Bab 45
Perpisahan
Di hari terakhir Lala bertemu dengan Soni, Soni berkunjung ke rumah Lala. Soni mengajak Lala berbincang sejenak. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting, seperti, “Kenapa kamu tidak pernah memakai baju seksi saat bersamaku?”
Lala tidak menjawab. Ia enggan menjawab pertanyaan itu. Namun, Lala masih berpikir bahwa Soni akan menemaninya tidak menikah sampai tua. Kalau menunggu sampai Lala tidak sakit lagi, sepertinya mustahil. Psikiater pernah berkata kalau Lala akan sakit seumur hidup. Ia tidak pernah boleh putus obat.
“Aku ke kamar mandi sebentar, ya?” pamit Lala. Ia buang air kecil, lalu kembali menemui Soni di ruang tamu.
Soni pergi begitu saja dengan wajah masam. Lala melangkah tertatih-tatih ke kamarnya karena ia merasa sakit lagi.
Besoknya, Lala masih mengirim pesan lewat whatsup kepada Soni, tetapi tidak ada satu pun dari pesannya yang dibalas. Beberapa hari ini, Lala terus mengirim pesan dan tidak dibalas. Lala mengeluh kepada Mama, “Ma, Soni sudah tidak pernah membalas pesanku lagi.”
“Sudah! Tidak usah chat dia lagi. Ia tidak akan pernah membalas chat-mu,” bujuk Mama.
“Tapi kenapa, Ma? Katanya, dia mencintaiku dan menerimaku apa adanya,” sangsi Lala.
“Ia sudah memutuskanmu,” sahut Mama.
“Tapi kapan? Ia tidak pernah mengatakannya kepadaku,” gumam Lala.
“Sewaktu kamu meninggalkannya ke kamar mandi kemarin, ia meminta maaf kepada Mama karena tidak sanggup lagi menjalani hubungan ini,” terang Mama.
“Kenapa ia tidak mengatakannya langsung kepadaku?” Mata Lala berkaca-kaca. Mama tidak menyahut.
Lala masuk kamar dan menangis. Ia merasa kesepian. Lalu, ia ingat orang-orang yang tidak menikah tetapi tetap bahagia. Kisah orang-orang itu diceritakan dalam buku besar yang pernah dibelikan Papa. Sejak saat itu, Lala berusaha meniru orang-orang itu dan mendekatkan diri kepada Tuhan.