Bab 16 - Karya Wisata
---
Hai. Balik lagi sama aku. Jeno.
Maaf ya kalo kalian bosen denger suara gue terus. Tapi yah, ini karya wisata pertama dan terakhir sebelum kita lulus. Jadi... harusnya seru, kan?
Sekarang, kami semua—sekitar 330 murid, 30 guru dan staf—lagi jalan-jalan sekolah ke luar negeri. Destinasi: Singapura.
Empat hari tiga malam, padat banget jadwalnya. Setiap kelompok udah dikasih tugas riset. Presentasi nanti diadakan langsung di kampus NUS. Bisa dibilang, ini karya wisata rasa kuliah singkat.
Dari jam 4 pagi tadi kami udah ngumpul di sekolah. Bagi paspor, ID, absen, dan briefing kecil. Pesawat berangkat jam 07.30 dari Soekarno-Hatta. Dan, ya... sekarang gue lagi duduk di pesawat. Sebelah gue: Sarah.
Sarah diem aja dari tadi. Tangannya megang earphone, tapi nggak dinyalain. Tatapannya lebih sering nembus jendela. Sesekali dia lirih ngelirik ke arah depan, ke tempat duduk Rika dan Samudra.
Dan ya, gue masih ditugasin buat ngejagain Rika.
Walaupun Bu Ratri ikut juga dalam rombongan ini, tetap gue yang paling deket—standby kalau Rika kenapa-kenapa. Kami satu kelompok. Kelompok 17. Totalnya ada 20 kelompok. Masing-masing berisi sekitar 16 sampai 17 orang.
Presentasi dibagi dua sesi:
Kelompok 1–10: tampil di hari kedua.
Kelompok 11–20: hari ketiga.
Gue nyender ke kursi, mulai ngantuk. Masih satu jam lagi sebelum mendarat. Gue pejam mata bentar—ngisi tenaga buat marathon jadwal ke depan.
~
“Jeno. Bangun. Lo mau ditinggal?” Suara Sarah nyaring banget di telinga. Pundakku ditepuk pelan. Gue kebangun, langsung ngusap mata yang berat. Fokus gue langsung ke wajah Sarah.
“Sepuluh menit lagi mendarat,” katanya lagi. “Bu Safa nyuruh bangunin yang tidur.” Gue angguk, duduk tegak, stretching dikit. Sarah kayaknya nggak tidur sama sekali. Mata dia kelihatan masih tajem.
Pramugari mulai ngumumin prosedur pendaratan. Gue buru-buru beresin barang, pasang seatbelt. Deg-degan mulai muncul—antara excited dan anxious. Ini kali pertama gue ke luar negeri bareng satu angkatan.
~
Pukul 10.15 waktu Singapura.
Kami baru keluar dari bandara, sekarang lagi di dalam bus menuju hotel. Gue duduk bareng Rika. Sementara Sarah duduk sama Samudra—mereka satu kelompok, kelompok 4. Viona dan Rendra ada di kelompok 10.
Rika buka buku kecil lusuh berwarna coklat—yang selalu dia bawa ke mana-mana.
“Kita tetap riset soal identitas kota dan relasi sosial masyarakat, ya?” tanyanya pelan. Suaranya datar, kaku. Kayak lagi diskusi akademik, bukan obrolan biasa.
Gue angguk. “Iya. Kita dokumentasiin suasana juga. Foto-foto lingkungan.” Dia cuma ngebalas dengan anggukan tipis. Nggak ada basa-basi.
Biasanya Rika bakal nanya banyak hal, cerita insight awal, atau sekadar komentar soal tempat yang kita lewatin. Tapi kali ini... sepi.
Gue cuma bisa duduk diam. Sambil mikir: apa dia tahu?
---
Sampai hotel jam 11 siang.
Kami langsung check-in, taruh koper, dan istirahat sebentar. Kamar dibagi per kelompok—dipisah cowok dan cewek.
Gue sekamar sama Dimas, Haidar, dan Rio. Rika sekamar bareng Kezia, Manda, dan Ayu.
Sarah dan Viona di lantai beda, sesuai kelompok 4 dan 10.
Jam 13.00, setelah makan siang. semua udah siap berangkat ke lokasi pengamatan pertama: Marina Barrage. Tempatnya luas. Angin lautnya kencang. Panas, tapi enak.
Kami mulai ambil catatan, foto-foto, ngamatin interaksi antara turis dan warga lokal. Rika sempat wawancara dua orang tua lokal—pakai bahasa Inggris yang pelan, tapi rapi. Gue yang dokumentasiin pakai kamera sekolah.
Sore harinya, kami lanjut ke Gardens by the Bay. Tempatnya estetik banget. Gue bisa ngeliat langsung gimana ruang hijau dipaduin sama teknologi. Keren sih.
Rika sempat berdiri lama di depan air mancur warna-warni. Tapi ekspresinya bukan kagum.
Lebih ke... mikir dalam banget. Tatapannya kosong. Gue nggak yakin itu Rika. Atau... yang lain?
---
Pukul 19.30
Balik ke hotel. Semua keliatan lelah.
Gue juga jujur kewalahan sama semua kegiatan hari ini—meskipun cukup menyenangkan. Tetap aja, jadwalnya padat banget. Tapi begitu inget besok...
Besok pagi kami lanjut riset. Lalu jam 13.00 sampai 17.00, kelompok 1 sampai 10 bakal presentasi di kampus NUS.
