Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 15 -  Naik Kelas

----

 

Sudut Pandang Jeno

Ya, gak usah dijelasin kayak apa lagi. Ini pakai POV-ku, dan mungkin narasiku nggak seasik Sarah atau bagus Rika. Tapi ini cerita dari sudut pandangku—yang selama ini hanya duduk diam, ngamatin dari belakang, dan gak banyak yang tahu.

Naik kelas.

Kedengarannya biasa saja. Cuma pindah ruang, jadwal baru, guru baru. Tapi buat kami—yang sudah mulai nyaman dan solid di lingkaran kecil kelas XB—ini bukan hal sepele. Ini artinya: pecah belah.

Viona, Rendra, dan Samudra sekarang di XI-B.

Aku, Sarah, dan… Rika, di XI-A.

Sebenarnya aku sudah mengenal Rika sejak semester lalu, saat aku pindah tengah semester ke XB. Gak butuh waktu lama sampai akhirnya aku nongkrong bareng mereka. Viona—sepupuku—yang narik aku duluan masuk lingkaran itu. Sarah, si cerewet yang ramah. Rendra yang asik dan mudah dekat sama siapa aja. Samudra yang kalem dan stabil. Dan Rika yang… ya, selalu terasa kayak teka-teki.

Beberapa bulan bersama mereka, aku mulai sadar satu hal: Rika bukan orang yang mudah ditebak.

Bukan berarti dia aneh. Bukan. Tapi... kadang dia ada, kadang dia nggak. Fisiknya hadir, tapi pikirannya entah ke mana.

Pernah sekali, dia duduk di sebelahku di kantin. Tapi pas aku nanya sesuatu, dia ngeliat aku kayak aku orang asing. Kayak aku bukan bagian dari dunia yang dia kenal.

Waktu itu aku kira, mungkin dia hanya capek. Mungkin lagi banyak pikiran. Tapi makin hari, makin sering kejadian kayak gitu.

Dan hari ini—pas kita duduk di kelas XI-A—semuanya kerasa lebih… sepi. Padahal masih ada Sarah. Masih ada aku. Tapi entah kenapa, Rika kayak orang baru.

Dia duduk sama Sarah, kayak biasa. Tapi diam-diam. Gak nanya soal Viona. Gak komentar soal kelas baru.

Dia kayak… ikut pindah ke dunia yang bukan milik kita. Aku duduk di belakang mereka. Di sebelah Rangga—anak baru yang seangkatan, tapi nggak terlalu banyak ngomong.

Dari sini, saya bisa lihat jelas: Rika nunduk. Tangan kirinya ngeremas ujung lengan baju. Lagi. Kebiasaan yang sama kayak waktu pertama kali aku kenal dia.

“Jeno, tolong perhatiin dia ya,” kata Tante Ratri waktu itu.

Ya, yang kalian kenal sebagai Bu Ratri, guru BK di sekolah ini. Tapi buatku dan Viona, beliau adalah Tante. Waktu kami pindah, memang kebetulan dia meminta bantuan saya dan Viona untuk memperhatikan Rika.

Waktu itu aku kira, Rika cuma cewek pendiam. Tapi sekarang aku tahu...

Dia bukan cuma pendiam. Dia kayak punya dunia sendiri. Dunia yang belum aku tahu. Tapi harus aku masuki.

Karena entah kenapa, aku merasakan semua ini bukan kebetulan. Aku juga punya ketertarikan yang sama seperti Bu Ratri—beda dengan Viona yang cenderung agak cuek.

Ya, mungkin kalian kurang nyaman aku manggilnya Tante Ratri? Baiklah, aku panggil Bu Ratri lagi.

Menurutku, memperhatikan kebiasaan, perilaku, sifat, dan sikap seseorang itu seru. Saya bisa belajar banyak hal dari situ. Jadi, waktu aku diberi 'tugas' ini, aku justru semangat. Fokus. Sasaran Punya.

Tapi tentu saja, saya juga harus melaporkan hal-hal yang aneh dari Rika, kalau ada.

Lelah? Enggak. Benar-benar menyenangkan.

Aku bisa ngobrol dan belajar hal-hal baru soal emosi manusia dari Bu Ratri. Selain jadi guru BK, beliau juga lulusan S2 Psikologi. Jadi aku percaya padanya.

Kenapa aku bisa tetap sekelas sama Rika? Karena memang Bu Ratri yang sengaja menempatkanku di sini.

Dan tentu saja Sarah juga, sahabat Rika, yang tidak akan mengganggu pengamatanku.

Kenapa Samudra, Rendra, dan Viona dipisah? Entahlah. Itu aku tidak tahu pasti. Tapi kami berenam masih sering berkumpul, kok. Di kantin, atau saling main ke kelas XI-A dan XI-B.

