Syuting adegan pertama sudah selesai. Sutradara puas dengan awal yang bagus dari akting Fayena yang sedang berlari kesetanan memasuki gedung perusahaan Gabriel memakai seragam kantoran. Lanjut adegan kedua ketika Fayena terpilih menjadi kandidat lolos sebagai sekretaris. Namun ternyata, Gabriel adalah orang yang sangat menyukai Fayena sejak kuliah. Alhasil Fayena langsung diresmikan menjadi sekretaris bos. Pada adegan selanjutnya, Fayena dan Gabriel melakukan adegan yang cukup menegangkan. Di mana Fayena yang hampir terpeleset, ditangkap oleh Gabriel. Namun, karena Gabriel sedang cidera kaki, alhasil mereka berdua terjatuh. Posisi mereka sangat ambigu, Gabriel harus berada di atas Fayena.
Sudah take kedua kalinya, sutradara belum juga puas dengan adegan ketiga Gabriel di atas Fayena dan mereka bertatapan.
"CUT!"
"Take sekali lagi pas jatuh, ya. Fayena rebahan di lantai, terus langsung ditimpa Gabriel," ujar sang Sutradara.
Pada saat reka adegan, Alfino datang ke lokasi syuting. Ia menyaksikan langsung bagaimana posisi Fayena dan Gabriel yang sangat ambigu. Regina yang melihat Alfino, langsung menarik pria itu dari sana.
"Fino, ikut gue!" ucap Regina menarik lengan Alfino pergi dari sana. Beberapa kru melihat ke arah mereka.
"Lepasin gue, Regina. Lepasin!" Alfino menyentak tangannya dari genggaman Regina membuat pegangan itu terlepas. "Apaan maksudnya baru awal udah ada adegan kayak gitu? Mana itu udah take yang kesekian kalinya, kan?" tanya Alfino menunjuk ke arah sana sambil menatap geram ke arah Regina.
"Y-ya gimana kalau sutradara belum puas ya diulang. Lagian itu tuh cuma adegen jatuh terus Gabirel nimpa--"
"Itu yang nggak gue nggak terima!" sahut Alfino kembali ke tempat pengambilan adegan.
Regina mencengkram kepalanya dengan frustrasi, mana Juanda tak terlihat disekitar sana. "Duuh Juanda ... lo ke mana sih. Tuh Alfino pasti bikin keributan deh," cicit Regina nyaris menangis.
Pengambilan adegan nyaris selesai. Namun, tiba-tiba seseoang menarik kerah jas Gabriel dari belakang dan mendorongnya hingga jatuh. Fayena membulatkan matanya melihat Alfino yang melakukannya. Seketika keadaan menjadi ricuh, sutradara berteriak kesal dengan kedatangan Alfino yang mengacaukan adegan.
"HEH APAAN ITU!" teriak sutradara.
"Alfino!" tegur Fayena sambil berusaha berdiri dengan tampang kesalnya. Sementara Alfino manatap garang Gabriel yang baru saja bangkit dari posisinya.
"Alfino ikut aku!" ucap Fayena membentak.
Alfino malah mencengkram kerah baju Gabriel dengan kedua tangannya. Ia menatap tajam ke arah Gabriel yang tampak sangat santai sekali. "Sengaja kan lo ambil drama ini buat deketin pacar gue?! Lo kalau nggak mampu dapetin kek Faye nggak usah pakek cara gini! Udah tau Faye pacar gue malah nyelonong aja!"
"Eh, lo kayak gini cuma permaluin diri lo sendiri tau nggak! Noh, liat banyak orang yang saksiin kelakuan lo! Apalagi Fayena sekarang udah pasti malu banget liat kelakuan pacarnya yang nggak profesional!" cetus Gabriel di depan wajah Alfino.
BUGH! BUGH!
Alfino menampar wajah Gabriel dengan keras hingga pria yang tadinya ia cengkram terjatuh ke bawah. Semua orang panik dan berhamburan menarik Alfino menjauh dan membantu Gabriel bangun. Melihat hidung Gabriel yang berdarah, pihak dari agensi Gabriel langsung panik meminta telepon ambulan. Alfino tak ada rasa menyesal dan malu, ia tersenyum senang melihat Gabriel yang memegangi hidungnya.
