Bab 13 - Semester 2
---
Setelah sempat tumbang karena demam tinggi, dirawat selama beberapa hari, dan akhirnya pulih, Rika kembali menjalani kesekharian yang tampak normal. Namun, di dalam dirinya, ada sesuatu yang terasa… kosong. Dia belum tahu apa. Ia hanya merasa berbeda, sedikit lebih hampa dari biasanya. Tapi seperti biasa, ia memilih diam.
Waktu berjalan cepat, dan semester dua akhirnya tiba. Hari pertama terasa seperti pengulangan dari awal tahun, hanya saja kali ini tanpa pengenalan yang kikuk—kecuali untuk satu orang.
“Pagi semuanya. Hari ini kita kedatangan murid baru,” kata Bu Ratri di depan kelas dengan suara yang khas. “Silakan perkenalkan diri.”
Seorang siswa laki-laki melangkah ke depan kelas. Langkahnya santai, ekspresi penuh percaya diri, senyum lebar menggantung di wajahnya.
"Hai semuanya, kenalin namaku Rendra Yudistira. Aku dari Kalimantan. Pindah ke sini karena pekerjaan ayah dan ibuku," ucapnya dengan suara yang cerah dan hangat. Cara bicaranya seperti orang yang tahu kalau ia akan disukai banyak orang.
Dan ya, tebakan itu tak salah. Dalam hitungan detik, beberapa cewek di kelas mulai tersipu. Beberapa orang lain mulai berbisik-bisik, membandingkannya—secara diam-diam—dengan Samudra.
Tinggi Rendra kira-kira 175 cm, postur tubuhnya berisi, kulitnya sawo matang khas anak daerah, rambut hitamnya berantakan dengan gaya alami, bukan gaya yang disengaja. Matanya coklat tua, bersinar seperti orang yang punya rasa ingin tahu tinggi. Dan senyumnya... terlalu mudah disukai.
“Silakan duduk di kursi kosong belakang Samudra,” kata Bu Ratri.
Rendra menatap teman sekelasnya sebentar—senyumannya tak padam—lalu berjalan ke kursinya. Ia sempat menampar bahu Samudra singkat sebelum duduk.
“Halo, Sobat.”
Sekilas Samudra menoleh. “Hai,” jawabnya pendek. Datar.
Rika yang duduk tidak jauh dari situ hanya menatap datar. Tidak ada rasa penasaran. Viona, di sisi lain, langsung berbinar-binar seperti lampu kelap-kelip Natal.
“Gila, ganteng juga,” bisik Viona pada Sarah.
Sarah cuma melirik malas. “Hmm. Mirip Samudra, versi lebih ceria. Gak banget.”
Jeno mengamati semuanya dalam diam. Ia tidak ikut bersuara, tapi asalnya mengikuti Rendra sejak tadi. Dalam pikirannya, ia sudah mulai menggambarkan karakter pria baru itu.
Terlalu cepat mendekati semua orang. Terlalu terang. Terlalu percaya diri. Jeno tidak suka orang seperti itu. Tapi dia tidak menilai—belum.
~
Istirahat pertama menjadi ajang unjuk pesona untuk Rendra. Begitu bel tanda istirahat berbunyi, hampir setengah kelas perempuan berkumpul di sekeliling mejanya. Semua menyapa, bertanya, dan tertawa. Rendra menanggapi dengan luwes. Seolah-olah ia memang diciptakan untuk menjadi pusat perhatian.
Bagi Samudra, itu justru berkah. Ia langsung berdiri, lalu melangkah cepat ke arah meja tempat Sarah, Rika, Jeno, dan Viona duduk di dekatnya.
“Sar, Ri, Vi, Je. Kantin, yuk,” ajaknya tiba-tiba. Sarah langsung melayangkan tajam. “Tiba-tiba banget. Ngapain sih ngajak-ngajak?”
Samudra sedikit kikuk, lalu menggaruk belakang leher. “Laper aja.”
Viona dan Jeno saling melirik. Ada kode diam yang tertangkap. Mereka tahu Samudra sedang 'menghindar' dari sesuatu. Atau lebih tepatnya, menghindarkan seseorang.
Seseorang yang duduk diam sejak tadi: Rika. Yang mengejutkan adalah, Rika angkat bicara duluan.
