Bab 14 - Berbeda
---
Hai.
Sebelum masuk jauh ke cerita, izinkan saya menjelaskan dulu sesuatu: kali ini narasinya pakai POV-ku. Aku. Sarah. Iya, biar beda aja gitu ya kan? Gak melulu si tokoh utama doang yang cerita. Sekali-kali suara sahabatnya bersuara. Jadi, mari kita mulai. Tanpa basa-basi. Tanpa bumbu manis. Apa adanya.
Bulan-bulan berlalu sejak drama di awal semester itu. Rendra udah makin akrab aja sama geng kita. Kayak, tiba-tiba aja dia muncul, lalu… klik gitu. Tapi bukan itu yang membuat saya waspada. Yang bikin aku mikir keras itu justru—perubahan sikap Rika. Dia bukan lagi Rika yang kukenal sejak kelas sepuluh.
Dulu, Rika itu… pendiam. Dinginnya bisa ngalahin kelas AC saat jam kosong. Tapi sekarang? Dia tiba-tiba jadi super ramah. Suka senyum-senyum, suka mulai berdiskusi. Dan sumpah ya, aku gak lebay—ini bener-bener beda dari biasanya.
Aku berusaha tetap berpikir positif. Mungkinkah aja Rika dapat motivasi baru? Mungkin dia habis seminar ikut self-healing gitu? Tapi tetap aja rasanya…gak pas.
Pagi ini aja contohnya. Biasanya aku duluan yang nyapa Rika atau sekadar narik lengan pelan biar dia sadar aku udah datang. Tapi kali ini…
"Sarah!! Selamat pagi!" serunya ceria. "Tau gak? Aku kesel banget tadi pagi. Raka, adikku itu, nyembunyiin sepatuku di tempat sampah! Aku harus pake sepatu lain deh jadinya."
Dia merayakan lebaran. Beneran lebar. Aku sempet mikir itu bukan Rika. Mungkin… kloningannya?
Awalnya aku kaget, ya. Syok berat malah. Tapi sisi lain dari diriku juga bilang: “Hei, dia makin asik loh.” Cuma... ya, aku tetap merasa tidak nyaman. Rika yang kupilih buat jadi sahabat itu bukan Rika yang rame dan suka nyengir gini. Aku suka dia yang kalem dan misterius.
Yang bikin aku makin curiga, Rika sekarang malah makin sering menjadi candaan sama Rendra. Dengan serius? Rika yang dulu aja ngeliat cowok lewat bisa langsung pura-pura main HP. Sekarang malah ngeledek Rendra kayak temen SMP utama?!
Aku bisa ngerasain alarm bahaya di kepalaku bunyi kenceng banget.
Dulu pas dia baik sama Samudra aja aku udah sempet mikir, “Jangan-jangan dia suka…” Eh sekarang? Sama Rendra?! Ayo, ini sudah kelewat batas.
Kalau sama Jeno sih aku masih tenang ya, karena Jeno udah kayak kakak kita semua. Tapi ini Rendra, si cowok yang bikin banyak siswi pindah haluan dari Samudra. Apa Rika kena pelet70 juga?
Rendra tuh orangnya emang menawan. Dia mudah berbaur, sok kenal sok deket, dan selalu nyari momen buat bantuin siapa pun. Tapi justru itu yang bikin aku gak nyaman. Kadang terlalu 'manis' buat dipercaya.
"Sarah??" Suara Rika nyadarin aku dari pikiran random-ku. Dia melambai ke arahku, senyumnya gak hilang-hilang. Aku kaku banget waktu menjawab, "E-eh? Ya? Kenapa, Ri?"
Rika nunduk sedikit, ekspresinya berubah jadi khawatir. "Kamu kenapa diam aja? Kamu gak dengerin ceritaku ya? Kamu… bosan?"
Sorot mata sendu. Matanya itu… masih mata Rika. Tapi rasa dari mana asalnya? Beda. Bener-bener beda.
“Ah! Enggak-enggak. Aku dengerin kok,” jawabku sambil maksa senyum. Rika memandang ragu, tapi sebelum dia bisa nanya lebih lanjut…
"Rika! Hei!" suara Rendra nyelonong dari belakang. "Ini buku catatan IPS kamu. Makasih ya udah minjemin. Ini bener-bener ngebantu aku banget!"
