Bab 20 — Pemilihan OSIS
---
Hai, ini aku, Rika.
Masih ingat kejadian beberapa hari lalu? Aku juga… sebenarnya, tidak begitu ingat.
Ibu bilang aku diantar pulang oleh Samudra— katanya aku jatuh di tangga sekolah. Dalam keadaan tak sadarkan diri.
Lucunya, aku tak mengingat apa pun.Bukan suara Samudra. Bukan wajah teman-temanku. Bukan rasa sakit.
Hanya… hampa. Seolah-olah tubuhku berjalan sendiri, tanpa aku di dalamnya.
Lalu pagi ini, aku baru sadar ada hal-hal yang berubah di kamar.
Kotak putih berpita biru dari teman-teman, kartu ucapan dikirimkan sendiri tapi terasa asing, jam tangan baru dari Ayah. Semua bilang—selamat ulang tahun, Rika.
Aku tahu tanggalnya. Aku tahu hari itu adalah ulang tahunku. Tapi rasanya seperti… ulang tahun orang lain. Yang dirayakan atas namaku.
Tapi ya sudahlah. Tidak perlu berpikir terlalu jauh. Karena itu, ada yang lebih penting: pemilihan OSIS.
Sarah dan aku didaftarkan sebagai pasangan calon ketua dan wakil. Awalnya aku sempat menolak. Kupikir, aku tidak pantas. Terlalu buruk. Terlalu takut. Terlalu... hilang.
Tapi Sarah terlalu bersemangat. Dan entah kenapa, teman-teman lain justru mendukungku.
Katanya, aku keren banget waktu presentasi di NUS. Lucu, karena aku bahkan tidak ingat aku mengatakan apa di sana. Aneh, ya?
Terkadang aku bertanya-tanya:
Apa aku ini pelupa… atau ada sesuatu yang memang sengaja disembunyikan dari aku?
Ah, sudahlah. Untuk saat ini, aku hanya perlu tersenyum, berdiri di panggung pemilihan, dan menjadi "Rika" versi terbaik yang mereka mau.
Setidaknya, itu yang mempertimbangkan waktu itu. Sebelum aku tahu siapa yang sebenarnya berdiri di atas panggung itu nanti.
~**
Dua hari berlalu.
Pemilihan OSIS.
Hai. Balik lagi.
Ini aku—Rika. Atau... versi terbaik dari yang mereka kenal sebagai Rika Wijaya.
Hari ini, akhirnya datang juga. Pemilihan OSIS.
Akhirnya aku bisa berdiri di depan semua orang, bukan hanya sebagai bayangan, tapi sebagai citra yang sempurna. Dan ya, aku benar-benar bersemangat. Gila, bahkan aku sempat tertawa kecil sendiri tadi pagi.
Orang-orang bilang aku hebat saat presentasi di NUS. Katanya aku keren.
Layak jadi wakil ketua OSIS. Layak untuk jadi panutan.
Lucunya? Itu bahkan bukan aku yang mereka tonton waktu itu.
Tapi… tak masalah. Sekarang pun bukan masalah siapa yang asli. Yang penting: siapa yang bisa memimpin.
Pagi ini aku mengenakan seragam terbaik. Dasi kukencangkan. Rambut kuikat rapi. Kemeja kusetrika sendiri.
Hari ini, aku ingin tampil tanpa cela.
"Rika, kamu terlihat keren banget!" seru salah satu teman sekelasku saat di lorong. Aku hanya tersenyum tipis. Bukan senyum hangat. Tapi senyum yang…pas. Tidak lebih, tidak kurang.
Mereka menyukai Rika seperti ini, bukan? Yang tenang. Terlihat pintar. Bicara seperlunya, tapi mengena. Yang terlihat punya arah hidup—walaupun di dalamnya sebenarnya kabur.
Aku melirik pantulan diriku di kaca loker. Tatapan mataku mantap. Tidak goyah. Tidak suram. Hari ini, aku pantas ada di atas panggung itu.
Aku berjalan melewati Samudra. Dia melihatnya, seolah ingin bicara. Tapi dia tidak jadi. Dan aku tidak menoleh.
Hari ini bukan tentang dia. Hari ini tentang pembuktian. Tentang aku. Dan Rika.
Aku masuk kelas. Sarah sudah duduk di tempatnya. Begitu melihatku, dia langsung berseri, "Rika! Gimana? Udah siap? Aku udah nyiapin gimana nanti aku bawain bagian awal sama promonya. Kamu bagian visi-misi sama penutup ya, boleh?" Aku tersenyum. Lebar.
