Bab 28 – Pecahan Rapuh
Peringatan Pemicu:
Bab ini berisi tema kehilangan, tekanan psikologis, dan pikiran-pikiran gelap yang mungkin sensitif bagi sebagian pembaca. Harap membaca dengan kesadaran penuh. Jika kamu berada dalam kondisi rentan, teringat akan melewatkan bab ini atau membaca bersama seseorang yang kamu percaya.
Catatan Penulis:
Cerita ini bukan bertujuan untuk memicu trauma, melainkan menggambarkan realitas emosional seorang tokoh yang sedang berjuang memahami dirinya sendiri. Kamu tidak sendiri. Jika kamu sedang mengalami hal serupa, tolong cari bantuan profesional atau bicara dengan orang yang kamu percaya.
Selamat membaca.
---
Hari Pertama Kontrol ke Bu Luna
Ruangan itu terlalu wangi. Bukan wangi yang enak, tapi semacam aroma steril—gabungan antara lavender, kayu putih, dan entah apa lagi yang bikin aku langsung merasa asing.
Mungkin aku yang terlalu sensitif. Atau... mungkin tempat ini menyimpan terlalu banyak cerita dari orang-orang yang tidak tahu cara menjelaskan rasa sakit mereka.
Aku melangkah pelan, mengikuti Ibu dari belakang. Tumit sepatuku menyentuh lantai keramik putih yang mengilap, menciptakan gema kecil yang tidak nyaman di telinga. Seolah-olah tempat ini ingin setiap langkah terdengar—terdengar dan dicatat.
“Silakan duduk ya.” Suara lembut itu datang dari ujung ruangan.
Bu Luna—perempuan berambut sebahu, mengenakan baju putih tulang, dengan sorot mata yang terlalu tajam hingga disebut ramah. Tapi anehnya, aku nggak takut. Lebih ke... hati-hati.
Seperti seseorang yang mengetahui sesuatu yang belum aku tahu, tapi sabar menunggu aku menyadarinya sendiri. Aku duduk. Ibu di sampingku.
"Rika, kamu tahu kenapa kamu ada di sini?" tanya Bu Luna setelah mencatat sebentar. Aku mengangguk pelan. “Katanya... buat bantu aku.”
"Hmm, benar." Ia tersenyum tipis. "Aku hanya ingin mendengar langsung dari kamu. Kadang-kadang, apa yang dirasa anak dan orang tua itu... beda. Jadi, mungkin kamu bisa cerita sedikit. Apa yang kamu rasakan akhir-akhir ini?"
Aku menunduk. Rasanya ingin bilang tidak tahu, tapi itu jelas bohong. Karena sebenarnya... aku tahu. Aku ngerasa kosong. Tapi juga penuh.
Seperti ada suara-suara yang nyangkut di tenggorokan tapi tidak bisa keluar. Kayak baca buku yang kata-katanya diam-diam diganti, tapi kamu baru sadar di bab selanjutnya.
“Aku…capek, Bu,” bisikku akhirnya. “Tapi bukan capek biasa. Kayak... aku tidur, tapi nggak pernah merasa istirahat. Aku ngobrol, tapi kadang kayak bukan aku yang ngomong. Kadang juga... aku nemu tulisan-tulisan aneh di buku catatan, padahal kayaknya... aku nggak nulis itu.” Bu Luna mencatat lagi, tapi tidak memotong.
“Tulisan aneh seperti apa?” Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat. Tapi pikiranku malah melayang ke halaman buku diary yang pernah kubuka tengah malam.
Ada tulisan:
"Jangan bilang ke siapa-siapa. Kita belum waktunya muncul."
Tulisan itu bukan tulisanku. Tapi muncul di buku milikku. Dan... aku ingat rasanya. Kayak mimpi yang terlalu nyata, tapi saat bangun, kamu sendirian dan takut.
"Kadang... aku ngerasa kayak disekitarnya," kataku pelan. "Padahal aku sendirian. Dan kalau aku mulai cerita ke orang... kayak ada sesuatu yang marah di dalam sini."
Aku menampar dadaku pelan. Bu Luna mendongak. Terjadinya berubah. Masih lembut, tapi jelas lebih fokus sekarang.
"Apa kamu pernah merasa kehilangan waktu? Tiba-tiba sudah ada di tempat lain dan nggak tahu bagaimana bisa sampai di sana?"
Aku diam. Hening beberapa detik. Lalu mengangguk.
"Apa kamu nyaman kalau kita ngobrol berdua dulu? Ibumu bisa tunggu di luar." Aku melirik Ibu. Ia mengangguk pelan, lalu berdiri dan mengelus bahuku sebelum meninggalkan ruangan.