Dia nyodorin buku ke Rika, dan Rika langsung nerima sambil senyum manis. Manis sekali. Manis yang tidak pernah dia kasih ke aku, padahal aku sahabatnya.
"Sama-sama, Rendra! Kalau kamu butuh bantuan lain, bilang aja ya. Aku bantuin kok."
Apa. Itu. Barusan.
Kata-katanya? Nadanya begitu? Gerak-geriknya? Kayak… bukan Rika. Aku melirik ke samping, dan benar saja: Samudra lagi melorot ke arah mereka. Matanya udah kayak mau ngebakar meja.
Aku tau Samudra cemburu. Cowo itu gengsinya emang selangit, tapi mukanya gak bisa bohong.
Pak Jono masuk kelas, menyelamatkanku dari rasa pening ini. Kami semua duduk diam, membuka buku. Tapi pikiranku gak bisa lepas dari Rika.
~
Istirahat akhirnya datang juga.
Seperti biasa, kami berlima—sekarang berlima tambah satu, si Rendra—jalan bareng ke kantin. Biasanya yang paling bawel itu aku, atau Viona. Tapi hari ini? Rika dan Rendra yang menjadi pusat suara.
Mereka ngobrol soal astronomi. Ya ampun. Kita aja belum belajar itu di sekolah. Emangnya lo berdua siapa? Calon pasangan dosen planetarium?
Samudra duduk di sebelahku, tangan bersilang dan ekspresi kayak habis ditinggal THR. Aku nyenggol pelan dan berbisik, “Lo cemburu ya?”
Dia menampilkannya. “Halah.” Gitu doang jawabnya. Klise banget cowo, gengsinya itu lho…
Viona condong ke arahku. “Aku yang cemburu, Sar,” bisiknya. “Aku suka Rendra… tapi malah Rika yang makin deket.”
Viona emang gak ada niat marah atau nyindir Rika. Tapi rasa kecewanya tetap bisa kurasakan. Aku ikut bingung. Bukan karena cinta-cintaan ini, tapi karena… Rika. Dia berubah terlalu cepat.
Rendra akhirnya dipanggil keranjang anak-anak. Iya, dia sekarang ikut ekskul itu. Wajar sih, makin populer. Samudera? Mager Katanya. Tapi aku curiga ada alasan yang lebih dari sekadar malas.
Rika makan kembali. Tenang, kalem. Tapi dia terus nawarin makanan ke kami. Mulai dari cilor, telur gulung, sampai martabak mini.
“Kalian kenapa jadi diem aja sih?” tanyanya. Kami berlima saling tatap. Ini dia momennya.
“Eh… Ri, mungkin kayaknya… kamu yang berubah ya?” aku akhirnya buka suara. Rika mengernyit. "Berubah? Aku? Emang kenapa? Aku masih Rika, masih aku."
Suara dan caranya bicara masih lembut. Tapi tetap… ada yang gak pas.
“Eh… kamu jadi lebih banyak bicara sekarang. Lebih ekspresif. Maaf ya kalo aku salah ngomong.” Rika diam sejenak. Ekspresinya kosong. Lalu dia bertanya pelan, “Memangnya salah ya aku begini?”
“Bukan salah, cuma…tiba-tiba banget. Aku kaget aja.” Dia akhirnya angguk pelan. Diam. Dan aku pun ikut diam, tapi dalam hati aku merasa… lebih lega. Setidaknya aku sudah sampaikan.
Viona kasih jempol kecil ke arahku. Aku tersenyum tipis.
Hari ini aneh. Tapi yaudahlah. Biarlah hari ini berlalu. Entah kenapa aku tetap berharap, Rika bisa balik jadi dirinya yang dulu. Atau… paling nggak, terima kasih waktu buat kami semua menyesuaikan diri dengan versi barunya.
Tapi yang jelas satu hal: Rika yang sekarang…Berbeda.
~__
Lusa setelah hari itu...
Rika berubah lagi.
