Bab 21 - Sadar
---
Hai, ini aku. Balik lagi ke POV Sarah! Hehe ya, kita beralih ke aku dulu ya. Ada banyak hal aneh yang terjadi. Buat kalian yang membaca dengan teliti dan cukup peka, pasti ngerasa ada yang ganjil dalam setiap interaksi Rika dengan yang lain—termasuk aku, kan?
Bener banget, aku juga ngerasa. Tapi aku perlu memastikan. Aku sempat ragu, antara aku yang terlalu overthinking atau... emang Rika berubah-ubah secepat itu?
Oh ya, sekarang sudah dua minggu sejak kami resmi menjadi pengurus OSIS. Dan kalian tahu apa yang bikin aku makin khawatir? Rika balik jadi dirinya yang pertama kali aku temui—ragu-ragu, gugup, dan tidak percaya diri.
Kemana dia membawa visi-misi OSIS dengan pede itu? Padahal kalian juga baca sendiri, kan, dia sempat tampil sangat meyakinkan. Dan sekarang, dia kembali diam, tertutup. Ini aneh, kan?
Karena itu, aku sudah nelepon Jeno buat ngobrolin ini. Hanya dia yang bisa aku percaya sekarang. Viona? Aku percaya dia juga, sih, tapi lagi sibuk banget akhir-akhir ini.
Akhirnya, kami bertemu di kafe deket rumahku. Dia datang pakai kaus cokelat dan celana panjang hitam. Rapi banget dan... bersih. Aku? Eh, cuma kaus lecek dan celana biasa. Beda kelasnya banget ya? Ha ha ha...
"Jen," panggilku pelan.
Dia noleh, senyum kecil, lalu duduk di seberangku. Kami pesan dulu minuman. Aku ambil cappuccino, dia milkshake stroberi. Dan baru tahu—dia suka banget yang manis-manis. Lucu juga ya, cowok ini.
Eh—maaf, maaf! Fokus lagi ya?
“Jadi, kenapa kamu mau ngobrol langsung? Gak di-chat aja?” tanya Jeno. Aku akan mati sebentar. Nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi akhirnya, aku membuka suara juga.
"Soal Rika. Yang terakhir kali kita bahas... di angkat itu." Jeno ngangkat alis, lalu pelan-pelan angguk.
"Kamu juga ngerasa kalau Rika pas pemilihan OSIS itu... beda?" Aku langsung Angguk. Cepat. Yakin.
"Iya. Bukan cuma beda. Jeno, dia sangat beda. Rika bukan tipe orang yang percaya diri kayak gitu kan? Maksudku, bukan aku nggak suka, tapi aku ngerasa... itu bukan Rika yang asli." Jeno diem sebentar, lalu jawab.
"Aku paham maksudmu, Sarah. Aku juga ngerasa ada yang aneh. Jujur, aku tertarik banget sama psikologi manusia, dan Rika... dia lebih kompleks. Ada sesuatu yang besar di dalam dirinya—sesuatu yang mungkin berasal dari luka lama, yang belum selesai."
Pesanan kami datang. Kami minum dulu, mencoba mencairkan suasana yang mulai berat. Jeno lebih lanjut, lebih pelan sekarang.
"Kalau aku jelasin sekarang, aku takut kamu denial. Karena Rika punya sesuatu dalam dirinya, dan itu... berat buat diterima. Makanya, lebih baik kamu langsung tanya ke Bu Ratri. Dia sudah memperhatikan Rika sejak awal—bahkan sebelum kamu sadar kalau Rika mulai berubah. Dan, oh ya... Bu Ratri itu tanteku."
Mataku langsung melotot.
"APA YANG TERJADI?! BELIAU TANTE KAMU?!" Dia cuma Angguk santai. Eh, kenapa cowok ini selalu misterius banget sih?
"Tapi... maksudmu 'sesuatu di dalam dirinya'? Sesuatu yang... horor? Atau bagaimana? Kenapa harus Bu Ratri yang jelasin ke aku? Dan kamu... kamu sudah tahu duluan ya? Ada yang kamu sembunyiin dariku?"
Aku tatap dia, penuh selidik. Jeno cuma senyum kecil dan geleng pelan.
"Nggak akan ada yang aku sembunyikan dari kamu, Sarah. Aku bakal jujur. Tapi kadang, demi kebaikan, aku juga mungkin harus berbohong sedikit." Dia ngomongnya lembut banget. Dan... entah kenapa, aku ngerasa dia tulus.
"Ck. Berbohong demi kebaikan itu... klise banget, tau gak?! Hah." Aku nyeruput cappuccino tiga teguk sekaligus. Pahitnya nyangkut, tapi sekarang bukan karena kopi—karena Rika.
