Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 26 - Ibu

---

 

Aku tak pernah menyangka, semua yang kulakukan dulu bisa mengakibatkan putriku sendiri memiliki masalah mental seperti ini. Kupikir, ia akan tumbuh menjadi lebih kuat—lebih tahan banting. Tapi ternyata, ia hanya terlihat kuat di luar… dan sangat rapuh di dalam.

Aku memang sulit mempercayai bahwa Rika benar-benar memiliki masalah itu, tapi bagaimana pun juga… dia memang terlihat berbeda akhir-akhir ini. Walau hatiku berat, aku harus perlahan belajar mengakui: putriku memang sedang tidak baik-baik saja.

Bukan rasa malu yang kuhadapi. Sungguh, bukan itu. Tapi… aku takut. Aku takut kehilangan dirinya yang asli. Sama seperti dulu—saat suami pertamaku, Papa kandung Rika, meninggalkan kami selamanya.

Aku masih ingat, dulu suara riangnya memanggilku Mama, memanggil suamiku Papa. Tapi kini, aku sadar… ia memanggilku Ibu, dan menyebut suami keduaku sebagai Ayah. Hal kecil yang bagi sebagian orang mungkin remeh… tapi bagiku, itu tanda luka yang sangat dalam.

Mungkin… sudah saatnya aku bercerita. Memberikan sedikit kilasan waktu. Dari sudut pandangku: Rina Danudara—ibu kandung Rika.

 

...

 

Masa Lalu

Usiaku baru menginjak tiga puluh tahun ketika Rika genap enam tahun. Putri pertamaku, cahaya rumah kami. Wajahnya adalah salinan lembut dari suamiku—dari lengkung mata, bentuk hidung, hingga rambut hitam yang selalu jatuh acak di dahinya.

Aku menjaganya dengan hati-hati. Tapi tak ada yang bisa menandingi kasih sayang suamiku pada Rika. Dia selalu memeluk Rika saat pulang kerja, mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara seolah dunia ini hanya milik mereka berdua. Rika juga selalu menanti laki-laki itu pulang. Papanya adalah segalanya.

Empat bulan setelah ulang tahunnya yang keenam, hari itu terlihat biasa saja.

Aku sedang memasak makan malam—ayam kecap kesukaan suamiku—sementara Rika duduk di meja makan, menggambar sesuatu di atas kertas putih yang mulai penuh coretan warna-warni. Rumah kami tenang, nyaman. Terdengar bunyi panci, sesekali suara kipas angin berdengung pelan.

"Mama! Kok Papa belum pulang sih?" Rika mendongak dari kursinya, pipinya mengembung sedikit. “Rika kan udah lapar… Tapi Rika gak mau makan kalo Papa belum pulang!”

Aku tersenyum, duduk di seberangnya sambil menyeka tanganku dengan lap kecil.

“Papa lagi lembur, sayang. Di kantornya lagi banyak masalah. Malam ini kamu makan duluan ya?” Tapi kepalanya menggeleng keras. Ia cemberut, bersedekap seperti biasa saat marah kecil. Sama keras kepalanya seperti Papanya.

Jam berdetak pelan. Sudah pukul sembilan malam. Rika mulai menguap kecil. Matanya berkaca. Perutnya terdengar bergemuruh. Tapi dia masih menatap pintu rumah, menunggu dengan tekad polos anak enam tahun yang tidak mau mengalah pada rasa lapar.

Lalu, dering telepon memecah keheningan.

Aku segera berjalan dan mengangkat gagang telepon.

> “Dengan Ibu Rina, istrinya Pak David?”

“Ya, saya istrinya. Maaf, ini siapa ya?”

Suara wanita di seberang terdengar ragu, tapi cepat.

> “Kami dari Rumah Sakit Bintang Lestari, Bu. Suami Ibu mengalami kecelakaan beruntun akibat bus yang remnya blong…”

Deg.

Dunia terasa runtuh seketika. Aku mematung, jantungku seperti ditusuk. Kata “kecelakaan” menabrak pikiranku lebih keras daripada apa pun.

“Bu? Halo? Anda masih di sana?”