Bukan berubah jadi lebih ceria atau mudah nyambung kayak dua hari lalu. Tapi kembali seperti biasanya—tenang, diam, nyaris tak bersuara. Tampaknya kemarin hanya semacam mimpi aneh yang ditiup angin pagi dan hilang begitu saja.
Entah kenapa, kali ini aku malah merasa bersalah.
Jangan-jangan karena aku terlalu jujur... semangat dan motivasi yang sempat menyala di mataku tiba-tiba padam. Dan sekarang, dia kembali menjadi Rika yang sama—yang jalan dengan langkah kecil, wajah datar, mata kosong tapi sesekali seperti sedang menyimpan sesuatu.
Pagi ini, dia datang seperti biasa. Tanpa kata. Tanpa basa-basi. Duduk di bangkunya, membuka buku, dan menampilkan halaman yang sepertinya tidak benar-benar dibaca. Aku mengumpulkan keberanian, lalu mencondongkan tubuh sedikit ke arahnya.
“Ri, pagi,” ucapku pelan, sambil berbisik. “Kamu... udah balik lagi kayak biasanya. Maaf ya, kalau kata-kataku kemarin bikin kamu pas.”
Rika menoleh. Perlahan. Alisnya mengerutkan kening pelan, bola matanya tampak seperti sedang menyerap informasi.
“Maksud kamu?” tanyanya.
Aku ikut mengernyit, bingung. "Eh... itu. Soal yang kemarin. Aku bilang kamu beda. Kamu jadi lebih ramah, asik, ekspresif, mudah ngobrol. Bahkan sampai deket sama Rendra dan... bikin Samudra panas."
Aku membuat canggung di akhir kalimat, mencoba meringankan suasana. Tapi Rika hanya mengerjap pelan, seperti orang yang baru bangun tidur dan mendengar cerita yang gak nyambung sama sekali.
"Oh... ya. Aku lupa. Maaf." Suaranya datar. Tapi ada keraguan samar di nada itu, seperti ada pertanyaan yang juga menggantung di kepalanya sendiri.
Dan aku melihatnya. Ekspresi asing itu. Bukan sedih, bukan marah—tapi bingung. Bingung seperti seseorang yang tidak tahu mengapa dirinya berubah, atau... tidak ingat pernah berubah.
Aku menarik napas panjang. “Huft… aku pasti bermimpi kan?”
~
Waktu istirahat, semuanya terasa... sepi. Terutama di bagian Rika dan Rendra.
Gadis itu tidak lagi duduk berdekatan dengan si anak populer yang dua hari lalu tertawa keras saat Rika melontarkan lelucon ayam menyebrang jalan. Kini, Rika kembali ke ritmenya yang lama: makan perlahan, berbicara seperlunya, dan menghindari terjadinya orang lain.
Rendra duduk tak jauh darinya, dengan wajah datar yang nyaris kecewa. Ia menatap Rika seolah mencoba menebak: kenapa cewek ini tiba-tiba ngejauh lagi?
Sampai akhirnya Samudra lewat dan nyeletuk tanpa tedeng aling-aling, “Pelet lu udah abis, Dra.”
Aku nyaris menyemburkan jus jerukku.
Rendra langsung memapar. Tatapan tajam dilemparkan ke arah Samudra, dan sebaliknya. Seperti dua gladiator yang saling melempar tombak di medan makan siang.
Tapi, akhirnya Rendra mengalah. Ia mengambil roti di nampannya dan pergi begitu saja.
Sementara Rika...kembali ke dunianya sendiri. Dan aku, meski masih bingung dan penasaran, akhirnya tersenyum kecil.
Inilah Rika yang kukenal. Yang diam. Yang tak bisa ditebak. Yang seperti lukisan tua di ruang galeri—duduk tenang tapi menyimpan banyak cerita.
Terima kasih ya, Tuhan. Setidaknya, dia kembali. Meskipun aku belum tahu... siapa sebenarnya yang kembali hari ini. Dan siapa yang kemarin kuajak bicara.
Tapi untuk pertama kalinya, aku takut. Bukan takut kehilangan Rika. Tapi takut aku gak pernah benar-benar mengenal dia sejak awal.
[Bersambung]