja kami.
"Astaga, kalian kenapa sih?" Aku menatap keduanya dengan kesal. Nggak cukup sampai di situ sekarang mereka mengguncang-guncang lenganku.
"Kenalin, gue juga mau kenalan!" seru Meysa.
Bola mataku berotasi. "Kalau mau kenalan ya udah kenalan aja sendiri."
"I-ih, lo tuh curang. Kenalan sama cowok ganteng nggak ngajak-ngajak." Kara mendorong bahuku sambil cemberut. Apaan, sih.
"Jangan konyol deh kalian. Apanya yang ganteng, mata kalian rabun ya?"
Seseorang yang baru saja masuk tiba-tiba menyambar. Serta-merta kami menoleh ke sumber suara dan menemukan Prince lengkap dengan bola basket dan para centengnya.
"Di sekolah ini nggak ada yang bisa nyaingin kegantengan Prince," ujar Marcell si pemilik suara, salah satu centeng Prince sekaligus ketua kelas di sini.
Kara beranjak berdiri dan bersedekap tangan menatap mereka.
"Oh ya? Padahal seru loh kalau Prince ada saingan. Tapi denger-denger sih, dia memang ganteng. Wah, lumayan lah buat nambah stok cowok the most wanted di Dwi Warna."
Aku bisa melihat wajah Prince memberengut.
"Gue udah lihat, kok. Dan dia memang ganteng," ucapku seraya melirik tampang Prince yang asem, ngalahin keteknya yang penuh keringat sehabis main basket.
Prince nggak berkomentar apa pun. Dia berjalan melewati kami begitu saja.
Namun, beberapa saat kemudian terdengar seruannya yang begitu lantang. "Percuma kalau ganteng nggak bisa main bola. Lemah syahwat itu namanya."
Sontak seluruh isi kelas geger menertawakan kata-katanya yang—serius, itu nggak lucu.
============
Yuk jangan lupa like dan komen ya, Gaes.
Colokin aja tuh daun ke matanya
Comment on chapter Bab 2