Aku perhatikan juga, akhir-akhir ini Rika kayak balik ke dirinya yang lama. Tapi...tidak sama seperti waktu semester 2 kelas X, saat dia masih terlihat mencolok dalam diamnya. Ada yang berbeda.

Sikapnya yang biasanya enggan dekat dengan cowok, tiba-tiba jadi akrab sama Rendra. Kau tau Rendra kan? Lebih ramah dari Samudra. Energinya lebih terbuka.

Tapi anehnya, mereka tiba-tiba cocok aja gitu? Sampai akhirnya, Sarah berani ngomongin soal itu ke Rika—atau mungkin... bukan Rika.

Dua hari setelahnya, Rika balik kayak biasa lagi.

Pas Sarah minta maaf dan nanya kenapa sikap Rika berubah akhir-akhir ini, Rika terlihat bingung. Aku tahu dari ekspresi dan postur tubuhnya.

Tapi akhirnya Rika menjawab. Dan aku juga tahu... dia bohong. Sorot mata, cara dia lihat Sarah—itu bukan ekspresi orang yang paham apa yang dia omongin.

Sarah sih nggak pernah cerita langsung ke aku, tapi dia cerita ke Viona. Dan dari situlah aku tahu semuanya.

Viona ngaasih info seperlunya, cukup untuk mendukung tugasku. Tapi, aku rasa... sejak masuk kelas XI ini, Rika mulai sadar bahwa aku mengawasinya.

Dia sering banget nangkep aku yang lagi memperhatikan cara dia ngomong. Terus dia melihat ke belakang. Tajam.

Dan aku curiga... itu bukan Rika yang asli.

Aku tahu Rika yang asli tidak nyaman ditatap cowok terlalu lama, apalagi intens. Tapi yang ini... kayak ngelawan.

Menurutku, aku dan dia punya energi yang sama. Sama-sama gak terlalu rame kayak Viona, Sarah, Samudra, apalagi Rendra. Itu yang membuat saya mudah masuk.

Tapi ya... makin ke sini, makin susah. Entah Rika yang asli mulai sadar, atau... bagian lain dari dirinya yang mulai berjaga.

Dia jadi lebih sering menjaga jarak denganku. Dan ini membuat tugasku semakin rumit.

Aku bukan penguntit, sungguh! Tapi sejak dia berubah waktu awal Rendra masuk, aku semakin... tertarik. Bukan karena suka, tapi karena penasaran.

Apa sebenarnya yang terjadi dengan Rika? Baik, cukup dulu. Pelajaran IPS akan segera dimulai.

 

~

 

Kantin

Begitu bel terakhir berbunyi, Sarah langsung narik diterima. “Ayo, kelaperan sumpah!” , masih dengan suara khasnya yang terlalu cerah untuk hari yang panas ini katanya. Rika jalan santai di belakang kami, masih asik ngecek ponsel. Kayak biasa, kami menuju kantin dan langsung ke meja bulat langganan di pojok—tempat yang sudah kayak markas kecil buat kami berenam.

Meja itu sudah ditempati Samudra, Viona, dan... Rendra.

Anak paling baru. Pindahan semester dua kemarin. Dan entah kenapa, cepet banget bisa nyambung—walau kadang aku ngerasa dia lebih banyak “nyambungin diri” daripada menyambungin orang lain.

Aku duduk di samping Sarah, posisi favorit yang kayak udah otomatis dari dulu. Tidak perlu diatur. Kami semua kayak sudah punya tempat tetap, seolah-olah meja bulat ini mengerti siapa harus duduk di mana. Rika duduk di seberangku, sebelah sama Samudra. Viona di antara Rika dan aku, dan Rendra ngisi sisa kursi di samping Samudra.

Dulu aku dan Viona juga baru di sini. Kami pindahan bareng di pertengahan semester satu ke dua, kelas 10. Tapi sekarang, rasanya kayak kami sudah lama aja di meja ini. Udah nyatu. Mungkin karena waktu itu langsung nyambung sama Sarah dan Samudra, terus pelan-pelan juga deket sama Rika yang... yah, nggak gampang deket sama siapa pun.

Jadi ya, duduk di sini sekarang—di tengah lingkaran ini—nggak terasa kayak orang baru lagi. Apalagi ngelihat Rendra yang masih berjuang nyari tempat dalam dinamika yang sudah terbentuk.

Dan bener aja, dia langsung ngoceh. Kayak radio rusak yang volumenya nggak bisa dikecilkan. Cerita soal game yang dia mainin semalem, dengan gaya lebay dan punchline yang hanya dia yang ketawa.

Samudra Cuma Angguk-Angguk. Viona nunduk, sibuk sama ponselnya. Sarah nyengir, nahan ketawa. Dan aku? Aku juga tersenyum ikut. Tapi lebih karena Sarah tersenyum. Gimana ya... kadang senyum dia itu kayak tombol mute buat suara-suara gak penting. Termasuk suara Rendra.

