Bab 15
Tersesat Bersama dengan Bus Trans
Hari terakhir retret, Lala makan siang dan duduk di antara Didi dan Nana. Mereka makan nasi ayam goreng plus sayur asam. Sambil makan, Lala bercerita, "Aku menulis novel. Novelku sudah diterbitkan. Aku membawa beberapa. Apakah kalian mau membelinya?"
"Boleh," kata Didi. Namun, Nana menggeleng.
Selesai makan dan minum teh manis hangat yang sudah disediakan secara berjajar di meja kayu cokelat, Lala berkata sambil menoleh ke arah Didi, "Tunggu sebentar, ya? Jangan pulang dulu! Biar kuambilkan novelku dari dalam tasku di kamar."
Lala melangkah seperti ketukan musik rap ke kamarnya, takut Didi sudah pulang meninggalkannya. Seorang gadis dengan perhiasan emas di lehernya sedang duduk di lantai di pinggir lorong. Ia menengadah memandang Lala. Lala juga memandangnya, tetapi mereka tidak berkenalan. Lala sedang terburu-buru.
Akhirnya, sampai juga Lala di kamarnya. Segera diambilnya novel Aku Menderita Skizofrenia karangannya dan dibawanya ke arah ruang makan. Kali ini, gadis tadi sudah tidak ada lagi.
Di ruang makan, Didi masih menunggu Lala. Lala menyerahkan novelnya dan Didi mengambil uang dari dalam dompet di saku bajunya. Selembar dua puluh ribuan dan selembar sepuluh ribuan. Lala memasukkan uang itu ke dalam saku celananya.
Akhirnya retret berakhir. Lala melangkah ke parkiran dan mobil Papa sudah menunggunya di sana. Lala membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Rasa-rasanya, penyakitnya mulai kambuh lagi.
"La, mana tas kopormu?" tegur Mama.
"Aduh, aku lupa!" seru Lala. Ia tertatih-tatih menuju ke kamarnya kembali. Ia menggerutu dalam hati karena tak seorang pun membantunya. Ia harus mengangkat tasnya yang lumayan berat itu. Keluarga besarnya pernah mengatainya, "Kamu kalau membawa pakaian ganti untuk bepergian malah seperti orang mau pindah rumah."
Lala meletakkan tasnya di lantai parkiran yang disemen agar bisa leluasa untuk membuka bagasi. Lagi-lagi, ia menggerutu, "Kenapa tidak ada yang membantuku membuka bagasi?"
Lala memasukkan tasnya ke bagasi mobil dan menutupnya kembali. Papa menegurnya, "Kamu menutup bagasinya kurang rapat. Ini ada tanda merah di dashboard Papa."
Lala terpaksa balik lagi ke belakang mobil dan menutup ulang bagasinya. Kali ini, sekeras mungkin. Lalu, ia kembali lagi ke mobil. Mama menegurnya, "Kamu ini bagaimana sih, La? Menutup bagasi sekeras itu. Jantung Mama mau copot."
"Gendang telinga Papa juga mau pecah," tambah Papa.
Lala tidak memedulikan mereka. Ia mengaduk-aduk tasnya untuk mencari obat. Setelah ketemu, ia segera menelan obatnya. Tak terasa, mobil sudah melaju dan Lala tertidur di jok belakang.
Di tengah perjalanan menuju ke rumah, Mama Papa mengajak Lala makan di warung soto. Ketika sedang menikmati soto ayam yang lezat, tiba-tiba Lala diserang rasa bersalah. Mama Papa tidak seburuk yang dipikirkannya. Entah kenapa, terkadang Lala merasa mereka begitu jahat.
Lala sudah sampai ke rumahnya. Retret kali ini membuatnya merasa terhibur kalau ia mengenangnya. Ia ingin mengikuti retret semacam ini lagi.
Di hari Minggu, Lala kembali membaca pengumuman di gereja. Kali ini, ada kegiatan ke kebun binatang bersama. Ia memutuskan untuk ikut lagi.
Di kebun binatang, Lala takut relaps. Ia meminum obatnya diam-diam di suatu sudut yang sepi. Ia tidak lagi membuang obatnya atau mengganti isinya dengan gula dan susu seperti dulu. Kini, tilik dirinya sudah lebih baik.
