Malam itu, hujan turun perlahan seperti gerimis yang menolak menjadi reda. Lampu kamar redup menyentuh tepian ranjang yang masih menyisakan bekas kepala Maureen—cekungan halus di bantalnya belum menghilang. Maura menatapnya lama, seolah berharap Maureen akan kembali dari kamar mandi dan berkata, “Kau curang karena membaca jurnalku duluan.”
Yang datang bukan suara Maureen, melainkan gemerisik dari lemari kayu di pojok ruangan. Lemari yang dulu mereka bagi dua, kini jadi satu sisi kosong. Maura membuka pintu pelan, mencari sesuatu tanpa tahu apa. Hingga matanya menangkap tumpukan buku catatan lusuh, terikat pita biru yang sudah pudar.
Itu bukan sembarang buku. Itu adalah buku lambang mereka. Dulu mereka menyebutnya begitu. Sebuah buku kecil bersampul cokelat dengan halaman-halaman yang disisipi kode, lambang-lambang, dan permainan kata yang hanya mereka berdua pahami. Tidak ada yang tahu selain mereka. Bahkan Mama pun tak pernah menyentuhnya.
Dengan tangan gemetar, Maura meletakkannya di meja belajar dan mulai membuka halaman-halaman pertamanya. Di sana, di halaman keempat, ia menemukan simbol yang baru ia lihat beberapa hari lalu—simbol yang Maureen sisipkan di surat terakhirnya. ∞+∴
Tak ada keterangan, tetapi Maura ingat: itu adalah kode mereka untuk "tidak akan selesai, tapi harus dicari". Maureen yang menciptakannya. Sebuah bentuk dari ketakutan mereka akan kehilangan, sekaligus janji bahwa jika salah satu dari mereka hilang, yang lainnya harus terus menggali sampai titik terakhir.
Maura menggigit bibir bawahnya. Di bawah simbol itu, ditulis satu kalimat samar: “Saat yang tersisa tinggal cermin retak, carilah yang terpantul di balik cahaya.”
Kalimat itu membuat jantung Maura melambat. Ia menyalakan senter kecil dan memutar arah cahaya ke cermin di meja rias. Tidak ada yang berubah. Namun, saat ia menyorot bagian sisi cermin, di sana ada bekas goresan. Halus, hampir tak terlihat.
Ia mendekat. Mengelusnya. Goresan itu membentuk sesuatu. Tiga huruf kecil: S.R.H.
ꕤꕤꕤ
Pagi harinya, Maura membawa temuannya ke sekolah. Wajahnya tetap datar di antara lalu lalang siswa dan matanya tak bisa menyembunyikan gejolak dalam dirinya. Nana sempat menyapa, tapi Maura hanya membalas dengan anggukan singkat.
"Maura!"
Harry menghampirinya di parkiran dengan napas sedikit terengah. "Kau nggak bales pesanku semalam."
Maura menoleh sekilas. “Aku ... sibuk.”
Harry tak langsung menanggapi. Matanya menelisik wajah Maura, lalu dengan lembut berkata, “Kau kelihatan kayak orang yang baru bertemu hantu.”
“Aku membaca sesuatu,” ucap Maura. “Sesuatu dari Maureen.”
Mereka berjalan berdampingan menuju koridor belakang, tempat biasa mereka menghindari keramaian.
“Aku butuh bantuamu,” katanya, lalu mengeluarkan buku cokelat dari tasnya. Dibukanya halaman yang berisi simbol dan kalimat misterius itu. "Kau ingat lambang ini?"
Harry mengerutkan alis. “Ini seperti yang pernah Maureen gambar waktu kita bertiga bikin sandi. Aku pikir itu cuma permainan.”
“Tidak. Ini petunjuk.” Maura menatapnya tajam. “Dan aku yakin dia meninggalkannya untukku.”
Harry mengangguk perlahan. “Kau yakin ingin membukanya kembali? Kita nggak tahu apa yang akan kita temukan.”
Maura menggenggam buku itu erat. “Kalau aku nggak mencoba, aku nggak akan pernah tahu kenapa dia benar-benar pergi.”
ꕤꕤꕤ
Di ruang BK, Bu Rissa menerima Maura dengan senyum yang tak dibuat-buat. Di tangannya ada mug teh dan tumpukan dokumen ringan. Ruangan itu hangat, tetapi Maura merasa seolah ada angin dingin yang menyelinap dari bawah pintu.
“Kita bisa mulai kapan saja saat kamu merasa sudah siap,” ucap Bu Rissa.
Maura duduk, membuka resleting tasnya, dan tanpa bicara meletakkan buku cokelat itu di meja.
Bu Rissa menatapnya sejenak. “Itu milik Maureen?”
Maura mengangguk.
“Dan kamu membacanya?”
“Baru sebagian. Tapi ada yang terasa ... bukan pesan biasa. Dia seperti bicara lewat cara yang hanya aku pahami.”
Bu Rissa mencondongkan tubuhnya sedikit. “Apa kamu percaya Maureen sengaja meninggalkan sesuatu untukmu?”
“Sangat.”
Ada keheningan. Lalu Maura berkata pelan, “Aku merasa bersalah. Karena hari itu aku pulang lebih dulu. Karena aku tahu dia menyembunyikan sesuatu, tapi aku ... terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.”
Bu Rissa tidak langsung menimpali. Ia menatap Maura, dengan tatapan yang mengerti—atau berusaha mengerti. “Rasa bersalah adalah bagian dari duka,” ujarnya. “Kadang, perasaan itu datang bukan karena kesalahan, tapi karena cinta yang belum sempat diucapkan.”
ꕤꕤꕤ
Malamnya, Maura menyalakan lampu kecil di meja belajar dan membuka halaman terakhir dari buku lambang itu. Di sana, ia menemukan satu halaman kosong—hanya satu kata yang ditulis di tengah: “Kembali” dan di sudut kanan bawah halaman itu, ada bekas robekan. Seolah pernah ada lembar lain yang kini hilang.
Maura menutup bukunya pelan. Lalu berbisik ke dalam kegelapan, “Maureen ... kau ingin aku kembali ke mana?”