Pagi itu hujan turun seperti sisa-sisa tangisan yang tak sempat tumpah di hari pemakaman. Maura duduk di tepi tempat tidur,mengenakan seragam yang terasa terlalu pas di tubuhnya—seolah sejak Maureen pergi, tubuhnya sendiri tak lagi terasa miliknya.
Ia menatap sepatu hitam yang tergeletak tanpa semangat di lantai, lalu mengenakannya dengan gerakan lambat, mekanis. Di cermin, ia melihat bayangannya sendiri—tanpa Maureen di sampingnya, cermin itu seperti separuh kosong.
Di meja, surat Maureen masih terlipat rapi. Ia belum berani membacanya ulang. Ada sesuatu yang terlalu menyakitkan dalam melihat kalimat yang tak selesai, seakan Maureen benar-benar terputus sebelum ia sempat bicara sepenuhnya.
Seno sudah berangkat sejak subuh. Riana masih di dapur, menyiapkan bekal yang bahkan tidak ditawarkan pada Maura pagi ini. Rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya, meski suara sendok dan piring tetap terdengar. Ketika Maura melangkah ke arah pintu, Riana hanya berkata pelan, “Jangan lupa makan siang.”
Maura tidak menjawab. Ia membuka pintu dan membiarkan angin pagi menyambut wajahnya—lembap, dingin, dan penuh isyarat yang tak bisa ia pahami.
ꕤꕤꕤ
SMU Pelita Bangsa tampak seperti biasanya—riuh rendah siswa yang berlarian, sapaan guru di gerbang, dan bau kantin dari kejauhan. Namun, semua itu seperti berada di balik dinding kaca. Maura berjalan melewati koridor, melewati teman-teman sekelas yang menunduk atau pura-pura menoleh ke arah lain. Ada rasa asing yang membekas. Ruang kelas menyambutnya dengan keheningan aneh. Meja di dekat jendela masih kosong—tempat Maureen biasa duduk.
Maura menarik kursinya dan duduk. Ia tidak membuka buku. Ia hanya memandang papan tulis tanpa melihat apa-apa. Di sebelahnya, Nana—teman sekelas yang dulunya dekat dengan mereka berdua—berdehem pelan.
“Hai, Maura!” sapanya hati-hati.
Maura menoleh. “Hai!”
“Kalau … kamu butuh teman ngobrol, aku di sini, ya.”
Ucapan itu seharusnya hangat. Namun, Maura hanya mengangguk datar, lalu kembali memandangi jendela. Ia tidak ingin bicara. Setidaknya belum.
Pelajaran dimulai. Suara guru terdengar seperti gema jauh, tidak menembus kabut dalam kepala Maura, hingga bel istirahat membuyarkan lamunannya.
Di tengah jam istirahat, seorang guru menjemputnya ke ruang konseling. Bu Rissa sudah menunggunya di sana, dengan senyuman tenang seperti pertemuan mereka sebelumnya.
“Kamu datang,” ucap Bu Rissa.
Maura duduk. “Disuruh,” jawabnya.
Bu Rissa tertawa kecil, tak tersinggung. “Tak apa. Kadang paksaan jadi awal dari sesuatu yang penting.”
Maura hanya menatap meja. “Saya cuma duduk sebentar. Boleh, kan?”
“Boleh,” kata Bu Rissa. Ia menyodorkan sebuah cangkir kecil berisi teh hangat. “Kamu sempat bilang soal surat dari Maureen.”
Maura mengangguk.
“Boleh aku tahu … isinya?”
Maura menggeleng. “Belum selesai. Dia cuma tulis, ‘Aku sudah memutuskan sesuatu. Tapi kalau kau membaca ini…’ dan habis.”
“Hm.” Bu Rissa mencondongkan tubuh. “Bagaimana perasaanmu waktu membacanya?”
Maura ragu. Kemudian pelan, ia menjawab, “Seperti setengah dari diriku berhenti bernapas.”
Mereka terdiam. Di luar, angin menggoyang ranting pohon. Bu Rissa mengambil sebuah pena dan kertas.
“Coba kamu tuliskan satu kalimat. Apa pun. Apa yang ingin kamu katakan pada Maureen, seandainya dia masih bisa dengar.”
Maura mengambil pena itu. Ia menulis satu kalimat: "Kenapa kau tinggalkan aku dengan rahasia yang tidak selesai?"
Bu Rissa menatap tulisan itu lama. “Mungkin, kamu sedang mencari cara untuk menyelesaikannya.”
Maura hanya menunduk.
ꕤꕤꕤ
Di rumah, sore itu, langit tampak buram. Maura masuk ke kamar dan melihat sisi tempat tidur Maureen masih rapi. Ia belum berani menyentuhnya.
Ia mendekati rak buku, menarik beberapa jurnal lama yang mereka miliki bersama. Di antara tumpukan itu, ia menemukan buku harian Maureen—bukan yang biasa ia tulis, tetapi buku bergaris lusuh dengan sampul kulit berwarna hitam. Tidak ada judul di sampulnya. Halaman pertama kosong. Halaman kedua, Maureen menulis: “Ada hal-hal yang tak bisa aku katakan di ruang terbuka. Maka aku letakkan mereka di antara kata, gambar, dan senyap.”
Maura membalik halaman demi halaman. Banyak yang kosong. Namun, di salah satu lembaran, ia menemukan gambar kecildi pojok kiri bawah: matahari terbenam dengan garis yang terputus, dan huruf “R” terbalik.
Simbol itu familiar. Itu bagian dari sandi masa kecil mereka. Mereka menyebutnya "kode cahaya", tanda bahwa ada sesuatu yang tersembunyi dan harus dicari di tempat gelap.
Lalu di halaman berikutnya, sebuah puisi pendek: "Jika satu cahaya padam, bayangannya tidak akan hilang— ia menyusup lewat retakan."
Jantung Maura berdebar. Ia mengingat kembali saat mereka kecil, menyembunyikan barang-barang kecil di balik papan lantai yang longgar. Ia berjalan ke pojok kamar, mengetuk papan itu. Masih sama, tetapi ia belum siap membukanya. Belum sekarang.
ꕤꕤꕤ
Malam harinya, Maura tertidur di sisi tempat tidur Maureen. Ia tidak bermimpi. Tapi di tengah malam, ia terbangun oleh suara samar. Seperti bisikan. "Sudah kamu temukan?"
Ia bangun dengan jantung berdebar. Memandang sekeliling kamar. Tak ada siapa-siapa. Namun, kemudian ia melihat laci meja yang belum pernah ia buka sejak Maureen pergi.
Dengan tangan gemetar, ia membukanya. Di dalamnya, lipatan kertas kecil, nyaris tersembunyi di bawah alat tulis.
Maura mengambilnya. Ketika ia membukanya, kertas itu kosong. Hanya ada satu kalimat di bagian bawah: “Jangan cari jawaban, temukan pertanyaan yang belum kau ajukan.