“Y-ya… Saya di sini. Suami saya… dia… selamat? Dia ada di mana sekarang?”

“Beliau dalam kondisi kritis, Bu. Sedang dalam perjalanan untuk operasi. Luka dalam cukup parah…”

Aku tak bisa bicara. Ada gumpalan dingin di tenggorokan, tanganku gemetar memegang gagang telepon. Tubuhku mulai bergetar, seperti es yang meleleh dari dalam.

“Mama? Papa kenapa?” suara kecil di belakangku menyelinap. Rika sudah berdiri di lorong, matanya membesar, memeluk bonekanya erat. Aku menutup telepon cepat, menarik napas.

"Sayang… Papa ada di rumah sakit sekarang. Papa kecelakaan."

Matanya berkaca. “Papa kenapa, Ma? Papa sakit ya? Papa… Papa pulang kapan?” Aku berjongkok, memeluknya. Ia mulai terisak. Aku menahan tangis sekuat tenaga.

“Papa masih ada, Rika. Tapi sekarang kita harus ke rumah sakit. Bantu Mama bungkus makanan, ya?” Dia mengangguk kecil, meski kebingungan jelas tertulis di wajahnya. Aku tahu dia tak sepenuhnya mengerti. Tapi dia mencoba. Karena dia anak Papanya. Anak yang kuat.

“Papa bakal pulang ke rumah kan, Ma?” tanyanya lirih. Aku tersenyum, meski air mata terus mengalir. “Iya, sayang. Papa pasti pulang... ke rumah kita.”

Karena saat itu, aku masih percaya. Masih percaya bahwa keajaiban akan datang… dan keluarga kecil kami akan tetap utuh.

 

..

 

Salah. Aku salah. Aku salah.

Dan untuk kesekian kalinya… aku tetap salah.

Malam itu, tepat setelah operasi yang berjalan hampir lima jam tanpa jeda, David—suamiku—akhirnya membuka matanya.

Pelan. Lelah. Seakan hanya untuk memastikan kami masih di sana. Aku dan Rika.

"Papa cuma capek, ya, sayang…" bisiknya lemah, nyaris tak terdengar, tapi tetap tersenyum—senyum yang goyah, dipaksa muncul di wajah pucatnya yang dibalut selang infus dan oksigen.

Rika memeluk pinggangku erat, tangannya dingin, matanya tak lepas dari wajah ayahnya.

"Papa… jangan tidur lagi ya," katanya kecil, nada suaranya retak. Aku menggenggam tangan David yang mulai dingin. Ia membalas genggaman itu, sebentar… lalu hilang. Tangannya terkulai. Alarm monitor detak jantung meraung dalam frekuensi menusuk—aku masih bisa mengingat suara itu sampai sekarang.

Panik.

Dokter dan suster berlarian masuk. Aku ditarik keluar ruangan.

Rika berteriak. Dan kemudian, hening.

Lalu, dunia seakan remuk tanpa aba-aba. Sudah satu bulan berlalu sejak malam itu.

Satu bulan sejak suara tawa David hilang dari rumah kami. Dan Rika... anakku, masih saja setiap pagi duduk di kursi makan dan bertanya,

"Mama, Papa beneran gak bakal pulang lagi, ya?" Aku hanya bisa menunduk. Kadang mengangguk pelan. Kadang tidak menjawab sama sekali. Kadang pura-pura batuk biar dia nggak lihat aku menangis lagi.

Aku menjual salah satu mobil. Memecah tabungan. Menggadaikan perhiasan pernikahan. Segalanya kulakukan demi tagihan rumah sakit yang akhirnya tak menyelamatkan siapa pun.

Aku kecewa. Pada Tuhan. Pada dunia.

Tapi yang paling parah—aku kecewa pada diriku sendiri. Aku… tak sanggup. Aku sendirian.

Aku tak tahu bagaimana caranya menjadi orang tua tunggal. Aku tak siap jadi ibu yang juga harus jadi ayah. Emosiku meledak-ledak. Aku jadi gampang marah.

Rika yang masih kecil, bahkan hanya minta dibacakan dongeng, aku bentak.