"Gila, parah sih gamenya. Sampe lupa makan gue," kata Rendra, masih semangat.

“Pantesan lo tambah halu,” celetuk Sarah, pelan tapi kena.

Kami semua ketawa. Termasuk aku. Tapi pandanganku keburu nyangkut ke arah Rika. Dia masih duduk tenang, ekspresinya datar. Tapi beberapa detik kemudian, berhenti di luar jendela. Diam. Lama.

Aku ikut nengok. Tidak ada apa-apa di luar. Cuma jalanan, motor lewat, dan abang bakso yang lagi mangkal. Tapi muncul Rika kayak... kosong. Kayak badannya ada di sini, tapi pikiran sudah jalan entah ke mana.

“Ngantuk kali ya dia,” gumamku, pelan banget.

Sarah noleh, denger juga. "Biasanya sih bukan ngantuk. Kalo Rika udah diem kayak gitu, artinya lagi masuk mode mikir pembohong. Susah diajak balik ke realita."

Aku cuma Angguk kecil. Tapi tetap ada rasa tidak enak yang diangkut di dada. Nnggak besar, cuma cukup buat bikin aku ngelirik dia lebih dari sekali.

Mungkin karena aku sudah terbiasa ngamatin dia. Mungkin juga karena... aku ngerasa dia nyimpen sesuatu yang dia sendiri belum ngerti.

Tapi entah kenapa, di sela-sela mikirin Rika, pandanganku balik ke Sarah. Dia masih nyuap nasi goreng, sambil ngobrol pelan sama Viona soal tugas. Tangan kirinya mainin gelang karet kecil warna ungu—yang aku tahu dia selalu pakai kalau lagi gugup.

Dan tiba-tiba aku sadar. Aku lebih tenang ngelihat dia senyum.

“Eh, abis ini kita balik kelas bareng lagi kan?” tanya Sarah tiba-tiba.

"Masih di XI-A kan? Ya iyalah bareng dong," jawabku.

Sarah senyum, lalu nengok ke Rika. “Lu tetep sama gue kan duduknya?”

Rika Angguk pelan. “Yah masa duduk sama yang lain?” Sarah ngakak. Aku ikut tersenyum juga.

Dan entah kenapa, suara Rika yang akhirnya keluar, membuat kepala aku ikutan tenang lagi. Bukan karena aku lega Rika ngomong. Tapi karena... aku nyaman di sini. Sama mereka.

Terutama di samping Sarah.

 

[Bersambung]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
JUST RIGHT
103      88     0     
Romance
"Eh, itu mamah bapak ada di rumah, ada gue di sini, Rano juga nggak kemana-mana. Coba lo... jelasin ke gue satu alasan aja, kenapa lo nggak pernah mau cerita ke seenggaknya salah satu dari kita? Nggak, nggak, bukan tentang mbak di KRL yang nyanggul rambutnya pakai sumpit, atau anak kecil yang lututnya diplester gambar Labubu... tapi cerita tentang lo." Raden bilang gue itu kayak kupu-kupu, p...
Glitch Mind
44      41     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
MANITO
1004      740     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Batas Sunyi
1777      803     107     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...
Epic Battle
478      372     23     
Inspirational
Navya tak terima Garin mengkambing hitamkan sepupunya--Sean hingga dikeluarkan dari sekolah. Sebagai balasannya, dia sengaja memviralkan aksi bullying yang dilakukan pacar Garin--Nanda hingga gadis itu pun dikeluarkan. Permusuhan pun dimulai! Dan parahnya saat naik ke kelas 11, mereka satu kelas. Masing-masing bertekad untuk mengeliminasi satu sama lain. Kelas bukan lagi tempat belajar tapi be...
Simfoni Rindu Zindy
584      491     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Rumah Tanpa Dede
121      81     1     
Inspirational
Kata teteh, Bapak dan Mama bertengkar karena Dede, padahal Dede cuman bilang: "Kata Bapak, kalau Bi Hesti jadi Mama kedua, biaya pengobatan Dede ditanggung Bi Hesti sampai sembuh, Mah." Esya---penyintas penyakit langka Spina Bifida hanya ingin bisa berjalan tanpa bantuan kruk, tapi ekonomi yang miskin membuat mimpi itu terasa mustahil. Saat harapan berwujud 'Bi Hesti' datang, justru ban...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2262      1026     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Metafora Dunia Djemima
85      70     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
SABTU
2396      991     10     
True Story
Anak perempuan yang tumbuh dewasa tanpa ayah dan telah melalui perjalanan hidup penuh lika - liku, depresi , putus asa. Tercatat sebagai ahli waris cucu orang kaya tetapi tidak merasakan kekayaan tersebut. Harus kerja keras sendiri untuk mewujudkan apa yang di inginkan. Menemukan jodohnya dengan cara yang bisa dibilang unik yang menjadikan dia semangat dan optimis untuk terus melanjutkan hidupn...