Kami akhirnya ngobrolin hal lain, tapi pikiranku sudah muter-muter. Aku harus ketemu Bu Ratri. Harus. Rabu depan.
Aku harus tahu... siapa sebenarnya Rika.
~--
"Ada apa, Sarah? Kamu butuh sesuatu? Jeno bilang ada yang ingin kamu bicarakan," Bu Ratri menyapa saat aku masuk ke ruangannya.
"Begini, Bu. Aku sudah sering merasa ada yang berbeda dari Rika. Aku sudah cerita ke Jeno, dan dia juga ngerasa sama. Jeno bilang aku sebaiknya tanya Ibu langsung, takut aku salah paham atau menutup mata. Tapi aku nggak ngerti, kenapa Rika bisa tiba-tiba berubah-ubah banget? Kadang pendiam dan rapuh, lalu tiba-tiba enerjik dan percaya diri," aku menjelaskan dengan suara pelan.
Bu Ratri mengangguk pelan, melelehkannya ke dalam.
"Sarah, kau memang punya rasa kepekaan yang jarang terlihat. Tapi aku harus bertanya, apa kau siap menghadapi sesuatu yang mungkin berbeda dari yang kau bayangkan? Jika kau ingin tetap di samping Rika, kau harus tahu, ini bukan soal biasa-biasa saja," katanya dengan suara lembut, tapi berat.
Aku mengernyit, lalu mengangguk pelan.
“Tentu, Bu. Aku ingin menjadi sahabatnya, apa pun yang terjadi.” Bu Ratri menghela napas panjang, lalu membuka buku catatan bersampul biru.
"Ini catatan yang Ibu buat sendiri selama beberapa waktu. Kau boleh lihat, tapi ingat, ini bukan tentang siapa Rika sebenarnya. Ini tentang apa yang dia coba sembunyikan—atau yang bahkan dia sendiri belum sepenuhnya dipahami."
Aku menatap halaman yang terbuka dengan tulisan rapi:
[Catatan Pribadi BK – Ringkasan Awal]
Nama: Rika Wijaya
Kelas : XI IPS 2
Perubahan:
Sering lupa hal baru yang baru saja terjadi
Perubahan gaya bicara dan tulisan tangan
Sikap berubah tanpa pola yang jelas
Emosi yang terkadang terasa berlebihan
~
Bu Ratri pandangan penuh arti. "Sarah, ini bukan sekadar perilaku remaja biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang bersifat... protektif, meski terkadang membingungkan. Kau harus siap untuk berjalan di jalan yang penuh hiburan."
Saya membolak-balik halaman itu, rasa penasaran dan sedikit takut bercampur.
~
Catatan tanggal 10 Maret:
"Rika pernah berkata 'kami', bukan 'aku'. Ada saat dia bingung sendiri menulis jawaban berbeda di kertas yang sama. Pola ini tidak bisa dianggap remeh. Perlu pemeriksaan lebih lanjut."
— RMD
---
Aku keluar dari ruang BK dengan langkah berat, wajahku pasti murung sekarang. Penjelasan Bu Ratri tadi bikin aku bingung setengah mati. Aku tahu setiap manusia punya luka, tapi apa benar Rika menyimpan sesuatu yang sedalam itu?
Langkahku gontai saat kembali ke kelas. Rika menatap dengan mata yang penuh kekhawatiran, "Sarah? Kamu nggak apa-apa? Wajahmu pucat, kamu sakit?" Suaranya terdengar tulus, tapi ada sesuatu yang aneh di baliknya—entah aku yang terlalu banyak berprasangka, atau ada sisi lain yang belum aku mengerti.
Aku mengangguk pelan, "Aku cuma... sedikit nggak enak badan." Dia menepuk pundakku dengan lembut, dan mengusap punggungku pelan, "Mau ke UKS aja?" tanyanya. Aku menggeleng. "Tidak usah, aku masih bisa belajar lebih lanjut."
Matanya masih menyimpan kekhawatiran yang tulus, sampai akhirnya dia menghela napas panjang dan mengangguk, "Kalau kamu nggak kuat, bilang aja ya?"
Aku hanya mengangguk, tapi itu masih terus membekas di pikiranku—tulus, tapi ada sesuatu yang sulit dijelaskan.
Rika, siapa pun kamu sebenarnya, apa pun yang kau sembunyikan, berapa pun 'dirimu' yang muncul hari ini, aku akan tetap di sini. Jadi sahabatmu. Menunggu sampai kau siap membuka semua luka itu milikku.
[Bersambung]