"Udah malam! Tidur!"

Padahal, matanya masih sembab karena menangis semalaman memeluk baju Papa-nya. Hari demi hari, aku makin menjauh darinya. Atau… mungkin aku yang mendorong dia menjauh?

Tiga bulan setelah David meninggal, aku menikah lagi. Pria itu baik. Lembut. Dia juga menyayangi Rika seperti anaknya sendiri.

Tapi ada hari-hari…

Hari-hari di mana aku melihat dia menjemput Rika dari sekolah, menggendongnya seperti dulu David lakukan… Dan dadaku terasa sesak.

Aku cemburu. Tapi bukan pada mereka. Aku cemburu pada kenangan.

Senyuman Rika, tawa kecilnya, pelukan tangannya pada pria asing itu—semua itu terasa seperti luka yang digores ulang di tempat yang sama.

Dan sejak itu… aku makin dingin. Rika mulai takut bicara. Mulai berhenti bercerita. Mulai menyimpan semuanya sendiri. Kadang dia hanya diam, duduk di ujung ranjang, menatap jendela.

Atau menggambar Papa-nya di selembar kertas, dengan baju kantor, dasi biru, dan tangan yang selalu menggandengnya.

Dan pada ulang tahunnya yang ke-7, dia berhenti memanggilku Mama.

"Ibu…" katanya sambil membuka kado dari suamiku sekarang.

"Ibu… makasih hadiahnya." Sejak saat itu, tidak ada lagi Mama. Hanya "ibu."

Jarak yang tercipta oleh lidahnya sendiri. Aku masih ingat betapa aku tersenyum waktu itu.

Berpura-pura bahagia. Padahal, di dalam dadaku, ada sesuatu yang runtuh. Retak. Dan tak bisa disusun kembali. Sekarang, baru kusadari…

Semua ini salahku. Kepergian David memang luka.

Tapi akulah yang mengubah luka Rika jadi trauma. Bukan fisik yang terluka—tapi batinnya. Dan itu… lebih parah dari apa pun.

Rika yang dulu ceria, cerewet, lengket padaku, kini menjadi asing. Dingin.

Terjaga. Menjaga jarak. Dan aku menyesal.

Terlambat. Tapi tulus. Aku ingin dia kembali memanggilku Mama.

Bukan ibu. Aku ingin memeluknya tanpa dia kaku. Aku ingin dia percaya padaku lagi. Tapi dinding itu sudah tinggi sekarang.

Maafkan aku, Rika. Maafkan ibumu yang salah ini.

Karena akulah… kamu jadi seperti ini sekarang. Kalau saja waktu bisa diputar… Kalau saja aku sedikit lebih kuat waktu itu…

Aku berjanji, Nak—kalau suatu hari nanti dinding itu runtuh, aku akan jadi Mama yang kau rindukan.

Bukan orang asing di rumahmu sendiri.

[Bersambung]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
To the Bone S2
354      249     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
Fidelia
2062      885     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Wabi Sabi
87      70     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
I Found Myself
40      36     0     
Romance
Kate Diana Elizabeth memiliki seorang kekasih bernama George Hanry Phoenix. Kate harus terus mengerti apapun kondisi Hanry, harus memahami setiap kekurangan milik Hanry, dengan segala sikap Egois Hanry. Bahkan, Kate merasa Hanry tidak benar-benar mencintai Kate. Apa Kate akan terus mempertahankan Hanry?
Can You Hear My Heart?
413      242     11     
Romance
Pertemuan Kara dengan gadis remaja bernama Cinta di rumah sakit, berhasil mengulik masa lalu Kara sewaktu SMA. Jordan mungkin yang datang pertama membawa selaksa rasa yang entah pantas disebut cinta atau tidak? Tapi Trein membuatnya mengenal lebih dalam makna cinta dan persahabatan. Lebih baik mencintai atau dicintai? Kehidupan Kara yang masih belia menjadi bergejolak saat mengenal ras...
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
369      252     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
SABTU
2269      913     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...
Lovebolisme
143      125     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
Unframed
432      322     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
336      249     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...