Bab 11
Profesor Ali
Atas saran tante yang anaknya juga sakit mental, mama kembali membawa Lala ke Solo naik kereta api. Beberapa kali, Mama mengajak Lala naik kereta api ke Solo untuk menemui psikiater. Kadang, kereta api berpenumpang jarang sehingga Mama dan Lala kebagian tempat duduk dengan mudahnya. Kadang, penumpangnya berjubel sehingga penumpang yang tidak kebagian tempat duduk harus duduk di lantai dengan beralaskan koran.
Kali ini, Mama dan Lala mendapatkan tempat duduk karena terdapat seorang penumpang pria yang tidak tega kepada Mama yang sedang berdiri. Sementara itu, Lala sudah mendapatkan tempat duduk sedari tadi karena Mama menyuruhnya duduk.
Sesampainya di Solo, becak-becak parkir berjajar di depan stasiun, sementara mobil-mobil dan motor-motor parkir di tempat parkir stasiun. Mama memutuskan untuk naik becak ke sebuah rumah sakit. Mama tawar-menawar dengan tukang becak. Setelah dicapai kesepakatan harga, Mama dan Lala naik ke dalam becak. Becak pun melaju perlahan.
Jalanan cukup lengang, tetapi beberapa saat kemudian menjadi berisik oleh suara kendaraan dan klakson dari mereka yang berlalu-lalang. Entah kenapa, hati Lala merasa sedih seperti diiris sembilu. Ia kesepian di tengah keramaian. Ia tidak selalu bisa mengandalkan Mama karena Mama hanyalah seorang manusia biasa yang mempunyai keterbatasan. Dulu, ia sering mengadu kepada Mama ketika ada masalah. Namun, Mama malah memarahinya ketika Mama tidak bisa mengatasi masalahnya.
"Diam! Kamu membuat Mama tambah stress," suruh Mama saat itu.
Lamunan Lala buyar ketika mereka sampai di depan sebuah bangunan yang terdapat plang rumah sakit di atasnya. Bangunan itu berpagar, tetapi pagarnya sudah terbuka lebar saat mereka sampai. Orang-orang berpakaian lusuh dan berwajah masam berlalu-lalang di dalamnya. Kebanyakan dari mereka sudah memiliki keriput di wajahnya.
Lala memandang wajah Mama. Mama sudah separuh baya, tetapi hanya ada garis-garis halus di wajahnya. Lala memalingkan wajah karena takut ketahuan memandangi wajah Mama. Ia takut Mama akan bertanya macam-macam padanya. Ia takut Mama menegurnya kalau jawabannya tidak memuaskan. Ia kembali memandang ke depan.
Tepat di sebelah rumah sakit, terdapat tempat praktik yang ramai. Mama mengajak Lala menunggu di ruang tunggu tempat praktik itu setelah mendaftar di petugas pendaftaran berpakaian batik khas Solo.
Ruang tunggu ini terdiri dari banyak bangku panjang yang disusun melingkar sehingga pasien-pasien yang duduk di atasnya saling berhadap-hadapan. Wajah-wajah mereka menunjukkan bahwa mereka bermasalah.
Mama dan Lala menempati tempat yang masih kosong di sisi sebelah sini. Sudah tidak ada tempat kosong di sisi sebelah sana. Untuk membunuh waktu, Mama mengajak seorang ibu mengobrol. Mama berkata, “Anak saya jarang bekerja rumah tangga.”
“Setidak-tidaknya, aku mencuci bekas makanku sendiri,” timpal Lala. Ia kecewa kepada Mama yang menganggapnya malas. Padahal, ia sudah berusaha membantu sesuai dengan kemampuannya.
“Anak saya juga mencuci bekas makannya sendiri, tetapi sendoknya ia tinggalkan begitu saja di bak cuci piring. Ia tidak mau mencuci sendoknya juga,” gerutu ibu itu. Lala terdiam. Ia teringat bahwa ia juga sering meninggalkan sendoknya di bak cuci piring. Waktu itu, ia berpikir bahwa tidak mencuci sendok adalah hal yang sepele. Toh, mencuci sendok itu gampang. Semua orang bisa melakukannya.
Setelah menunggu berjam-jam dan hanya memperhatikan Mama yang asyik mengobrol dengan ibu itu, nama Lala dipanggil. Mama berpamitan dan menggandeng Lala masuk ke dalam ruang periksa. Lala terpaksa menurut walaupun ia enggan. Ia yakin bahwa motivasi mereka tidak baik. Namun, Mama setengah menyeret Lala masuk ruangan.
