Kedatangan Nara disambut hangat oleh Diana, salah satu tim Podcast Rumah Kita yang bertugas sebagai narahubung. Di dalam studio, tampak ada lima orang yang bertugas. Diana, Yudha, Daffa, Rika dan Alif.
“Welcome, Nara! Gimana perjalanannya, aman?” tanya Diana menyambut Nara dengan penuh antusias.
Nara menyambut Diana dengan senyuman manis, “Syukurlah, Kak. Jalanan lumayan lengang, jadi bisa sampai sini lebih cepat dan nggak terlalu mepet.”
Diana menuntun Nara pada salah satu sofa, kemudian mempersilakan Nara untuk duduk pada sofa abu-abu tersebut. “Tunggu sini ya, Nara. Tim kami lagi siapin kebutuhan buat recording, jadi maaf mereka masih kelihatan sibuk, tapi pasti nanti bakal sambut kamu juga kok. Aku ambilin roti dan minum dulu ya.”
Tidak lama setelahnya, Diana membawakan sepiring roti bakar dan juga segelas minum untuk Nara yang diterima dengan anggukan kecil serta ucapan terima kasih.
“Ini kamu makan dulu sambil menenangkan deg-deg-annya kamu. Aku tau dari raut mukamu, pasti ada rasa nervous dikit, kan?” Tebak Diana.
Setelah menggigit roti bakar dan mengunyah serta menelannya, Nara tertawa kecil, “Jujur aku emang sedikit nervous. Walaupun sebelumnya udah pernah bicara di depan publik sewaktu launching novel, tapi kali ini beda,” Nara menghentikan ucapannya sejenak. “Kalau sebelumnya aku cuma hadapin pertanyaan soal novel beserta jalan ceritanya. Kali ini aku akan hadapin pertanyaan yang seolah itu ...,” Nara menghentikan kalimatnya karena ragu untuk melanjutkan ucapannya.
Diana menghela napas pelan, lalu meraih tangan Nara, “It’s okay Nara, aku paham. Mungkin nanti akan ada perasaan yang seakan-akan seperti menggali kembali masa lalu yang sudah berusaha mati-matian kamu kubur. Tapi, sesuai permintaan kamu di email kemarin untuk kami reduksi lagi beberapa pertanyaan sensitif, jadi nanti yang akan kami tanyakan bukan persoalan rasa sakit yang kamu alami, kok. Tenang aja, pertanyaan-pertanyaannya nanti adalah seputar pencapaian kamu yang tujuannya nanti memotivasi orang-orang di luar sana.”
Hari sebelum acara podcast ini berlangsung, Nara memang sempat mengajukan permintaan kepada tim Podcast Rumah Kita untuk mereduksi beberapa pertanyaan yang sensitif. Namun tetap saja, ada perasaan gugup dan takut ia akan terbawa oleh suasana dan ingatan akan rasa sakitnya di masa lalu.
Nara merespons Diana dengan senyuman tipis. Tidak lama kemudian, Alif menghampiri Nara dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Nara.
“Halo Nara, salam kenal, aku Alif, penata artistik di sini.”
Nara menyambut jabatan tangan Alif, “Salam kenal, Alif.”
Kemudian, sambutan Alif disusul oleh Yudha, Daffa, dan Rika. Mereka memperkenalkan diri masing-masing kepada Nara.
“Oh iya, kayaknya udah siap semua, ya? Boleh kita mulai sekarang?” Tanya Diana pada timnya.
“Boleh, semuanya udah siap tinggal record aja,” Jawab Yudha.
“Nara, udah siap?” Kali ini Rika yang bertanya.
“Iya, siap,” Jawab Nara.
Kemudian, mereka menuju kursi studio tempat perekaman. Setelahnya, Diana memberikan tanda bahwa rekaman dimulai. Nara menarik napas dalam dan merapalkan doa untuk menenangkan hatinya yang kini gugup. Opening jingle Podcast Rumah Kita terdengar di telinga, menandai rekaman dimulai. Nara tersenyum kecil ke arah Yudha yang bertugas sebagai host.
“Hai semuanya, balik lagi di Podcast Rumah Kita! Tempat di mana kita ngobrol bareng orang-orang luar biasa dan jadikan ruang ini sebagai ‘Rumah’. Hari ini aku super excited karena kedatangan tamu yang luar biasa special. Dia masih muda, tapi udah jadi sosok yang inspiratif karena karya-karyanya dikenal menyentuh hati.”
“Please welcome... Nara!”
Setelah Yudha membuka acara, terdengar suara tepuk tangan dari dalam studio yang juga diiringi oleh backsound lembut.
“Nara ini adalah seorang novelis yang saat ini sudah berhasil melahirkan karya novelnya, di mana novel yang langsung booming adalah novelnya yang berjudul ‘Diary of Rana’. Yang bikin special adalah ternyata kisah itu terinspirasi dari pengalaman pribadinya.”
“Hari ini kita akan ngobrol bareng Nara, dengan episode yang bertajuk ‘Broken Home isn’t Broken Kids’, tentang luka, harapan, dan kekuatan untuk bangkit. Oke, langsung aja kita mulai ya. Halo Nara, gimana kabarnya hari ini?”
Nara tersenyum kecil dengan perasaan yang masih sedikit gugup. “Alhamdulillah, kabarku baik, Kak. Jujur, masih lumayan deg-deg-an, tapi aku hari ini seneng banget bisa diundang oleh Podcast Rumah Kita, duduk di sini, dan menyapa semua temen-temen pendengar setia.”
“Wah, syukurlah, senang mendengar kabar baik dari Nara. Sebelumnya, aku mau bilang terima kasih udah mau datang dan berbagi. Dan hari ini, kita semua siap buat dengerin cerita dari kamu.”