Lala dipasangkan dengan seorang remaja pria yang sangat enerjik oleh panitia. Remaja itu mengajaknya berfoto di mana-mana di kebun binatang, misalnya di patung singa dan di depan kandang-kandang hewan. Remaja itu meminta Lala berpose.
Sementara itu, seorang pria dewasa yang merasa tertarik dengan Lala sudah dipasangkan dengan wanita lain. Wanita yang kelihatan muda seperti gadis itu adalah wanita berkalung emas yang tempo hari duduk di pinggir lorong sambil memandangi Lala. Dulu, Lala mengira ia adalah seorang gadis karena penampilannya yang masih muda. Ternyata, ia adalah seorang wanita dewasa. Lala mengetahuinya dari seorang gadis berkemeja hitam yang berbisik di telinganya, "Umurnya sudah tiga puluh tujuh tahun."
Pria di sebelah wanita itu memandangi Lala dari kejauhan. Wanita itu mengajak pria itu untuk naik bebek-bebekan di danau kebun binatang dan berfoto bersama. Panitia memang menyediakan hadiah dua tiket ke bioskop untuk pasangan yang menang lomba foto yang diadakan oleh panitia. Retret ini memang retret untuk mencari jodoh.
Remaja pria di sebelah Lala merasa antusias sekali dengan hadiahnya, tetapi Lala tidaklah demikian. Dengan enggan, ia menurut ketika diminta untuk berpose.
Setelah kegiatan selesai, Lala pulang dengan naik TransYogya. Remaja pria itu menemaninya, tetapi tidak lama. Remaja itu turun di halte pertama. Lala tidak turun karena ia belum sampai ke tujuannya.
Bus Trans berputar-putar dan tidak berhenti juga di shelter Kranggan di mana orang tua Lala sudah memarkirkan mobil di sana untuk menunggunya.
Bus Trans sampai di Candi Prambanan. Akhirnya, Lala memberanikan diri untuk bertanya, “Pak, kok belum sampai juga di shelter Kranggan?”
“Aduh, Mbak, tidak ada yang namanya shelter Kranggan. Mbak hanya bisa berhenti di shelter yang tak tauh dari situ dan bus ini sudah berhenti di situ tadi, sudah beberapa jam yang lalu. Mbak ganti bus saja, tapi cepat ya, Mbak, soalnya semua bus Trans sudah akan berhenti beroperasi. Ini sudah hampir jam sembilan malam,” terang Pak Kondektur.
“Baik, Pak. Terima kasih.” Lala turun dan berganti bus. Ia kecewa karena ia kebablasan. Mukanya masam dan sudut-sudut mulutnya turun ke bawah. Ia merasa badannya lengket karena belum mandi.
"Ada masalah apa, Mbak?" tanya seorang ibu.
"Saya tersesat," jawab Lala.
"Mau turun di mana?" tanya ibu itu lagi.
"Tempat yang dekat dengan pasar Kranggan," jawab Lala lagi.
"Masih jauh, Mbak. Tidak apa-apa. Nanti saya bantu bilangi. Mbak baru pertama kali naik bus Trans?" hibur ibu itu. Lala hanya menggeleng. Hatinya seperti digarami. Ia merasa sedih. Saking sedihnya, ia menjadi berat lidah.
Sejam kemudian, Lala sampai di shelter yang dimaksud. Ia segera turun setelah mengucapkan salam perpisahan kepada penumpang-penumpang bus yang menghiburnya. Ia mencari-cari mobil Papa.
“Ya, ampun, La! Sudah malam begini, kamu baru sampai di sini?” tegur Mama setelah Lala menemukan mobil Papa dan masuk ke dalamnya.
“Maaf, Ma, Lala tersesat,” ucap Lala. Ia tak tega melihat wajah cemas kedua orang tuanya.
“Ya, sudah! Ayo masuk mobil! Kita pulang,” ajak Mama. Lala menurut.
"Ini Mama sudah beli kue untukmu. Ayo dimakan!" suruh Mama.
Lala kembali merasa bersalah ketika ia menggigit kue keju itu. Mama begitu baik kepadanya, tetapi ia pernah curhat tentang keburukan-keburukan Mama kepada sahabatnya.