Bab 27 - Permintaan Maaf
---
Aku mengusap pelan air mata yang mengalir tanpa kusadari. Dada ini terasa sesak, seperti ada beban berat yang tak kunjung datang reda. Kenangan itu kembali—kenangan yang selama ini susah payah aku kubur dalam-dalam.
Sungguh, aku ingin kembali ke masa lalu dan memeluk Rika kecil. Meminta maaf padanya, atas semua luka yang aku torehkan. Tapi aku sadar waktu tak pernah memberi kesempatan kedua. Yang tersisa hanyalah hari ini—dan semoga masih ada esok.
Tapi aku malu. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Dan jujur... aku takut.
Takut kalau dia menolakku. Takut jika setelah semua ini, dia tetap tak bisa memanggilku "Mama" lagi. Tapi aku juga sadar—aku yang salah. Aku yang memilih menutup mata dan telinga selama ini.
Apa yang bisa kulakukan untuk menebus semua kesalahan itu?
Ya, mungkin kalian bisa bilang aku gengsi. egois. Dan ya, mungkin benar. Banyak orang tua yang seperti aku, kan? Tidak semua, tapi tidak sedikit juga yang membiarkan luka anaknya tumbuh dalam diam—hanya karena gengsi untuk meminta maaf.
Tapi hari ini... aku tidak mau jadi orang tua seperti itu lagi. Masalahnya, aku belum pernah meminta maaf secara sungguh-sungguh pada anakku sendiri. Bagaimana caranya? Kata apa yang pantas?
Saat pikiranku sibuk memutar kemungkinan yang tak berujung, Andre datang. Ia duduk di sampingku, membawa secangkir kopi dan meletakkannya di atas meja.
"Ada apa, Rina?" tanyanya pelan. Aku buru-buru menghapus sisa air mata, meski sembab di mataku jelas tak bisa disembunyikan.
"Aku baik-baik saja," jawabku singkat.
Andre mengernyit, lalu menghela napas pelan. "Kau tahu aku tidak akan percaya itu, kan? Kau sedang tidak baik-baik saja."
Aku membayangkannya. Pandanganku jatuh pada teh manis di hadapanku yang sudah dingin. Tangan Andre meraih cangkir kopinya, menyeruput sedikit sebelum melihatnya lagi.
"Kalau ada masalah, kau bisa cerita padaku, Rina. Apa pun itu." Aku tetap diam, bibirku terasa kelu. Entah kenapa, setiap ingin bicara soal David—suami pertamaku, ayah Rika—aku selalu merasa berat. Mungkin karena rasa bersalahnya terlalu dalam.
"Ini tentang... masa laluku. Tentang hal-hal yang seharusnya sudah selesai," jawabku pelan. "Tapi kurasa... itu tidak penting sekarang."
Andre mencondongkan tubuhnya, serius. "Kalau itu tentang suami pertamamu—tentang David, dan tentang Rika—ceritakan saja. Aku di sini, bukan untuk menghakimi."
Aku menarik napas panjang. Rasanya seperti membuka kotak yang selama ini terkunci rapat. Tapi mungkin ini saatnya. Mungkin ini yang saya butuhkan. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Rika.
~
tok-tok-tok
"Rika, kamu ada di dalam? Ibu boleh masuk?" Hening. Tidak ada jawaban. Tapi aku tetap menunggu.
Beberapa detik kemudian, bunyi kecil terdengar dari dalam kamar. Daun pintu terbuka perlahan—pelan sekali, seolah membukanya pun ragu.
Rika berdiri di sana. Kaus cokelat orang tuanya makin gombrong, rambutnya awut-awutan. Tapi bukan itu yang menyakitkan. Bukan. Yang bikin dada ini sesak adalah cara dia memandangku—mata itu... bukan lagi mata anak kecil yang dulu suka lari ke pelukanku habis jatuh sepeda utama. Mata itu dingin. Mata itu takut.
“Boleh Ibu masuk sebentar?” suaraku nyaris tak terdengar. Ia mengangguk kecil, membuka pintu lebih lebar, lalu kembali ke tempat tidur tanpa berkata apa-apa. Aku ikut masuk. Duduk disebelahnya. Tapi ia langsung bergeser—sedikit, tapi terasa seperti dunia yang berjarak sejauh mungkin dariku.
Dulu, Rika kecil selalu duduk menempel di pahaku saat aku cerita dongeng sebelum tidur. Sekarang... bahkan jarak sekecil ini pun terasa seperti tembok besar yang tak bisa kutembus.
"Jadi...apa yang mau Ibu bicarakan?" tanyanya. Suaranya datar. dingin. Hampir seperti... bukan Rika. Mungkin memang bukan.