"Semua juga boleh, Sar. Aku pastikan kita tampil paling menonjol."
Dia sempat teringat, lalu ikut tersenyum lebar.
"Ah, iya! Aku yakin. Nih, kamu baca dulu aja visinya. Mau latihan juga boleh, tapi enggak usah maksain ya, Ri?" Aku menerima kertas yang dia berikan. Mataku menyapu dengan cepat.
Hah. Mudah sekali. Saya bisa menghafalnya dalam 10 menit. Lalu, suara dari pembicara sekolah menggema:
"Perhatian kepada seluruh murid SMA Elitara, mohon segera ke lapangan 2 untuk melaksanakan pemilihan OSIS baru. Acara akan dimulai pukul 09.10 WIB. Terima kasih."
Anak-anak mulai keluar dari kelas. Semuanya tampak heboh, penuh semangat, dan… penuh ekspektasi. Jeno datang mendekati kami.
"Hey, semangat. Aku yakin kalian pasti bisa. Gue bakal pilih kalian, nomor satu." Pandangannya sekilas ke arahku, tapi jauh lebih lembut saat mengarah ke Sarah.
Yah… yah… aku tahu kok. Aura-aura “mereka ada sesuatu” memang udah nggak bisa disembunyikan lagi.
"Eh, makasih, Jen..." sahut Sarah, "Tapi jangan cuma karena kita deket ya. Dengerin juga visi-misinya, cocok apa enggak buat lo."
Manis banget, penjelasannya. Padahal kalau di depannya ini Samudra atau Rendra, dia pasti sudah bales pake sinisme level dewa.
Aku mendengus pelan.
“Ck. Udah, ah. Kalian kelamaan.” Aku jalan duluan. Kelas udah hampir kosong. Sarah buru-buru berdiri, Jeno ikut. Mereka jalan berdua di belakangku.
Aku menghela napas. Bolehkah aku ikut bilang 'cie' ke diri sendiri? Karena rasanya sekarang aku yang jadi nyamuk dalam kisah mereka.
Tapi tidak apa. Sebentar lagi, highlight akan ada di tempat yang seharusnya.
Di atas panggung. Di bawah namaku.
---
Lapangan Dua penuh sesak. Panas matahari menampar kulit dari segala arah, meskipun sebagian besar area sudah dipayungi tenda besar warna putih tulang. Garis-garis pembatas membentuk seperti kotak-kotak besar, membelah lapangan jadi lautan warna—merah, kuning, biru, hijau, hitam, ungu. Setiap kelas duduk sesuai warna kursi mereka, seperti pion-pion besar yang sudah diatur sesuai perintah panitia. Tidak ada yang boleh keluar garis, pengawas duduk di sisi kanan dan kiri seperti penjaga labirin.
Para kandidat OSIS duduk di sisi depan, selain dari kepadatan, kursi mereka sedikit lebih tinggi—lebih terlihat, lebih "panggung". Aku duduk di samping Sarah. Tanganku menyentuh lutut, lututku bergoyang pelan. Tapi bukan karena gugup. Lebih ke… semangat yang mendesak ingin meledak. Kalau bukan aku yang berdiri di sini, mungkin aku akan muntah karena tegang. Tapi aku bukan yang itu. Aku Rika Wijaya. Dan aku tahu, aku siap.
Sarah di sampingku terus membolak-balik slide di ponselnya, berusaha mengingat urutan. Tangannya sempat menyentuh lenganku sebentar—dingin. Tapi wajahnya tetap tersenyum. Tenang-tenang ketar, kalau kata orang tua.
“Kayaknya bentar lagi kita,” gumamnya.
Aku cuma Angguk. Santai, Sar.Gak ada yang perlu ditakutin.
Acara dibuka oleh guru Kesiswaan, dengan gaya pidato yang terlalu formal dan suara mic yang sesekali berdesis. Lalu beralih ke MC, lalu ke ketua OSIS sebelumnya—dua orang yang sepertinya sangat menikmati masa jabatan mereka, meski sekarang wajah mereka tampak lega seperti baru lepas dari skripsi.
Slide tujuan pemilihan OSIS ditampilkan di layar LED besar yang disewa sekolah, disusul penjelasan soal voting, pentingnya peran murid, dan blablabla... akhirnya Sampai, waktu yang ditunggu datang juga.
Kandidat satu maju. Lalu berdoa. Lalu tiga. Semua memakai nada yang nyaris sama. Janji-janji manis, kata-kata aman, dan rencana-rencana yang terdengar seperti template.
Aku dan Sarah kandidat keempat.
