Harry tidak tahu sejak kapan dia mulai memimpikan suara tawa Maureen. Padahal, sudah lama sekali sejak terakhir kali ia bertemu gadis itu. Namun, tawa itu—jernih, menyentuh, sedikit sinis, tetapi penuh rasa penasaran—masih terngiang, seolah Maureen tidak pernah benar-benar pergi.
Ia duduk di kamar, di depan meja belajarnya yang penuh coretan peta mental. Kertas-kertas berserakan: ada sketsa kalung Maureen, simbol bulan sabit, dan catatan Maura tentang “pintu ketiga.” Ia bahkan mencetak ulang foto lama mereka bertiga sewaktu SMP. Ada sesuatu yang mulai mengganjal.
Satu foto menampilkan mereka bertiga duduk di taman belakang sekolah lama. Namun, bukan itu yang membuat Harry berhenti menatap. Di belakang mereka, pada dinding batu tua perpustakaan lama, ada ukiran samar yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Bulan sabit.
“Gila,” gumamnya. Ia segera mengambil ponselnya dan menelpon Maura.
“Ada yang harus kamu lihat,” katanya cepat. “Besok, sepulang sekolah. Temui aku di taman belakang gedung lama, yang dekat perpustakaan tua.”
Maura tak langsung menjawab. “Kenapa?” tanyanya kemudian.
“Karena aku pikir kita sedang diajak mencari sesuatu. Maureen meninggalkan jejak. Bukan hanya untukmu, tapi mungkin ... untuk kita.”
ꕤꕤꕤ
Keesokan sorenya, langit mendung menggantung rendah saat Maura berjalan cepat ke arah yang dimaksud Harry. Tempat itu sudah lama tidak dipakai—halaman belakang perpustakaan tua di SMU Pelita Bangsa sudah hampir ditinggalkan sejak renovasi besar-besaran dua tahun lalu. Namun, pohon flamboyan tua di sudut taman itu masih berdiri, dan bangku kayu yang dulu sering mereka duduki—retak dan berjamur—masih tetap di sana.
Harry sudah menunggu. Ia mengangguk pelan dan mengisyaratkan Maura untuk mendekat ke dinding batu yang menjulang. “Lihat ini,” katanya sambil menyorotkan senter kecil ke bagian tengah dinding.
Maura menyipitkan mata. Ada ukiran samar, setengah terkikis waktu. Simbol bulan sabit terukir kecil dan di bawahnya terdapat sebuah angka: 7.3.18
“Apa ini?” bisik Maura.
Harry menggeleng. “Kupikir tanggal. Atau kode?”
Maura menatapnya lama. “Itu hari ulang tahun kita, tapi tahun yang berbeda.”
Harry menahan napas.
Maura mulai mengusap-usap batu di bawah simbol. Suatu bagian terasa berbeda—lebih longgar, mungkin bisa digeser. Ia dan Harry saling bertukar pandang, lalu mendorong batu itu perlahan. Ada suara klik pelan dan batu itu bergeser. Di dalamnya ... sebuah kotak logam kecil.
Harry membuka dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat selembar kertas yang mulai menguning dan sebuah foto Polaroid—foto Maureen di depan cermin besar, memegang sesuatu di tangannya: cermin kecil berbentuk oval, bertuliskan angka yang sama.
Di belakang foto itu, tertulis: "Cari cermin kedua. Pintu ketiga hanya terbuka dengan cahaya yang tepat."
Maura menggenggam kertas itu erat. “Dia tahu kita akan ke sini,” katanya dengan suara pelan.
Harry hanya bisa mengangguk. Dunia yang mereka kenal perlahan membuka sisi gelap dan tak terlihatnya—seperti pintu-pintu tersembunyi dalam rumah tua, dan kini, tak ada jalan untuk kembali.
ꕤꕤꕤ
Malam itu, dengan tangan gemetar, Maura membuka lemari Maureen—yang hingga kini masih dibiarkan seperti saat Maureen meninggal. Riana tidak pernah mengizinkan siapa pun membereskan barang-barang Maureen, seolah ruang itu akan membeku selamanya.
Maura berjongkok, meraba-raba bagian dalam belakang lemari. Ada papan kayu yang terasa renggang. Ia menekannya perlahan, dan seperti dugaan, papan itu bergeser.
Di baliknya, terdapat sebuah cermin oval kecil, identik dengan yang ada di foto. Namun, lebih dari itu, cermin itu bukan sekadar cermin.
Ketika Maura mengangkatnya, ia melihat ukiran pada bingkai belakangnya: "LUX IN TENEBRIS"— Cahaya dalam kegelapan.
Harry yang datang menyusul, ikut menatap dengan mata lebar. “Ini bukan cermin biasa,” gumamnya. “Dan tulisan Latin itu ... seolah mengisyaratkan fungsi lain.”
Maura membalik cermin itu. Di bagian belakang ada ruang kecil seperti tempat baterai. Alih-alih baterai, di dalamnya terdapat pecahan kaca kecil, sangat bening, seolah disengaja untuk menyembunyikan sesuatu di baliknya.
“Kamu lihat ini?” Harry menunjuk ke pantulan cermin saat disorot cahaya senter.
Gambaran samar muncul. Bukan pantulan ruangan, tetapi sebuah pintu dengan angka 13 di tengahnya.
Maura dan Harry saling berpandangan. Tidak ada pintu bernomor 13 di rumah keluarga mereka.
“Ini semacam proyeksi. Petunjuk visual,” kata Harry cepat. “Tapi harus dilihat dengan cahaya tertentu, mungkin sinar matahari langsung?”
Maura mendadak ingat satu tempat. “Ruang loteng,” bisiknya. “Tempat yang Maureen pernah bilang sebagai ‘ruang rahasia’. Dulu, waktu kecil, dia suka naik ke sana pagi-pagi, saat cahaya masuk dari ventilasi sempit.”