“Boleh.Ayo, Sar, Vi, Je.” Kalimat singkat itu membuat Sarah terperangah. "Eh?! Ri?? Serius?"
Rika menoleh, wajahnya tetap datar. “Kenapa?”
Sarah mengernyit. Tapi akhirnya ia hanya menghela nafas, lalu bangkit berdiri. “Nggak, nggak. Yuk, yuk.”
Jeno hanya tersenyum tipis, lalu ikut berdiri. Ia sempat melihat Rika suatu saat. Ia menyadari, ada sesuatu yang berbeda dari Rika setelah sakit kemarin. Seperti ada lapisan dalam dirinya yang hilang—atau tertinggal.
Samudra tampak puas. Ia datang pelan-pelan, “Ya,” hampir tak terdengar. Tapi Jeno mendengarnya. Dan entah kenapa, itu terasa… mengganggu.
Mereka berlima melangkah keluar kelas. Formasi mereka agak unik—Samudra di depan, Viona dan Sarah saling cekikikan di belakang, Rika di tengah, dan Jeno yang diam-diam memperhatikan langkah semua orang dari sisi paling belakang.
Kantin ramai seperti biasa. Meja panjang di pojok utara menjadi tempat favorit geng mereka. Mereka duduk, memesan makanan masing-masing. Sarah dan Viona langsung nyerocos membahas guru olahraga baru yang katanya “mirip aktor Korea.”
Rika hanya menunduk, memainkan sedotan dalam gelas jus jambu miliknya. Samudra duduk tepat di sebelahnya, sedikit condong ke arah Rika. Tapi Rika seperti tak menyadarinya.
Jeno, yang duduk di seberang Rika, memperhatikan gelagat itu semua. Ia tidak bicara, tapi pikirannya sibuk. Ia sadar Samudra ingin melindungi Rika. Tapi terkadang… sikap posesif yang dibungkus perhatian bisa jadi bumerang.
“Aku heran deh, Ri,” tiba-tiba Sarah membuka topik. "Sejak kapan kamu seaktif ini? Biasanya kamu diem kayak batu kali."
“Batu kali lo yang lemparan,” celetuk Viona sambil tertawa ngakak.
"Ngaca, Vin. Lo juga ikut diem pas Rika demam, padahal lo yang pertama panik," sahut Sarah.
"Lah, lo yang nangis diem-diem. Jangan ngadi-ngadi ya, Sar balas," Viona.
Percakapan kekacauan mereka membuat Rika tersenyum tipis. Hanya sedikit. Tapi cukup untuk dilihat Jeno.
Samudra menoleh, melihat senyum itu. Tapi bukan pada dirinya sendiri, melainkan pada lelucon mereka.
"Rika," panggilnya pelan.
“Hm?” Rika menoleh.
“Kamu udah beneran sembuh kan?” tanyanya, lirih.
“Udah,” jawab Rika singkat.
“Tapi… kamu ngerasa beda gak?” tanya Samudera lagi. Pertanyaan itu membuat Rika teringat. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Karena ya… ada yang berbeda. Tapi dia tidak bisa menjelaskannya.
Jeno ikut mengawasi. Sorot matanya tajam, namun tidak menghakimi. Lebih seperti... menyelidik. Rika mengangguk pelan. “Sedikit.”
Hening berhenti sejenak. Bahkan Viona dan Sarah pun ikut mengangguk.
Dan dari kejauhan, ada seseorang yang memperhatikan meja mereka dengan pemandangan tak lepas. Rendra. Berdiri di depan warung minuman, mengamati mereka dengan mata yang tidak lagi melihat tadi pagi.
Senyumnya masih ada. Tapi ada sesuatu di baliknya. Seperti seseorang yang menunggu giliran untuk masuk ke dalam pertemanan itu.
~
Beberapa hari sejak Rendra resmi pindah ke sekolah mereka, sorotan perlahan berubah.
Dulu, Samudra jadi pusat semesta. Tapi sekarang? Banyak yang mulai melirik wajah baru yang katanya “lebih segar”.
Dan Samudra? Akhirnya bisa bernapas sedikit lega—walau tetap ada yang setia menguntit langkahnya dari perjalanan.
Sementara itu, Rika... berubah.
