Malam turun tanpa suara. Angin hanya menggoyang tirai tipis yang setengah terbuka di kamar Maura. Langit di luar kelabu, seperti pertanda bahwa hujan bisa datang kapan saja, atau tidak datang sama sekali—seperti Maureen yang pergi tanpa benar-benar mengucapkan selamat tinggal.
Maura duduk bersila di atas karpet, dikelilingi oleh buku-buku yang dulunya milik Maureen. Di hadapannya terbuka buku jurnal Maureen, bagian dalam sampulnya telah ditandai oleh simbol-simbol aneh yang terus menghantui pikirannya. Ia mulai mencatat satu per satu simbol yang ia temukan—huruf, angka, garis melengkung, dan pola segitiga yang tersambung di ujung.
Hari itu, ia memutuskan untuk menyatukan semua potongan yang masih bisa ia pahami. Ia menuliskan simbol-simbol itu di kertas kosong, membandingkannya dengan halaman-halaman lain dalam buku Maureen, juga dari catatan kecil yang ia temukan di antara tumpukan novel dan komik lama mereka. Ada satu pola yang berulang—gambar cermin kecil dengan garis terbelah, selalu ditandai dengan tinta merah.
Di balik buku “The Mirror Season”, novel yang selalu dibawa Maureen ke mana-mana, Maura menemukan sesuatu yang baru: selembar kertas menguning, terlipat rapi, terselip rapat di antara sampul dan halaman pembuka. Tulisan tangan Maureen masih bisa dibaca, meski samar: "Janji yang tak ditepati akan terpantul di cermin kedua. Kau tahu di mana harus mencarinya."
Maura membaca ulang kalimat itu tiga kali, setiap kata seperti menusuk jauh ke dalam memorinya. “Cermin kedua.” Ia berbisik. Cermin pertama—jelas itu milik mereka bersama di kamar. Namun, cermin kedua? Di mana letaknya?
Ia berdiri dan melangkah ke arah lemari pakaian tua di sudut kamar. Di dalamnya, masih tergantung jaket Maureen yang terakhir dipakainya. Ia menelusuri saku-saku dan sela-sela pakaian. Tidak ada. Namun, ketika ia menyibak bagian belakang lemari, ia menemukan garis samar di permukaan kayu—goresan melingkar yang menyerupai simbol di jurnal.
Ia menempelkan telapak tangan ke sana. Dingin. Entah mengapa, ia merasa Maureen pernah menyentuh tempat itu dengan cara yang sama.
Ponselnya bergetar. Pesan dari Harry.
Harry: “Kamu masih ingat ‘musim cermin’? Aku rasa itu bukan cuma dongeng.”
Maura terdiam. Ia menatap layar ponsel, lalu kembali menatap simbol yang ada di buku. Musim cermin. Itu bukan sekadar permainan masa kecil. Mereka sering menyebutnya saat sedang menyusun cerita khayalan di bangku SMP, terutama dengan Maureen dan Harry bertukar kode-kode melalui surat kecil.
Tiba-tiba, semua simbol ini bukan lagi sekadar kebingungan. Ada pola. Ada pesan. Ada arah.
Di tempat lain, Harry duduk di kamarnya, di meja yang penuh dengan kertas dan benda-benda dari masa lalu. Di salah satu kotak kecilnya, ia mengeluarkan potongan kertas usang bertulisan tangan Maureen. Surat yang dulu diberikan padanya—belum sempat ia tunjukkan pada siapa pun. Isinya ganjil: “Kalau aku tidak ada, tanya Maura tentang pintu ketiga. Tapi jangan terburu-buru. Kadang, kita harus tersesat dulu untuk tahu jalan pulang.”
Harry menghela napas panjang. Ia tahu, ini bukan hanya tentang kehilangan. Ini adalah teka-teki yang Maureen tinggalkan, dan bagian dari teka-teki itu seharusnya ia bantu pecahkan bersama Maura.
Sementara itu, Maura melipat kertas yang baru ia temukan dan menyimpannya ke dalam kotak kecil di bawah tempat tidurnya. Hatinya bergemuruh. Ia ingin tidur, tetapi matanya menolak. Ia bangkit, berjalan ke depan cermin besar yang tergantung di sisi dinding.
Cermin pertama. Bayangannya sendiri menatap balik, lelah dan kosong. Lalu, saat ia memiringkan sedikit kepala, ia merasa ... seperti ada bayangan lain—sekelebat sosok Maureen di sisi kirinya. Atau mungkin hanya pikirannya yang terlalu lelah.