“Kita bisa, kan?” tanya Sarah pelan, senyumnya masih stabil meski aku tahu napasnya mulai tak teratur.
“Bisa banget,” jawabku. Kami berdiri. Langkah kami mantap, meski sepatu yang kupakai sedikit keras bunyinya di lantai panggung kayu. Aku lihat Samudra dan Rendra dari kursi kandidat lain. Salah satu dari mereka—Rendra, kalau tidak salah—tersenyum tipis, entah siapa yang sinis atau menghargai.
Sarah mengambil mic lebih dulu.
“Halo, teman-teman semua!” suaranya jernih, stabil meski aku lihat dari balik punggung, satu bluetooth menekan keras-keras ke badan mic—mungkin untuk menahan getaran gugup. “Aku Sarah, calon ketua OSIS yang nggak cuma pengen jadi figur keren di sekolah, tapi juga pengen kita semua ngerasa lebih nyaman dan semangat setiap hari datang ke sini.”
Beberapa murid dari barisan tengah menoleh. Suara Sarah tenang, tapi cukup ceria buat memadukan suasana formal yang dari tadi kayak seminar pendidikan.
"Gak cuma omdo, aku sama Rika punya rencana buat bikin sekolah ini bukan hanya tempat belajar doang, tapi juga tempat berkembang dan bersenang-senang bersama. Kadang sekolah ribet, iya. Tapi kita bisa bikin semuanya lebih asik dan bermanfaat."
Jeda sebentar, lalu dia menoleh ke arahku.
"Yuk, dengerin dulu apa yang bakal Rika bilang tentang visi dan misi kita. Karena ini bukan cuma janji, tapi komitmen. Gak kayak si Doi yang cuma janjiin langit, tapi ngilang pas hujan turun."
Tawa pelan terdengar dari beberapa barisan belakang. Aku maju satu langkah. Menatap kerumunan itu—wajah-wajah yang menantikan. Ada yang memperhatikan, ada yang HP utama, ada yang pura-pura cuek padahal mendengarkan siaga.
“Terima kasih, Sarah,” ucapku, lalu diam sebentar. Menarik napas. Tegap. Menatap mataku mengarah lurus ke lautan siswa itu.
“Gue jujur ya… Sebenernya gue gak niat berdiri di sini.” Suaraku mantap. “Bukan karena gak bisa. Tapi karena... ya, kalian tahu sendiri. Jabatan OSIS kadang cuma pajangan. Biar keliatan aktif. Biar dapet nilai plus buat kuliah. Biar bisa tulis 'mantan OSIS' di bio.”
Tawa kecil, beberapa celetukan.
“Tapi terus gue mikir… Kalau nggak ada yang beneran peduli, OSIS bakal gitu-gitu aja kan?” Saya bisa lihat beberapa guru mulai memperhatikan. Bahkan Bu Ratri, guru BK yang suka mikir aku ini 'berbeda', memandang dari ujung tribun. Matanya tajam. Seolah membaca sesuatu.
“Visi kami simpel: OSIS yang gak cuma sibuk, tapi nyata. OSIS yang kerja, bukan gaya.” Aku mulai membacakan misi satu per satu. Suara tetap stabil, penekanan pada setiap titik. Mataku menyapu segala arah, memberi tekanan seolah aku berbicara langsung pada setiap dari mereka.
Dan pas aku sampai ke titik transparansi, aku sengaja berhenti sebentar. "Karena kita kerja buat kalian. Bukan buat diri sendiri. Dan kalau kalian pengen bukti, kita bakal kasih diagram keuangan, laporan kegiatan, sampai target kerja. Gak bakal ada drama. Gak bakal ada tipu-tipu kayak... ya, kalian tahu sendiri lah. Politik luar sono."
Sarah menahan senyum. Aku tahu dia juga tidak nyangka aku bakal selantang itu.
“Dan terakhir,” ucapku sambil melangkah satu ketukan ke depan. “Kalau kalian cuma pengen OSIS yang senyum manis pas kampanye, terus ngilang pas disuruh kerja... ya, silakan pilih yang lain.”
Hening. Beberapa detik.
“Tapi kalau kalian pengen OSIS yang kerja beneran, yang dengerin, yang bukan cuma formalitas—kami di sini.”
"Nama kami Sarah dan Rika. Kami tidak sempurna. Tapi kami cukup peduli untuk ngelakuin sesuatu." Tepat setelah saya selesai bicara, angin pagi menggerakkan tenda sedikit. Hening itu masih menggantung.
Lalu—tepuk tangan. Satu. Dua.