Aku menarik napas. Dalam. Menahan gumpalan di tenggorokan yang sedari tadi sudah mau meledak. Tapi lidahku terasa berat. Kata-kata yang tadi siang kulatih di depan kaca bersama Andre... tiba-tiba hilang. Menguap. Lumpuh.
"Ibu..." Hanya satu kata itu yang berhasil keluar. Tapi air mataku lebih cepat menyusul. Satu tetes. Lalu berdoa. Lalu pecah semuanya. Tanganku terangkat memeluknya, mendekap tubuh putriku yang kurasa semakin jauh setiap harinya.
Rika tampak terkejut, menegangkan. Tapi dia tidak mendorongku. Tidak juga membalas pelukanku. Ia hanya diam. Dan itu lebih menyakitkan dari apapun.
“Maafkan Ibu… Rika, maaf…” Tangisku pecah. Bukan halus. Tapi tangis perempuan yang sadar: Ia telah gagal.
"Ibu minta maaf... karena dulu Ibu terlalu keras. Karena Ibu... buta. Ibu terlalu sibuk dengan rasa capek sendiri sampai tidak lihat kamu sedang jatuh. Ibu pikir kamu kuat, padahal kamu hanya anak kecil, Rika... Anak kecil yang harusnya Ibu peluk, bukan bentak."
Aku menunduk, mencium bahunya yang gemetar.
"Maaf karena Ibu tidak pernah benar-benar denger kamu. Karena Ibu hanya melihat nilaimu, bukan lukamu."
Rika mulai menangis. Pelan. Tapi tangisnya lirih seperti bisikan dari masa lalu yang penuh luka. Ia memeluk balik. Pelukannya... kosong. Seperti pelukan anak yang lupa caranya dipeluk.
"Aku pikir Ibu benci aku," katanya lirih. "Setiap Ibu marah... aku ngerasa salah. Aku pikir... aku menyebabkan Papa pergi. Kalau aku nggak nakal, mungkin dia nggak akan ninggalin kita. Aku pikir... semua salah aku." Kata-katanya menghantam seperti palu godam.
Aku menahan napas. Jantungku terasa sakit—bukan karena penyakit, tapi karena penyesalan yang baru benar-benar kupahami sekarang. Betapa kecilnya Rika waktu itu. Betapa besarnya rasa bersalah yang dia pikul sendirian... hanya karena aku terlalu buta untuk melihatnya.
Aku memeluknya lebih erat. "Bukan salah kamu, Sayang. Nggak pernah salah kamu. Itu salah Ibu. Semua ini salah Ibu." Tangis kami menyatu malam itu. Dua perempuan yang saling kehilangan, padahal hidup di bawah atap yang sama.
Setelah beberapa saat, Rika menyeka air matanya. "Ibu...kenapa sekarang baru minta maaf? Kenapa baru sekarang peluk Rika lagi?" Aku membayangkannya. Apa yang harus kujawab?
Karena aku mabuk? Karena aku terlalu sibuk jadi 'ibu yang baik' buat orang lain tapi gagal jadi ibu untuk anakku sendiri? Karena aku takut? Karena aku nggak pernah benar-benar siap menghadapi luka anakku sendiri?
"Ibu tahu... Ibu telat. Tapi Ibu mau berubah, Sayang. Ibu mau sembuh dalam semua ini. Kita bisa mencari bantuan, bareng-bareng. Ibu sudah cari di mana."
Rika mengangguk pelan. Tapi matanya... Matanya seperti anak kecil yang pernah kecewa terlalu dalam, lalu berusaha percaya lagi—meski takut jatuh untuk kedua kalinya.
"Ibu... kadang aku denger suara-suara di kepala. Terus... suka nemu tulisan aneh di buku yang aku nggak inget nulis. Itu kenapa?" Pertanyaannya pelan. Tapi penuh ketakutan. Seperti seseorang yang sadar dirinya mulai hilang—tapi nggak tahu kenapa.
Aku memegang tangannya. “Nanti kita cari tahu bareng, ya. Ibu janji, kamu nggak akan sendirian lagi.” Rika memandang. Lama. Lalu mengangguk. "Baik, Bu."
Aku menarik napas. Senyum kecil muncul di wajahku, meski samar. Meski rasanya masih perih. Andai saja dia bilang 'Ma'. Tapi mungkin belum hari ini. Dan itu tidak apa-apa.
Aku tahu, aku mungkin bukan ibu terbaik. Tapi hari ini... Aku memilih untuk bertanggung jawab atas luka yang kubiarkan tumbuh di hati anakku sendiri.
Hari ini... aku belajar jadi Ibu.
[Bersambung]