Bab 44
Pucuk Dicinta Ulam pun Tiba
Tanggal pernikahan Lala dan Soni didaftarkan di gereja oleh Mama. Ongkos-ongkos juga dikeluarkan oleh Mama dari sebagian gaji Papa, termasuk ongkos foto pre-wedding. Soni sama sekali tidak mengeluarkan biaya. Bahkan, semua berkas diurus oleh Mama dan Lala. Soni hanya tinggal santai-santai.
“Tuhan, tolonglah aku! Aku tidak yakin akan bahagia kalau menikah dengannya,” keluh Lala dalam hati.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pada suatu hari, Papa Mama mengeluh kepada Lala. Mereka menjelaskan secara bergantian.
“La, kita harus bertemu Romo. Soni meminta warisan kepada kami walaupun kami belum meninggal. Ia menyuruh kami menjual rumah dan membiayai kehidupannya. Kami tidak sanggup. Untung, ia bodoh, La. Ia mengucapkannya sebelum menikah. Jadi, kami masih bisa membatalkannya,” ujar Mama Papa bergantian.
Mama Papa pun mengajak Lala untuk bertemu dengan Romo di gereja. Mereka mengeluh panjang lebar tentang kelakuan Soni. Sejak saat itu, Romo mencari-cari cara untuk membatalkan pernikahan Lala dan Soni. Sebelum menikah, Romo memanggil Lala dan Soni untuk diwawancarai, prosedur biasa yang dilakukan gereja untuk pasangan yang akan menikah.
Lala dan Soni ke gereja dengan sepeda motor. Dari parkiran, mereka berjalan menuju ruangan Romo. Soni mengetuk pintunya.
“Masuk!” Suara Romo terdengar dari dalam.
Lala dan Soni masuk. Soni duduk di kursi kayu cokelat di depan meja Romo sebelum dipersilahkan. Lala mengambil inisiatif untuk duduk di kursi kayu serupa di sebelah Soni. Sementara itu, Romo sudah menunggu sedari tadi di belakang meja kayu cokelat yang terdapat taplak meja berwarna putih di atasnya. Tidak ada vas bunga di meja Romo, hanya setumpuk berkas.
“Permisi,” sapa Lala.
“Halo? Bisa kita mulai wawancaranya?” tanya Romo.
“Bisa,” sahut Lala.
“Apakah kalian sudah terlibat dalam pergaulan bebas?” tanya Romo lagi.
“Belum, Romo,” jawab Lala.
“Apakah pekerjaanmu?” tanya Romo, mengalihkan pandang ke arah Soni.
“Buruh kecil,” jawab Soni.
“Apakah kamu sudah membawa surat keterangan dari psikiater seperti yang saya suruh?” tanya Romo, mengalihkan pandang ke arah Lala. Lala membuka ritsleting tasnya dan merogoh-rogohnya. Ia menemukan surat itu dan mengangsurkannya kepada Romo. Romo membacanya.
“Di dalam surat ini, kamu tidak boleh tertimpa masalah berat karena kamu akan relaps. Kalau seandainya, kalian mempunyai anak, apakah kamu akan sanggup mengasuhnya?” tanya Romo. Keningnya mulai berkerut.
“Saya akan sanggup mengasuhnya selama saya sehat,” jawab Lala.
“Apakah kamu sanggup menggantikan Lala mengasuh anak kalau ia sakit?” kata Romo sambil menatap Soni.
“Tidak. Akan saya serahkan kepada ibu saya. Saya kan harus bekerja dari pagi sampai malam,” gerutu Soni.
“Bekerja dari pagi sampai malam kok tidak ada saldonya?” batin Lala.
“Kalian harus bisa mengasuh anak kalian sendiri. Kalau diserahkan kepada orang selain kalian berdua, itu berarti kalian tidak siap menikah. Pernikahan ini ditunda sampai Lala sembuh. Pernikahan membutuhkan persiapan macam-macam termasuk mental dan finansial juga,” ujar Romo.
Soni tampak lemas. Bahunya merosot ke bawah dan tubuhnya terlihat lunglai di kursinya. Katanya untuk yang terakhir kalinya, “Saya sudah menerima Lala apa adanya. Sudah seharusnya ia juga menerima saya apa adanya.”
“Saya minta maaf tidak bisa meluluskan permintaan kalian dan menikahkan kalian. Wawancara sudah selesai. Kalian boleh keluar,” suruh Romo.
Dalam hati, Lala bersorak senang.
Di hari terakhir Lala bertemu dengan Soni, Soni berkunjung ke rumah Lala. Soni mengajak Lala berbincang sejenak. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak penting, seperti, “Kenapa kamu tidak pernah memakai baju seksi saat bersamaku?”
Lala tidak menjawab. Ia enggan menjawab pertanyaan itu. Namun, Lala masih berpikir bahwa Soni akan menemaninya tidak menikah sampai tua. Kalau menunggu sampai Lala tidak sakit lagi, sepertinya mustahil. Psikiater pernah berkata kalau Lala akan sakit seumur hidup. Ia tidak pernah boleh putus obat.
“Aku ke kamar mandi sebentar, ya?” pamit Lala. Ia buang air kecil, lalu kembali menemui Soni di ruang tamu.
Soni pergi begitu saja dengan wajah masam. Lala melangkah tertatih-tatih ke kamarnya karena ia merasa sakit lagi.
Besoknya, Lala masih mengirim pesan lewat whatsup kepada Soni, tetapi tidak ada satu pun dari pesannya yang dibalas. Beberapa hari ini, Lala terus mengirim pesan dan tidak dibalas. Lala mengeluh kepada Mama, “Ma, Soni sudah tidak pernah membalas pesanku lagi.”
“Sudah! Tidak usah chat dia lagi. Ia tidak akan pernah membalas chat-mu,” bujuk Mama.
“Tapi kenapa, Ma? Katanya, dia mencintaiku dan menerimaku apa adanya,” sangsi Lala.
“Ia sudah memutuskanmu,” sahut Mama.
“Tapi kapan? Ia tidak pernah mengatakannya kepadaku,” gumam Lala.
“Sewaktu kamu meninggalkannya ke kamar mandi kemarin, ia meminta maaf kepada Mama karena tidak sanggup lagi menjalani hubungan ini,” terang Mama.
“Kenapa ia tidak mengatakannya langsung kepadaku?” Mata Lala berkaca-kaca. Mama tidak menyahut.
Lala masuk kamar dan menangis. Ia merasa kesepian. Lalu, ia ingat orang-orang yang tidak menikah tetapi tetap bahagia. Kisah orang-orang itu diceritakan dalam buku besar yang pernah dibelikan Papa. Sejak saat itu, Lala berusaha meniru orang-orang itu dan mendekatkan diri kepada Tuhan.