Gemuruh tepuk tangan menyusul dari berbagai arah. Sorakan kecil. Beberapa murid bahkan berdiri. Guru-guru saling memandang. Aku menangkap ekspresi Bu Ratri: kelopak naik, ekspresi... hati-hati? Di sampingku, Sarah menyenggol lengan pelan, nengir.
“Lu nyihir mereka membeku,” bisiknya.
Aku hanya mengangguk pelan, senyum tipis pun terbentuk.
“Aku Rika Wijaya. Apa sih yang nggak bisa aku lakukan?”
Kami turun dari panggung. Kandidat kelima naik, lalu sesi voting dimulai—semua murid mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi khusus buatan sekolah. Cahaya layar menyala seperti bintang-bintang kecil.
Dan di tengah riuh sorakan itu, saya tahu—ini permulaan baru.
-~
Sekitar 30 menit kemudian, semuanya selesai. Hasilnya akan segera diumumkan melalui layar digital yang ada di setiap kelas.
Aku sudah duduk di samping Sarah. Dia terlihat santai banget, meski tetap nyerocos soal betapa dia penasaran dan deg-degan. Aku sih terlihat santai, tapi ya... aku tetap berharap. Kami harus dipilih.
Hingga akhirnya, layar digital menyala.
Tulisan besar itu muncul:
HASIL VOTING OSIS 202*
• Kandidat 1: 25%
• Kandidat 2: 15%
• Kandidat 3: 15%
• Kandidat 4: 35%
• Kandidat 5: 10%
“Selamat kepada Sarah dan Rika sebagai ketua dan wakil OSIS baru. Kami berharap kalian bisa membawa perubahan positif dan mengembangkan sekolah lebih tinggi lagi. Foto bersama, dokumentasi, dan presentasi selendang OSIS akan dilakukan pukul 12.00 di Aula 1. Terima kasih.”
Sarah terkejut. Lalu perlahan, dia menoleh ke arahku dengan mata berkaca-kaca dan senyum super lebar. Dia langsung memelukku erat.
"RIKA!! KITA! JADI! OSIS!!" teriakannya bahagia, penuh kejutan. Aku memeluknya balik dan ikut tersenyum lebar.
"Aku udah duga kita bakal pilih!" jawabku penuh percaya diri. Sarah melepas pelukannya dan memandang sambil mengangguk semangat.
"Iya! Makasih ya, Ri! Aku yakin, ini semua karena lo yang bawain visi-misi kita dengan keren banget!" katanya. Aku hanya tersenyum. Tentu saja. Kalau bukan aku, siapa lagi?
Teman-teman datang mengucapkan selamat. Viona, Samudra, dan Rendra mampir ke kelas. Viona langsung memeluk aku dan Sarah.
"WAAAHH! SELAMAT!! GILA KEREN!! TEMEN GUE KETUA DAN WAKIL OSIS! CIHUUUYY!!" katanya super heboh.
Rendra menyala ikut menyalami kami berdua. Samudra ikut juga, meskipun... dia terlihat agak berbeda. Ada kekhawatiran.
"Ri, selamat. Tapi... kamu baik-baik aja kan? Kamu ngerasa ada yang aneh? Atau... beda?" tanyanya pelan.
Aku membukakan mata, menatap tajam. Hah? Cowok ini juga? Kepekaan macam Jeno dan Bu Ratri?
"Aku baik-baik aja, Sam. Nggak usah khawatir. Aku ini Rika Wijaya. Apa sih yang nggak bisa aku lakuin?" kataku sambil berkacak pinggang. Sarah, Samudra, Jeno, Rendra, dan Viona langsung saling pandang. Terkejut.
Tapi Viona cepat-cepat tertawa buat mencairkan suasana. Aku meliriknya. Hmm... sepertinya dia juga peka.
"HAHA! Bagus, Ri! Percaya dirinya makin mantap. Seneng liatnya, walau... butuh waktu juga ya." ujar Viona sambil tersenyum. Aku cuma senang, lalu mengangguk malas.
Bel masuk. Aku kembali duduk, dan mereka bertiga pamit. Jeno balik ke mejanya, tapi matanya... masih nempel ke arahku. Tajam. Nyeblin.
Sarah duduk di sampingku lagi. Tadi dia super heboh, tapi sekarang dia hanya diam... matanya jelas menyimpan rasa khawatir. Tapi dia tidak bilang apa-apa.
Guru IPS masuk. Aku menarik napas panjang.
Semuanya sudah berjalan lancar. Sekarang... waktunya aku tidur, dan membiarkan dia kembali menjadi dirinya sendiri.
[Bersambung]