Loading...
Logo TinLit
Read Story - Surat yang Tak Kunjung Usai
MENU
About Us  

Pagi itu terasa seperti halaman kosong. Udara dingin berembus melewati sela jendela kamar, membawa suara dedaunan yang bergesekan seperti bisikan dari masa lalu. Maura duduk di tepi ranjang Maureen, memperhatikan tempat tidur yang rapi dan tidak tersentuh, seperti sengaja dijaga agar tak hilang jejaknya.

Tidak ada yang berubah sejak kepergian Maureen. Seprai putih bersih dengan pola awan tipis masih terpasang, boneka kelinci yang lusuh duduk di sudut bantal, dan lampu meja kecil yang biasanya dibiarkan menyala semalaman kini tetap padam. Semua tetap di tempatnya, kecuali Maureen.

Seno duduk diam di ruang tamu sejak subuh. Seperti biasa, dengan koran terbuka, tetapi tak terbaca. Tangan kirinya menahan kepala, sementara tangan kanan hanya sesekali membalik halaman, lebih karena kebiasaan ketimbang minat.

Riana, di dapur, sibuk membuat teh seperti tanpa jeda, seakan air hangat bisa menyamarkan kekosongan yang mendera rumah itu. Tidak ada percakapan. Hanya suara detak jam dinding dan sesekali derit kursi saat salah satu dari mereka mencoba terlihat sibuk.

Maura menatap langit-langit kamar mereka. Di sanalah, Maureen pernah menempelkan bintang-bintang fosfor yang kini hanya menjadi bayangan samar di siang hari. Ada keheningan yang terlalu padat di ruangan ini—seperti bisa ditelan jika dibiarkan terlalu lama.

Di bawah bantal, Maura menemukan kertas yang terlipat dua, sedikit menguning di pinggirnya. Surat terakhir dari Maureen. Ia sudah membacanya berkali-kali, tapi tetap saja terasa seperti dibacakan oleh suara Maureen sendiri, lirih dan ragu:

“Di cermin jam 6 pagi, aku…”

Hanya sampai di sana. Tidak ada titik, tidak ada lanjutan. Hanya kehampaan yang menggantung seperti pertanyaan.

Maura menatap jam dinding. Sudah pukul tujuh pagi. Ia menggenggam surat itu, memejamkan mata. Kata-kata itu terus berputar di kepalanya.

“Di cermin jam 6 pagi, aku…”

Apakah itu metafora? Apakah Maureen melihat sesuatu di cermin? Dirinya sendiri? Atau sesuatu yang lain?

Saat Maura kembali ke area tempat tidurnya, ia membuka laci meja belajar yang sudah lama tak disentuh. Di sana, tersimpan sebuah buku catatan berwarna hitam dengan tepi sobek, milik Maureen. Buku itu pernah menjadi jurnal pribadi mereka berdua—tempat mereka berbagi cerita, rahasia, dan sandi-sandi pribadi.

Di halaman pertama tertulis dengan spidol merah:

Langit sebelah timur selalu lebih gelap bagiku.

Maura membacanya dengan napas tertahan. Itu adalah kalimat yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua. Sandi. Dulu, mereka menyebut sisi timur sebagai “arah ketakutan”, karena jendela kamar mereka menghadap ke sana, dan Maureen selalu takut tidur menghadap ke luar.

Maura membuka halaman berikutnya. Ada simbol-simbol kecil, seperti segitiga terbalik, kupu-kupu patah sayap, dan angka 23 yang diulang dua kali dalam lingkaran.

Ia menyalin semuanya ke selembar kertas. Tangannya gemetar. Apa maksud semua ini?

ꕤꕤꕤ

Sekolah dimulai kembali seminggu setelah pemakaman. SMU Pelita Bangsa menyambut Maura dengan keheningan tak kasat mata. Tidak ada yang terang-terangan menatap, tetapi Maura bisa merasakan beban pandangan yang tersembunyi di balik senyum simpati yang dipaksakan.

Lorong sekolah berwarna abu-abu terang itu terasa seperti kabut. Setiap langkah seperti mengambang. Poster ekstrakurikuler yang dulu mereka komentari bersama kini hanya seperti hiasan dari dunia lain.

Di kelas, Nana menyapanya dengan hati-hati.  “Maura... kalau butuh teman cerita ... aku ada, ya?” katanya, sambil memegang lengan Maura dengan canggung.

Maura hanya mengangguk. Kata-kata seperti “terima kasih” atau “aku baik-baik saja” terasa seperti kebohongan yang terlalu berat diucapkan.

