Udara sore itu seperti menyimpan napas dari masa lalu. Langit berwarna kelabu, seolah menunggu waktu yang tepat untuk menangis. Maura berdiri di depan gerbang tua SMP Pelita Bangsa, memegang erat tas selempangnya, dan merapatkan jaket denim yang dulu pernah dipinjamkan Maureen padanya. Di sebelahnya, Harry menyelipkan kedua tangan ke saku celana, matanya menatap gerbang itu dengan sorot yang tak kalah berat.
"Masih inget tempat ini?" tanya Maura lirih, suaranya nyaris kalah oleh deru kendaraan di kejauhan.
Harry mengangguk pelan. “Gimana bisa lupa.”
SMP Pelita Bangsa tak berubah banyak, tetapi ada yang ganjil sejak terakhir kali mereka di sini. Dindingnya kusam, catnya terkelupas, dan sebagian bangunannya tampak dibiarkan terbengkalai. Mereka menyelinap melalui celah samping pagar yang sedikit terbuka—celah yang dulu sering mereka lewati saat ingin pergi ke taman belakang tanpa sepengetahuan guru piket.
Langkah mereka membawa debu dan bunyi ranting patah. Taman belakang perpustakaan lama masih ada, meski lebih sunyi dari yang Maura bayangkan. Pohon mangga tua di pojok masih berdiri, meski daunnya jarang dan rantingnya kering. Bangku marmer tempat mereka dulu sering duduk sudah ditumbuhi lumut.
Maura mendekat perlahan, seakan takut menyentuh kenangan yang terlalu rapuh. “Dulu di sini,” bisiknya sambil menepuk pelan bangku marmer. “Tempat Maureen cerita soal mimpi buruknya yang berulang. Tempat kita bikin ‘perjanjian rahasia’ waktu kelas delapan.”
Harry duduk di sisi bangku, diam sebentar sebelum menjawab. “Perjanjian kalau ada salah satu dari kita yang ... hilang, dua lainnya harus nyari kebenarannya.”
Maura menunduk. “Dan dia yang hilang duluan.”
Hening menggantung. Burung gereja di kejauhan mencicit pendek, lalu diam lagi.
Maura membuka tasnya, mengeluarkan buku Maureen yang penuh simbol. Ia membuka halaman yang ditandai dengan sobekan kertas kecil—potongan surat tak selesai. Di sudut halaman itu ada lingkaran kecil bergambar matahari yang setengah terbenam—sandi pribadi mereka bertiga yang dulu berarti "jangan biarkan hari berakhir dengan rahasia."
Harry mengamati simbol itu. “Kau yakin ini petunjuk?”
“Aku nggak tahu, tapi entah kenapa aku ngerasa ... dia pernah ninggalin sesuatu di sini,” jawab Maura.
Mereka mulai menyusuri sekitar taman, memeriksa pohon, bangku, bahkan kotak pipa di dekat tembok yang dulu tempat mereka menyembunyikan permen. Maura berhenti di akar pohon yang mencuat ke permukaan.
"Aku inget," gumamnya, setengah pada diri sendiri. "Dulu Maureen pernah ngubur sesuatu di sini. Waktu kita main sandi rahasia." Ia jongkok dan mulai menggali dengan tangannya.
Harry ikut membantunya. Tanahnya keras, kering, tetapi tak lama, kuku Maura mengenai sesuatu—seperti ujung kotak logam kecil.
Dengan hati-hati, mereka menariknya keluar. Sebuah kotak bekas permen berkarat, terbungkus plastik usang yang hampir robek. Maura membuka tutupnya. Di dalamnya ada gulungan kertas, sudah menguning, tetapi huruf-hurufnya masih bisa terbaca:
"Jika aku pergi lebih dulu, jangan cari aku di tempat biasa. Tapi ingat, matahari tak pernah terbenam sepenuhnya kalau kau tahu cara menyalakannya lagi." — M.
Maura terdiam.
Harry menatapnya. “Sandi lagi,” bisiknya.
Maura menggenggam kertas itu seperti menggenggam denyut masa lalu. Matanya panas, tapi tak setetes pun air mata keluar. Ia tak tahu harus bahagia karena menemukan jejak, atau semakin hancur karena rahasia yang baru dimulai. "Aku rasa ... ini belum selesai," katanya lirih.
Harry menatap taman yang perlahan ditelan senja. "Dan kita juga belum selesai, Maura."
ꕤꕤꕤ
Malam itu, selepas mengantar Maura pulang dan memastikan ia masuk ke dalam rumah dengan aman. Harry kembali ke rumahnya yang berada di daerah Tebet. Rumah itu kecil, sederhana, dindingnya dipenuhi rak-rak buku milik ibunya yang seorang pustakawan, dan aroma kopi hitam yang masih mengepul dari dapur menjadi penanda hari belum berakhir.
Di kamar yang tak terlalu luas, Harry melemparkan ransel ke kursi dan merebahkan diri di tempat tidur. Namun, tidur tak datang. Wajah Maura, raut matanya saat membaca surat dari Maureen, terus membayang dalam pikirannya.
Ia meraih sebuah kotak kayu dari bawah tempat tidur. Kotak itu sudah lama tak disentuh—sejak pertengkarannya dengan ayahnya dua tahun lalu, sejak ibunya mulai lebih sering lembur di perpustakaan pusat. Ia membuka kotak itu perlahan.
Di dalamnya, ada foto-foto lama: Maura, Maureen, dan dirinya. Tersenyum kaku di halaman depan SMP Pelita Bangsa. Maureen menggenggam tangan Maura erat, sementara Harry berdiri agak di belakang. Ada juga gambar mereka bertiga di taman belakang, duduk di bangku yang tadi siang mereka temui lagi—Maureen sedang menggambar sesuatu di buku, Maura tampak tertawa, dan Harry hanya menatap mereka.
Harry mengambil salah satu kertas lusuh dari dalam kotak itu—gambar tangan Maureen dengan sebuah simbol kecil di tengah telapak: matahari yang dikelilingi bintang-bintang kecil. Di bawahnya, tertulis dengan huruf besar: “Jika hari ini hilang, besok harus ditemukan.”
Kalimat yang dulu terdengar seperti permainan anak-anak, tetapi malam ini, terasa seperti pesan yang tak selesai.
Ia memandangi gambar itu lama. Kemudian, ia membuka ponselnya, membuka folder catatan pribadi, lalu mengetik: “Hari ini kami temukan petunjuk. Maureen tidak ingin ditemukan di tempat biasa. Aku rasa... dia tahu lebih dulu sesuatu yang tidak kami tahu dan aku harus bantu Maura menemukan bagian dari dirinya yang ikut hilang.”
Harry menghapus lalu menulis ulang. “Maureen sedang bicara lewat hal-hal yang tak terlihat. Aku tidak yakin bisa menafsirkan semuanya. Tapi aku janji... aku tidak akan biarkan Maura melewati semua ini sendirian.”
Ia menyimpan catatan itu. Lalu memandangi foto yang satu lagi: Maureen duduk membelakangi kamera, menatap ke arah cahaya sore.
Harry menyentuh layar ponsel, lalu berbisik, “Apa yang kamu sembunyikan, Maureen?”
Malam pun terus berjalan, menulis cerita dengan sunyi yang tak terbaca.