Fayena menangis dan pergi dari sana. Ia malu sekali hingga tak mampu untuk menampakkan diri di hadapan kamera. Regina langsung mendorong Juanda untuk segera menyusul Fayena yang berlari entah ke mana. Tak lupa menyerahkan kunci mobil pada Juanda. "Bawa Fayena pergi. Ke mana kek terserah lo. Gue yang bakal urus di sini," ucap Regina pada Juanda yang baru saja datang membeli sebuah cup minuman.
Juanda mengejar Fayena yang berlari entah ke mana. Hingga ketika Juanda berhasil menangkap lengan gadis itu, Juanda membawanya ke area parkiran. Juanda mendatangi mobil mereka dan menyuruh Fayena masuk ke dalamnya sebelum ia ikut masuk.
Fayena menutup wajahnya dengan kedua tangannya sambil menangis tersedu-sedu. Ia tanpa malu menumpahkan rasa sakit hatinya yang tak terkira karena kelakuan Alfino hari ini. Hari ini tercatat menjadi hari yang paling memalukan bagi Fayena.
Juanda yang duduk di kursi kemudi, menatap Fayena yang duduk di kursi belakang dengan tatapan sangat prihatin. Namun, tak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain membawa Fayena menjauh dari sini sebelum awak media mendatangi mereka. Juanda pun menjalankan mobil tersebut keluar dari parkiran.
"G-gue n-nggak tau kenapa Alfino sampai senekat itu. P-padahal gue udah bilang baik-baik s-sama dia kalau gue nggak bakal terlibat perasaan apapun ke Gabriel. T-Tapi tetap aja ... A-Alfino datang dan hancurin semuanya!" ucap Fayena di sela tangisannya.
Juanda sesekali menoleh ke belakang. "Ini ujian, Faye. Kamu harus sabar. Gimana pun juga kalau udah takdir ya nggak bisa dihindarin. Mau gimanapun kamu berusaha buat ngehindar, kamu nggak bisa. Ini saya bawa kamu ke tempat yang bikin relaks dulu, ya."
"Ke mana? Bawa gue sejauh mungkin hari ini, Juan. Gue nggak siap ngehadapin serangan pertanyaan yang paling gue hindari. Nggak banyak sedikit orang-orang bakal pertanyakan soal hari ini ke gue. Padahal gue nggak salah apa-apa. Gue nggak siap, Juan," ucap Fayena masih dengan suaranya yang bergetar diselingi sesegukan.
"Saya bawa kamu ke desa Grawang Telu, mau? Di sana tempatnya nyaman banget dan jauh dari kota. Untuk beberapa hari di sana kayaknya nggak masalah. Ini juga disuruh Mbak Regina. Pasti Mbak Regina bisa ngurus soal izin ke agensi," tutur Juanda.
Fayena mengangguk setuju. ''Boleh, Juanda. Kita ke sana aja. Lagian gue kan emang mau liat itu desa. Pas banget keadaan gue yang lagi kayak gini. Gapapa kita sewa peginapan atau gimana lo atur aja. Gue anggap lo teman kali ini, bukan asisten gue," ujarnya dengan tulus.
Perjalanan menuju desa Gwarang Telu memakan waktu sekitar tiga jam perjalanan dari Jakarta. Fayena pun sudah tertidur dari beberapa menit yang lalu. Juanda sesekali menoleh ke belakang untuk melihat keadaan Fayena.
"Gue nggak tau apakah warga desa mengenali gue dan Faye atau enggak. Apa dengan keberadan gue dan Faye di Jakarta itu berarti orang yang tinggal di desa ini bukan gue dan Faye lagi melainkan orang lain? Nggak mungkin ada dua Juanda dan dua Faye. Pasti ada hal yang berubah di desa ini. Tapi ... ke mana gue bawa Faye, ya? Gue bahkan nggak ada kenalan di sana sebagai sosok Juanda. Orang tua gue pasti nggak bakal kenalin gue juga karena status gue sekarang bukan Juanda anak mereka."
Sesampai di jalanan desa dekat lapangan, Juanda menghentikan mobilnya. Ia tak sengaja melihat sosok pamannya yang bernama Imran. Juanda langsung keluar dari mobil untuk menghampiri pamannya tersebut. Bagaimana Juanda bisa lupa kalau kakak dari pihak ibunya tinggal di desa ini. Keberuntungan memang sedang memihak padanya.
"Om Imran!" panggil Juanda.
Pria paruh baya yang sedang membeli pentol itu pun bereaksi senang melihat keponakannya datang padanya. "Juan! Weeeeh kok bisa sampai sini kamu? Sama siapa? Sama ibumu?"