Setelah bel usai, seorang guru perempuan berdiri di depan pintu kelas. Sosoknya tenang, matanya tajam, tetapi lembut.“Maura, kamu bisa ikut saya ke ruang BK?”

ꕤꕤꕤ

Ruangan BK seperti lemari tempat rahasia dikumpulkan. Tenang, rapi, dan penuh tumpukan kertas. Di dalamnya, Bu Rissa duduk di belakang meja kecil yang penuh dengan buku dan tanaman kecil.

“Kamu boleh duduk di mana saja,” katanya, sambil menunjuk kursi di depannya.

Maura duduk, diam. Tangannya memegang buku catatan Maureen yang ia bawa dalam tas.

“Bagaimana kamu merasa hari ini?” tanya Bu Rissa perlahan.

Maura menoleh padanya, matanya kering, tetapi gelap. “Seperti berjalan dalam kabut.”

Bu Rissa mengangguk. Ia mencatat sesuatu. “Apa yang kamu rindukan dari Maureen?”

Pertanyaan itu seperti pukulan. Maura menggigit bibirnya, lalu membuka buku catatan itu dan menunjukkannya pada Bu Rissa.

“Dia meninggalkan ini. Simbol. Kata-kata aneh. Aku rasa ... dia mau bilang sesuatu, tapi aku telat.”

Bu Rissa membaca sepintas halaman yang ditunjukkan. Matanya sempat menatap simbol kupu-kupu patah dan angka 23 dalam lingkaran.

“Kadang, mereka yang terluka tidak tahu cara bicara dengan dunia,” kata Bu Rissa pelan.

Maura menggenggam buku itu lebih erat. “Tapi aku seharusnya tahu. Aku kembarannya.”

ꕤꕤꕤ

Sore hari, rumah itu kembali sunyi. Riana duduk di meja makan dengan teh yang tak disentuh, pandangannya kosong. Seno belum pulang. Maura mendekati meja, mencoba berbicara.

“Ma ... Maureen ninggalin buku. Ada catatan yang aneh di dalamnya.”

Riana mengangkat wajahnya. “Jangan bahas itu lagi, Maura. Kita harus lanjut hidup.”

“Tapi—”

“Sudah. Dia tenang sekarang. Kita juga harus begitu.”

Maura menatap ibunya dengan getir. Ketika seorang anak hilang, satu bagian dari ibu juga hilang. Namun, Riana memilih untuk menguburnya bersama tubuh Maureen.

ꕤꕤꕤ

Malam itu, Maura duduk di depan cermin kamarnya pukul 6 pagi—waktu yang disebut Maureen dalam surat. Ia menatap bayangannya sendiri. Wajah yang dulu serupa dengan Maureen, kini terasa berbeda.

“Di cermin jam 6 pagi, aku…”

Ia menulis kalimat itu lagi di buku catatan barunya. Di bawahnya, ia menambahkan: “Aku akan mencari makna dari setiap patah kata yang kau tinggalkan. Maureen, tunggu aku di antara halaman yang belum selesai.”

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
God, why me?
202      164     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
Fidelia
2099      911     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Me vs Skripsi
1981      826     154     
Inspirational
Satu-satunya yang berdiri antara Kirana dan mimpinya adalah kenyataan. Penelitian yang susah payah ia susun, harus diulang dari nol? Kirana Prameswari, mahasiswi Farmasi tingkat akhir, seharusnya sudah hampir lulus. Namun, hidup tidak semulus yang dibayangkan, banyak sekali faktor penghalang seperti benang kusut yang sulit diurai. Kirana memutuskan menghilang dari kampus, baru kembali setel...
Kainga
1287      767     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
I Hate My Brother
467      322     1     
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??
The Black Hummingbird [PUBLISHING IN PROCESS]
21938      2444     10     
Mystery
Rhea tidal tahu siapa orang yang menerornya. Tapi semakin lama orang itu semakin berani. Satu persatu teman Rhea berjatuhan. Siapa dia sebenarnya? Apa yang mereka inginkan darinya?
Kertas Remuk
132      107     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
May I be Happy?
586      365     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
BestfriEND
43      37     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Dear Future Me: To The Me I'm Yet To Be
379      274     2     
Inspirational
Bagaimana rasanya jika satu-satunya tempat pulang adalah dirimu sendiri—yang belum lahir? Inara, mahasiswi Psikologi berusia 19 tahun, hidup di antara luka yang diwariskan dan harapan yang nyaris padam. Ayahnya meninggal, ibunya diam terhadap kekerasan, dan dunia serasa sunyi meski riuh. Dalam keputusasaan, ia menemukan satu cara untuk tetap bernapas—menulis email ke dirinya di masa dep...