“Halo? Kenalkan, saya Profesor Ali. Kata mamamu, kamu lulusan Bahasa Inggris. May I speak English with you? (Bolehkah saya berbicara bahasa Inggris denganmu?)” tanya Profesor Ali. Ia kelihatan sumringah. Ia merasa mendapatkan teman yang bisa ia ajak melatih bahasa Inggris-nya agar tidak lupa.
“Ya, Dok,” sahut Lala, ogah-ogahan. Ia sendiri merasa bodoh walaupun ia adalah lulusan S1. Papa sendiri pernah berkata, "Dasar bodoh!" Saat itu, Lala sedang tidak bisa mengerjakan sesuatu. Papa memang selalu berkata begitu saat Lala tidak mampu. Lala jadi tidak termotivasi untuk belajar dan mencoba lagi. Ia heran, kenapa ia bisa lulus S1.
“Profesor Ali ini lulusan S3. Kamu harus memanggilnya Prof,” suruh Mama, tegas. Kedua alisnya saling bertautan.
“Have you drunk your brain vitamin? (Sudah minum vitamin otakmu?)” tanya Profesor Ali.
“Sorry, Prof?” tanya Lala, menunjukkan bahwa ia tidak mengerti dengan maksud dari Profesor Ali.
“Obat-obatan yang diresepkan untukmu. Kami menyebutnya vitamin otak. Sudahkah kamu meminumnya?” tanya Profesor Ali lagi. Lala hanya mengangguk.
"Di sini, kami menyebutnya vitamin otak, bukan obat. Saya harap kamu juga menyebutnya demikian. Kamu harus menyadari manfaatnya bagimu dan apa jadinya jika kamu tidak meminumnya. Paham?" cecar Profesor Ali. Lala hanya mengangguk, tetapi tidak sepenuh hati. Ia masih merasa diracuni. Ia merasa akan mati pelan-pelan karena semua obat itu.
“Apa Bahasa Inggrisnya habis?” tanya Profesor Ali.
“Exhausted?” jawab Lala. Padahal ‘exhausted’ artinya adalah energinya yang habis alias kecapaian.
“Sepertinya lebih cocok disebut ‘no more,’ beritahu Profesor Ali.
Profesor Ali berusaha mengorek keterangan dari Lala dengan menanyainya secara bertubi-tubi. Lala heran mengapa ia dibawa ke sini dan diperlakukan seperti ini. Tambahan lagi, ia harus meminum obat-obatan yang membuatnya merasa kaku-kaku dan gemetar.
“Saya akan menambahkan satu obat lagi yang akan mengurangi kekakuannya,” celetuk Profesor Ali.
“Apa maksudnya melakukan semua ini? Apakah ia hendak merusak otakku?” Lala bertanya-tanya di dalam hati.
“Baik. Pemeriksaan selesai,” kata Profesor Ali, sesaat kemudian.
“Terima kasih,” ucap Mama. Namun, Lala bergeming.
“Lala, ucapkan terima kasih,” bujuk Mama.
“Te … terima kasih,” ucap Lala. Sebenarnya, Lala tidak suka mengucapkan terima kasih kepada Profesor Ali. Lala merasa tidak membutuhkan Profesor Ali. Lala dibawa ke sini secara paksa. Lagipula, semua obat dari Profesor Ali membuat mengantuk dan tidak nyaman. Lala menjadi kaku bak robot.
Mama menyeret keluar Lala yang masih memelototi Profesor Ali. Mama menggandeng Lala ke loket pembayaran dan menyerahkan setumpuk uang.
“Untuk apa semua pemborosan ini? Uangnya kan bisa ditabung untuk masa depan. Profesor Ali itu benar-benar bermaksud untuk mengeruk kekayaan saja,” pikir Lala dalam hati.
Seorang gadis bertubuh gempal menyalami Lala. Rupanya, ia mengajak kenalan. Sapanya, "Noni."
"Lala," balas Lala.
Seorang wanita berambut keriting berdiri di sebelah Noni. Sepertinya, wanita itu adalah ibunya Noni. Ia mengajak Noni dan Lala duduk di samping Mama yang sudah duduk dari tadi untuk mengantri obat.
"Anak saya ini tadinya sehat. Ia bekerja kantoran. Perusahaannya maju dan terkenal. Ia mendapatkan gaji besar. Sayang, cintanya kepada seorang lelaki yang menjadi teman kerjanya di perusahaan itu tidak terbalas. Kini, ia menjadi sakit. Dulu, tubuhnya langsing. Sekarang, ia menjadi gemuk karena obat," urai wanita itu, panjang lebar.