Kelompok gue? Masih ada waktu. Tapi data harus siap. Di depan lift, tiba-tiba Rika nyamperin.
“Jeno.” Gue noleh.
“Kalo besok kamu lihat aku diem... atau ngerasa aku aneh... tolong jangan bilang siapa-siapa dulu, ya,” katanya pelan.
Gue ngangguk. Nggak nanya apa-apa. Tapi kepala gue langsung ribut. Apa maksudnya... dia tahu? Apa ‘mereka’ sadar gue ngawasin?
Dan kalau iya...
Gue takut ini bukan cuma tentang Rika lagi. Mungkin... ada sesuatu yang ikut. Yang bahkan sampai ke luar negeri, masih tinggal di dalam dirinya.
~.
Kamar 256
"Jangan salahkan faham ku kini tertuju oh~~"
Suara Dimas nyaring banget, nyaring yang bikin kuping bergetar kayak speaker murahan.
Terdengar sampai keluar kamar mandi. Rio langsung ngegedor pintu, wajahnya udah kayak bapak-bapak Satpam komplek yang kesel ngeliat bocah nyanyi tengah malam.
"Diam, Dim! Jaga sopan santun, woy. Ini hotel, bukan panggung karaoke," omel Rio.
Aku menghela napas. Dimas nyanyi tuh bukan kayak penyanyi—lebih kayak tikus kejepit yang salah masuk kamar. Kupandangi jam tanganku. Baru pukul 20.00, waktu Singapura.
"Rio, gue ijin keluar sebentar, ya? Nyari udara segar. Telinga gue butuh penyelamatan darurat," kataku. Rio noleh, terus ngeliat jamnya sendiri. Mengangguk pelan.
"Balik paling lambat 20.40. Jangan molor."
Aku mengangguk. Haidar? Masih duduk di pojokan, tenggelam dalam catatan dan jadwal kegiatan besok. Fokus banget. Aku sendiri malah ngerasa kosong. Bukan males. Lebih ke... hampa. Otak rasanya kayak habis dipakai muter film slow motion.
Kututup pintu kamar dan melangkah menuju lift. Saat pintu lift terbuka, sosok Sarah berdiri sendirian. Wajahnya langsung cerah pas lihat aku.
"Ah! Jeno, syukur deh. Gue mau ke lantai bawah, tapi serem kalo sendirian." Senyumnya ngembang kayak anak kecil nemu permen.
Aku mengangguk, masuk tanpa banyak bicara.
Kami berdiri berdampingan. Hening. Tapi bukan hening yang canggung. Lebih ke... bingung mau mulai dari mana.
Beberapa detik berlalu, sampai akhirnya Sarah membuka suara. Pelan. Ragu.
"Eh... gue mau ajak lo ngomong sesuatu. Tapi lo jangan bilang ke Viona atau siapa pun, ya? Apalagi ke.. Rika."
Aku menoleh, mata kami bertemu. Dia serius. Aku mengangguk kecil. Sarah menarik napas panjang, seperti ngumpulin keberanian.
"Gue udah ngerasa aneh sama Rika dari awal Rendra masuk." Aku menahan napas.
"Lo ngerasa gak sih... dia kadang bisa berubah sikapnya drastis banget? Maksud gue, bukan sekadar moody. Tapi kayak... orang lain. Ada kalanya dia bisa super ceria, terus besoknya diem aja. Dan itu bisa berlangsung berminggu-minggu. Terus... balik lagi ke Rika yang biasa. Seolah nggak pernah terjadi apa-apa."
Dia berhenti sejenak, matanya nyari validasi.
"Dan yang bikin gue tambah bingung... dia kadang ngomong kayak bukan Rika. Gaya bicaranya berubah. Intonasinya. Bahkan pilihan katanya." Aku menelan ludah. Ini bukan halusinasi kami doang, ternyata. Bukan cuma aku yang sadar.
"Gue juga lagi perhatiin dia, Sarah," kataku pelan. "Gerak-geriknya… aneh. Bukan Rika yang gue kenal. Ada momen dia kayak... bukan dia. Tapi bukan kerasukan juga. Lebih ke... kosong."
Sarah menatapku. Matanya lega, tapi juga takut.
"Iya, itu! Kayak ada 'versi' lain dari dia. Tapi dia gak sadar. Dan pas kita singgung, dua hari kemudian dia balik ke Rika yang dulu, seolah semuanya fine."
"Apa mungkin dia punya... sesuatu yang dia gak bisa bilang ke kita?" Aku hanya mengangguk. Dalam hati, mulai menyusun potongan-potongan kecil yang selama ini kupendam. Tatapan kosong Rika di perpustakaan. Cara dia kadang manggil aku dengan nada aneh. Bahkan caranya duduk... berubah.
Ting!
Pintu lift terbuka. Kami melangkah keluar.
"Lu mau kemana, Jeno?" tanya Sarah sambil menatapku.
"Cari angin segar aja," jawabku, singkat. Dia diam sejenak. Matanya ngerasa.
"Boleh... gabung?" tanyanya. Ada harap yang nggak terucap di wajahnya.
Aku nyengir tipis. "Boleh. Yuk."
Dia menyusul langkahku. Dan untuk sementara, mungkin aku bisa istirahat dulu. Dari pelajaran, dari Dimas, dari Rika—dan dari teka-teki yang perlahan bikin aku susah tidur tiap malam.
Ah, dan mungkin kehadiran Sarah sekarang bisa memperbaiki kondisi hati dan pikiranku.
[Bersambung]