Juanda menggeleng. "Saya temen, Om. Ini saya ... lagi ngajak temen cewek saya healing ke desa karena di kota dia ada masalah. Ya saya bawa aja ke sini. Tapi saya baru inget, mau nginep dimana kami."
''Oalah. Nginap di rumah Om saja, Juan. Ada kok satu kamar kosong buat temanmu. Ya kamu bisa tidur di luar kan lanang gapapa. Hahaha!"
"Seius boleh, Om?" Juanda senang bukan main.
"Seriuslah. Mau sebulan pun Om tampung kalian. Beras banyak, ikan banyak, sayur banyak! Nggak ada yang dikhawatirin lagi kalau nginap di desa mah," sahut Imran.
Juanda mendekatkan dirinya untuk berbisik pada Imran. "Tapi yang aku bawa ini artis, Om. Fayena tahu, kan? Dia lagi ada masalah di kota, terus aku bawa ke sini. Ya aku sekarang kerja jadi asisten dia." ungkap Juanda membuat Imran membulatkan matanya.
"B-Beneran artis Fayena?" tanyanya pelan yang langsung diangguki oleh keponakannya. "Ya udah bawa dulu mobil kalian ke rumah. Masukin ke garasi mobil. Jadi pas keluar, si Fayena nggak bakal kelihatan warga. Ya walau ini desa, kan televisi ada, Wan. Bakal heboh kalau tahu Fayena di sini."
"Siap, Om! Ini Om langsung aja ikut kami buat tunjukin arah ke rumahnya."
"Okelah kalau gitu," sahut Imran. Ia membayar pentol yang sempat ia makan pada pedagang jajanan keliling itu sebelum mengikuti Juanda masuk ke dalam mobil.
Sesampai di rumah Om Imran, Fayena keluar dengan hati-hati dari mobil. Juanda memeluknya untuk menyembunyikan Fayena di samping tubuhnya ketika mereka masuk ke dalam rumah. Tante Lia yang melihat kedatangan Fayena dan Juanda pun terkejut, tetapi suaminya langsung membawanya ke dapur untuk menjelaskan semuanya. Sementara itu, Juanda dan Fayena duduk di sofa.
"Enak ya rumahnya. Walau dari kayu jati, tapi ini rumah kek lapang banget. Enak aja gitu punya rumah kek gini," ujar Fayena memperhatikan rumah yang full berbahan kayu jati itu.
"Iya. Malah enak rumah kayak gini daripada beton," sahut Juanda. "Oh ya, Fay. Kayaknya kamu nggak bisa bebas banget kalau keluar dari sini. Minimal kudu pakek penyemaran deh."
"Pakek apa? Rambut palsu mah kita nggak bawa, Juan. Eh, kecuali pakek kerudung sih, Kan gue nggak pernah pakek kerudung. Terus gue bare face aja biar nggak ketahuan. Selama ini gue nggak pernah bare face di depan public karena agensi gue ngelarang gue kelihatan jelek. Jadi amanlah. Lo tinggal pinjemin kerudung aja ke tante lo," tutur Fayena.
Juanda mengangguk setuju. "Oke deh. Ntar saya bilang ke tante, ya."
"Lo kalau ngomong ke gue jangan pakek saya dong. Gue kan jadi nggak enak. Biar lebih akrab aja gitu pakek lo-gue aja udah. Anggap gue temen lo. Regina juga gitu kok," komentar Fayena.
Juanda mengangguk dengan ragu. "O-oke. Gue ... ngerti, Faye."
"Nah, gitu dong," sahut Fayena tersenyum. Gadis itu menyandarkan tubuhnya sepenuhnya ke sofa dengan tatapan menerawang. Juanda mengerti gadis itu pasti memikirkan nasib karirnya setelah ini. "Kira-kira nasib karir gue gimana ya, Juan? Gue pasti kena marah nggak si karena secara nggak langsung bikin syuting tertunda. Tapi jujur gue nggak bisa ngadepin mereka sekarang," ujar Fayena sedih.
Tangan Juanda terulur membenarkan rambut Fayena yang menutupi mata gadis itu, membuat Fayena melirik ke arahnya. "Tenang, ada gue yang bakal temenin lo di saat kritis pun. Gue yang bakal ngelindungi lo, Fayena," ucap Juanda membuat Fayena terpana untuk beberapa saat.