Entah kenapa, akhir-akhir ini pikiran sering mengembara. Seolah-olah ada sesuatu yang berisik di dalam kepala, tapi terlalu samar untuk dipahami.
Sarah, sahabat yang selalu peka, sudah beberapa kali harus menyentuh lengannya pelan.
"Lo lagi mikirin apa, sih?" tanyanya pelan. Tapi Rika cuma menggeleng dan tersenyum tipis. Lagi-lagi menghindar.
Saat bel istirahat berbunyi, langkah kaki berserakan ke segala arah. Rendra langsung melesat keluar kelas. Langkahnya cepat, nyaris seperti sedang dikejar sesuatu yang tak kasat mata.
Di kantin, semua meja penuh sesak. Satu-satunya ruang kosong yang ada di sudut, di meja tempat geng Rika biasa berkumpul.
“Eh… hai, ijin. Boleh ikut duduk di sini?” tanya Rendra dengan senyum ramah yang nyaris sempurna.
Viona nyaris tersedak sendiri karena senangnya. menatap dia langsung menempel. Sarah, yang sedang asyik makan cilok, tiba-tiba berhenti. Keningnya berkerut.
Tapi sebelum ada yang menjawab, Rika sudah mengangguk. “Boleh,” suaranya datar.
"Makasih. Aku tahu kalian pasti sudah tahu siapa aku, tapi... kayaknya lebih sopan kalau aku kenalan langsung," ujar Rendra.
Viona langsung menyambar, "Aku Viona! Ini sepupuku, Jeno." Jeno hanya menoleh malas, menghela napas panjang.
Rendra mengangguk sopan. "Salken, Viona. Jeno." Matanya lalu beralih pada dua sosok lain yang duduk diam.
"Samudra ya? Banyak yang bilang kita mirip." Samudra melirik tajam, naik ke sebelah. Rendra lalu menatap dua kedamaian. “Kalau kalian?”
“Aku Rika.Ini Sarah,” jawab Rika. Rendra tersenyum lembut. “Nama kalian cantik ya.”
Sarah langsung menghentak. “Kalau mau gombal, mending cabut.Sebelum mulut lo gue beneran tabok.”
Rendra kaget, tapi cepat pulih. "Oh...maaf. Nggak maksudnya gitu, sumpah. Gak nyaman ya? Gue bisa jaga mulut." Sarah diam. Sorot matanya tetap tajam.
“Sarah emang gak suka cowok ngegombal,” Rika menengahi. Samudra ikut nyamber, “Dan gue gak sudi disamain sama dia.”
"Tenang gan. Gue gak niat saingan. Gue sekolah, bukan ikutan audisi sinetron atau nyuri popularitas lo," kata Rendra sambil tertawa ringan.
Rika tersenyum kecil. “Udah Samudra, jangan baper. Yuk lanjut makan.” Samudra diam. Tangannya masih geram, tapi akhirnya kembali mengunyah makanannya.
Viona—yang kepo-nya emang nggak ada obat—langsung nanya, “Ren, kenapa duduknya sama kita, sih?”
Rendra diam sebentar. Pandangannya lembut. "Nggak tahu ya. Kalian... beda aja. Energinya tuh... menarik. Apalagi kamu, Rika."
Mata Rendra menatap lurus. Rika cuma menunduk. Ada jeda aneh yang menggantung. Lalu dia mengangguk kecil.
Viona cuma ber-'oh' dan langsung tanya hal baru. Rendra menjawab semuanya dengan sabar, tapi berkali-kali matanya kembali ke Rika.
Sementara itu, Samudra yang duduk tepat di samping Rika mulai merasa aneh. Ada yang mengusik.
“Sial… dia beneran jadi saingan gue sekarang?”
Tapi bukan itu yang membuat suasana berubah. Bukan Rendra. Bukan Samudra.
Rika diam. Terlalu diam. Tangannya gemetar halus saat menyentuh gelas. Mata sayu. Tapi bukan sedih—lebih seperti... kosong.
Kenapa rasanya kayak... aku lagi nonton diriku sendiri dari luar?
Sesuatu di dalam dirinya... terasa menjauh. Dan untuk pertama kalinya, Rika tak merasa menjadi dirinya sendiri.
[Bersambung]