“Terima kasih kembali, Kak. Semoga ceritaku di podcast ini bisa menginspirasi teman-teman pendengar nantinya,” Ujar Nara.
“Oke, Nara. Kalau kamu nggak keberatan, boleh nggak cerita gimana awal mula kamu menulis, apa yang melatarbelakangi dan memotivasi kamu, hingga sampai saat ini sudah terbit tiga karya novel yang rata-rata di antaranya best seller.”
Nara mengangguk dan tersenyum kaku. Terdiam sesaat, pikiran Nara mulai berjalan mundur dengan hati yang bergetar pelan. Ia membuka lembaran ingatan itu kembali.
Suasana studio menjadi hening. Semua orang di dalamnya bersiap untuk mendengarkan kisah Nara. Dengan napas perlahan, Nara mulai menceritakan kisahnya. Kisah yang membuat Nara menjadi sosok Nara yang sekarang.
#
Flashback On
Saat itu, Nara masih duduk di bangku SMA kelas 10. Sejak kecil, ia memang dikenal dengan sosok pendiam. Di sekolah pun, ia tidak memiliki banyak teman karena kepribadiannya yang tertutup. Satu-satunya sahabat setianya bernama Tania. Berbeda dengan Nara, Tania merupakan orang yang easy-going dan mudah untuk bergaul dengan siapapun. Alasannya memilih untuk berteman dengan Nara adalah karena Tania melihat Nara adalah orang yang baik dan tulus.
Bel sekolah berbunyi pada jam terakhir, menandakan waktu pulang. Jam pelajaran terakhir tersebut memang kosong sebab guru yang mengisi sedang ditugaskan ke luar kota. Tidak ada guru pengganti, namun siswa kelas X IPA 1 SMA Tunas Bangsa mendapatkan tugas untuk mengerjakan 20 halaman soal matematika. Seusai mendengar bel pulang, semua siswa tampak sibuk untuk memasukkan buku dan barang bawaan ke dalam tas dan bersiap-siap untuk mengakhiri kegiatan sekolah pada hari tersebut.
Tania yang mendengar suara bel yang menggema di seluruh sekolah sontak berjingkrak kegirangan. Akhirnya terbebas juga dari mata pelajaran matematika yang membosankan dan membuat pusing ini.
“Eh kita jadi nonton drama bareng kan di rumahmu, Nar?” Tanya Tania pada Nara dengan antusias, ia tampak sudah siap dengan tas ransel berwarna krem yang sudah digendongnya.
Nara yang masih sibuk memasukkan buku-buku dan barang bawaan ke dalam tas menyahuti pertanyaan Tania, “Iya, jadi.”
Tania tersenyum senang.
Ting!
Ponsel Nara yang tergeletak pada meja menampilkan layar notifikasi. Terdapat pesan masuk dari Santi–Ibu Nara.
Nara, hari ini jangan langsung pulang dulu ya. Keadaan rumah sedang tidak baik. Jangan pulang sebelum Ibu kabarkan ke kamu, ya.
Setelah membaca pesan tersebut, Nara mendadak gelisah. Ia tidak tahu situasi macam apa yang terjadi. Nara merasa bahwa keadaan rumah dan keluarganya baik-baik saja selama ini. Meskipun ia jarang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya yang sibuk kerja, apalagi perhatian dari ayahnya. Terlebih lagi ia merupakan anak semata wayang. Namun, Nara mencoba tenang dan mengusir segala pikiran buruknya. Ia hanya berharap keadaan di rumah baik-baik saja. Bahkan, ia sempat berpikir bahwa akan ada kejutan spesial untuknya dari kedua orang tuanya, sehingga ia tidak diperbolehkan pulang terlebih dahulu.
Setelah mengatakan hal tersebut pada Tania, tercetak sedikit perasaan kecewa dalam wajah Tania. Namun, selanjutnya Tania memberikan penawaran untuk pergi ke rumah Tania atau pergi ke mall terdekat dari sekolah dan bermain Timezone.
Nara memilih opsi pergi ke mall, mengingat jarak rumah Tania yang lumayan jauh dari sekolah dibandingkan jarak untuk pergi ke mall. Lalu, mereka berdua bergegas untuk meninggalkan ruang kelas dan memesan taksi online.
#
Sore itu, di langit yang berwarna jingga keemasan. Nara dan Tania melangkah cepat menuju lantai dua mall, tempat di mana denting suara mesin game dan suara tawa pengguna bercampur menjadi satu. Mereka berdua berdiri di depan Timezone. Dengan cepat, Nara dan Tania berlari-larian menuju tempat pengisian saldo kartu mesin game. Setelah mengisi saldo, mereka berdua berlari menuju mesin lempar bola.
“Aku udah dua kali menang lho, Nar. Ayo, kamu kalahin aku, dong!” Ujar Tania sambil menunjukkan poinnya yang lebih unggul dari Nara.
Nara membalas ucapan Tania dan nyengir. “Itu emang aku sengaja mengalah biar kamu seneng.”
Mereka berdua terbahak-bahak. Usai bermain lempar bola basket, mereka menuju sepetak ruang karaoke. Di Timezone itu lah, Nara dan Tania tertawa lepas dan menghabiskan waktu dalam keseruan permainan yang ada, hingga gila-gilaan pada mesin dance. Sesekali mereka saling dorong untuk berebut giliran. Pada saat itulah, Nara tidak tahu bahwa di seberang sana–di rumah Nara–suasana sedang tidak baik-baik saja, karena Santi menemukan bukti dari perbuatan menjijikkan dari Faris–ayah Nara, yakni bukti pengkhianatan dari rumah tangga yang telah dibangun selama 18 tahun.
--- TO BE CONTINUED ---