Sekarang hanya aku dan Bu Luna. Dan untuk pertama kalinya... rasanya seperti akan membuka pintu yang selama ini kukunci rapat-rapat. Tapi aku tidak yakin, siapa yang berdiri di belakangnya.
---
Seminggu berlalu sejak pertemuan pertama dengan Bu Luna. Entah kenapa, rasanya bebanku sedikit berkurang.
Aku mulai kembali ke sekolah seperti biasa. Tapi... aku masih menjauh dari Sarah. Awalnya aku bahkan bingung kenapa duduk jauh darinya.
Apa itu keputusanku? Atau... bagian dari diriku yang lain? Sampai hari ini, aku masih memilih duduk jauh.
Sarah juga tampak diam, sesekali melirikku dengan pandangan khawatir. Tapi dia tidak mencoba bicara. Dan jujur, aku takut.
Takut kalau aku telah melakukan sesuatu padanya saat aku... bukan aku.
Takut Sarah sadar. Takut dia menganggapku aneh. Tapi mungkin... itu akan terjadi nanti.
Hari ini, aku kembali punya jadwal kontrol ke Bu Luna. Seperti biasa, Ibu yang mengantarku.
---
Ruangan itu tidak banyak berubah. Sofa abu-abu muda, meja kaca, dua botol air mineral—semuanya masih sama. Tapi pagi ini terasa berbeda. Bukan karena cuaca atau lampu. Mungkin karena aku mulai sadar... ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa terus diabaikan.
“Silakan duduk, Rika.Ibu juga,” ujar Bu Luna.
Aku dan Ibu duduk. Rasanya seperti deja vu, tapi lebih menegangkan. Karena kali ini, aku harus jujur. Bukan cuma soal hal aneh yang saya rasakan, tapi juga soal kebingunganku sendiri.
Bu Luna membuka catatan-nya. “Gimana, beberapa hari ini ada yang terasa berbeda?”
Aku diam. Melirik Ibu, lalu menunduk. "Entah kenapa aku capek banget. Padahal nggak ngapa-ngapain. Tapi rasanya... ada bagian dari diriku yang sibuk sendiri. Kadang juga, aku kehilangan momen. Lagi ngobrol, tahu-tahu topiknya ganti. Atau pas marah, aku nggak ingat aku ngomong apa aja."
Bu Luna mengangguk. “Sudah kamu rasakan sejak kapan?”
"Sejak SMP, kayaknya. Tapi berpikir itu hanya karena aku banyak mikir. Overthinking, mungkin."
“Boleh aku tanya lebih spesifik?” tanyanya, membuka halaman baru. “Biasanya kamu 'hilang' dalam kondisi apa? Marah? Sedih? Senang?”
Aku sedang berpikir. "Campur aduk. Tapi kadang... sebelum semuanya kabur, ada suara kecil di Kepalaku. Bukan orang lain. Tapi juga bukan aku."
"Hati-hati, Rika. Jangan terlalu banyak bicara. Mereka bakal tahu..." Suara itu. Aneh. Tapi nyata.
“Aku kira cuma emosi biasa,” gumamku.
Bu Luna melanjutkan, "Kalau kamu nulis diary, pernah gak ngerasa tulisannya bukan dari kamu? Atau tiba-tiba sadar udah ada di tempat asing?" Aku kaget. Tapi...iya. Dan belum pernah cerita ke siapa pun. Apalagi ke Ibu.
Aku mengangguk kecil.
Bu Luna mencatat. Lalu lihat dengan lembut. “Kalau kamu nyaman, aku ingin ngobrol lebih dalam. Berdua saja. Ibu bisa tunggu di luar?” Ibu sempat ragu, tapi akhirnya keluar. Pintu tertutup. Ruangan jadi sangat sunyi.
Bu Luna mendekat sedikit. "Rika, terkadang tubuh punya cara unik untuk melindungi diri. Saat ada hal berat yang sulit menghadap, bisa muncul 'bagian lain' dari diri kita. Yang muncul untuk bertahan."
Aku menelan ludah. Tenggorokanku kering. Jantungku berdetak semakin cepat.
“Udah, cukup.Jangan terusin.” Suara itu lagi. Tapi... kali ini lebih dari sekedar suara.
Kepalaku berat. Mata mulai panas. Ada sensasi dingin menjalar dari tulang belakang. Tanganku gemetar.
“Rika?” suara Bu Luna terdengar jauh. “Kamu tidak apa-apa?” Aku ingin menjawab. Tapi lidahku kelu.
NGINGG!!
Suara itu muncul. Mendengung di dalam kepala. Dan aku tidak ingat apapun lagi setelah itu.
***
"Hah! Kau kira aku bakal biarin kamu terus korek informasi dari Rika? Kau cuma akan buka lagi luka yang susah payah aku tutup!" Aku menatap tajam ke arah perempuan itu. Ck, menyebalkan. Sama bertahan kayak Guru BK di sekolah Rika—sok peduli, padahal datangnya selalu terlambat.