“Cermin kedua,” gumamnya.
Malam itu, ia bermimpi tentang Maureen. Kali ini, Maureen tidak menangis. Ia menunjuk ke sebuah pintu kayu tua, dan berkata, "Buka hanya ketika kau siap."
ꕤꕤꕤ
Mimpi itu tidak biasa. Maura melihat dirinya berdiri di lorong panjang dengan dinding kayu tua, diterangi cahaya samar seolah berasal dari lentera yang menggantung di kejauhan. Di ujung lorong ada tiga pintu. Yang pertama terbuka sedikit, menampakkan kamar mereka semasa kecil, dengan ranjang kembar dan tumpukan mainan lama. Yang kedua tertutup rapat, tetapi dari sela-selanya, terdengar suara tangisan samar. Lalu, yang ketiga … gelap, nyaris tak terlihat.
Maureen berdiri di samping Maura dalam mimpi itu, mengenakan pakaian putih yang bersih, tetapi tampak lusuh. Wajahnya tak murung, melainkan tenang. Ia menunjuk ke arah pintu ketiga.
“Buka hanya ketika kau siap.”
Yap! Maura terbangun. Ia terduduk di ranjang. Jam di dinding menunjukkan pukul 03.14 pagi. Masih gelap. Namun, ia tidak bisa kembali tidur.
Segera, ia mengambil buku Maureen dan menelusuri kembali halaman-halaman yang berisi simbol dan catatan rahasia. Kali ini, ia menemukan halaman yang selama ini terlewat. Di balik halaman terakhir, tertulis dengan tinta hitam: “Satu pintu membawa kita kembali. Satu pintu mengungkap luka. Pintu ketiga menyimpan kebenaran. Tapi setiap pintu, harus dibuka dengan kunci yang berbeda.”
Maura menyalakan lampu belajar. Ia mulai menyalin kata-kata itu di catatan pribadinya, lalu menambahkan pemikiran di bawahnya.
Pintu pertama = masa lalu?
Pintu kedua = emosi tersembunyi?
Pintu ketiga = kebenaran Maureen?
Kunci. Ia mulai bertanya—apa yang dimaksud Maureen dengan “kunci”? Apakah itu sesuatu yang menyimpan banyak rahasia? Ataukah ada hal lain yang besar, tetapi terlihat kecil?
Malam itu, Maura membongkar kembali seluruh isi lemari, termasuk kotak surat dan jurnal lama yang pernah mereka tulis bersama sewaktu masih di SMP.
Di balik buku cerita yang dulu mereka tulis bersama tentang dunia imajiner bernama “Lumora,” ia menemukan halaman yang menampilkan gambar tiga pintu. Maureen menggambar ketiganya dengan warna berbeda: biru, ungu, dan hitam. Di atas pintu ketiga, tertulis: "Rahasia terakhir.”
Juga di sudut bawah halaman itu, tergambar sebuah kunci kecil dengan bentuk aneh: melengkung seperti spiral dan di ujungnya ada tanda bulan sabit.
Maura membeku. Karena bentuk itu—ia pernah melihatnya sebelumnya. Di kalung yang selalu dikenakan Maureen, yang kini tergantung di dalam laci kecil meja rias.
Ia segera mengambil kalung itu. Liontinnya, ternyata bukan sekadar hiasan. Ada lekukan kecil di tengahnya, dan saat ditekan, terdengar bunyi klik halus. Bagian tengah liontin membuka, dan di dalamnya terdapat selembar kertas kecil yang terlipat rapi.
Dengan tangan gemetar, Maura perlahan membuka lipatan kertas itu.
“Jika kamu temukan ini, berarti kamu bersedia berjalan di lorong yang aku lalui. Jangan takut pada cermin, Maura. Tak semua pantulan adalah kebohongan.”
Hening. Kalimat itu menyusup seperti udara dingin ke dalam paru-paru Maura. Ia tahu, Maureen tidak sekadar bicara tentang kematian. Ia bicara tentang sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tidak pernah sempat ia ungkapkan dengan kata-kata langsung. Mungkin rahasia. Mungkin luka. Mungkin ... kebenaran tentang bagaimana dan mengapa Maureen ditemukan tak bernyawa di tempat tidurnya.
Maura menutup kalung itu rapat-rapat dan meremasnya di telapak tangan. Malam masih panjang, tetapi ia tahu satu hal dengan pasti. Pintu ketiga sedang menunggunya.