Dia diam sejenak, lalu tersenyum tenang. "Dengan siapa aku berbicara sekarang?" tanyanya, seolah berhadapan dengan pasien biasa. Aku tidak pernah suka kalau ada yang ikut campur soal hidup Rika. Kenapa mereka baru peduli setelah kami semua muncul?
"Zea. Namaku Zea. Dan kau... Luna. Jangan ikut campur. Di mana kalian waktu Rika benar-benar butuh bantuan? Baru muncul setelah dia nyaris hancur. Menyebalkan. Tidak berguna."
"Aku ini—alter pertama Rika. Yang selalu datang lebih dulu dari siapa pun. Yang melindungi dia dari semua rasa sakit—baik fisik maupun emosional."
Luna masih tenang. "Jadi kamu ubah yang pertama ya?" Pertanyaan bodoh. Jelas-jelas sudah kukatakan terjadi.
"Apa gunanya kau bertanya? Aku muncul pertama kali saat Rika baru tujuh tahun. Saat ibu menyakiti dia... lewat kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan ke anak kecil. Sejak itu, aku yang menjaga dia."
Luna mulai mencatat. Suara menyalakan pulpen itu menggeram.
"Aku tidak akan menjawab pertanyaanmu lagi. Satu kata pun." Luna menjawab. Suasana jadi sunyi. Tapi aku tahu dia pasti sedang menyusun pertanyaan selanjutnya—berharap aku lengah dan mulai terbuka.
Dia mengangguk pelan, nadanya tenang. "Kau marah. Kau lelah. Dan… mungkin juga takut ya, Zea?"
Aku mendelik. "Takut? Aku gak pernah takut. Aku melindungi. Kalau aku takut, Rika udah hancur dari dulu." Luna menulis sesuatu lagi. Aku benci suara itu.
“Kalau begitu…kenapa kau muncul sekarang?” tanyanya pelan. "Rika tidak sedang dalam bahaya fisik, kan? Nggak ada yang menyakitinya di ruangan ini. Jadi kenapa kamu merasa harus ambil alih?"
Aku mengatupkan rahang bawah. Saya tahu penjelasannya. Tapi... aku tidak mau mengatakannya. Karena Rika mulai terbuka. Karena dia mulai melemah. Karena mungkin... dia akhirnya siap menghadapi semuanya. Dan aku takut—dia akan membuangku. Buang kami semua.
"Karena Rika itu bodoh! Dia pikir dia kuat sendiri, padahal dia rapuh! Dan aku nggak akan biarin dia hancur hanya karena terlalu percaya sama orang asing kayak kau!" Suaraku pecah. Aku benci perasaan ini. Marah... tapi juga sakit.
Luna kembali mengangguk, kali ini tanpa senyum. "Zea... aku bukan musuhmu. Aku cuma ingin membantu Rika jadi satu kesatuan. Dia nggak akan ninggalinmu. Tapi kalian semua harus tahu peran masing-masing. Harus kerja bareng. Karena Rika nggak bisa terus hidup dalam perang batin ini." Aku menunduk. Mataku panas. Tapi aku tidak boleh melakukannya. Aku tidak akan menang. Lalu muncul suara lain—pelan, dari sudut kesadaranku.
> "Zea...sudah. Sekarang ganti aku."
Aku berada di bawah. Bukan karena suara itu asing. Justru sebaliknya. Lembut. dingin. Seperti malam yang kehilangan bulan.
“Altera…” bisikku. Luna langsung menoleh. "Altera?" Dan tiba-tiba, tubuh ini... berguncang. Ekspresiku berubah. Udara di ruangan seperti menebal.
Tatapan mataku kini ke arah Luna. Tapi bukan dengan amarah. Bukan dengan panik. dingin. Kosong. Seperti tak punya emosi.
"Aku yang menjaga saat semuanya terlalu parah untuk ditangani siapa pun," ucap suara itu—tenang, seperti salju yang turun tanpa suara.
"Aku bukan pelindung. Bukan juga penyelamat. Aku... sistem shutdown." Luna menegangkan. Kali ini, dia tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
“Kalau kau yang muncul... artinya Rika dalam mode bahaya ya?” tanyanya hati-hati. Altera menatap tajam. "Bukan bahaya. Tapi sistem sedang mempertimbangkan reset."
Ruangan membeku.
Luna menelan ludah. “Kurasa… kita harus berhenti dulu. Hari ini cukup.” Tapi Rika diam. Diam yang bukan sembarang diam.
Karena mungkin... kali ini bukan hanya Rika yang butuh diselamatkan. Tapi semua bagian dalam dirinya yang sudah terlalu lama memikul luka masing-masing.
[Bersambung]