Hari itu tiba.
Pagi hari, di mana udara masih terasa sejuk, lengkap dengan dedaunan berembun yang bergerak dengan tenang. Pagi ini matahari belum tinggi.
Seusai beribadah, Nara menyibak tirai gorden kamarnya. Cahaya matahari yang masih malu-malu untuk menampakkan dirinya muncul melalui celah jendela kamar Nara. Dilihatnya jam dinding yang saat ini menunjukkan pukul 05.15.
Nara beranjak menuju depan meja rias dan bercermin di depannya. Wajahnya masih muka bantal dilengkapi dengan rambutnya yang sedikit berantakan. Ia mengambil sisir dan mulai menyisirkan rambut panjangnya dengan penuh kelembutan. Di Tengah-tengah menyisir, Nara bernapas sedikit lega sebab rambutnya kini sudah tidak serontok beberapa waktu yang lalu. Setelah rambutnya tercepol, Nara bergegas untuk pergi ke kamar mandi, membiarkan tubuhnya larut dalam pelukan hangat guyuran air.
#
Perempuan cantik dengan rambut sepunggung tampak sedang berdiri di depan cermin. Tangannya sibuk mengancingkan dan merapikan blazer berwarna biru muda yang baru pertama kali ia kenakan hari ini. Ia sengaja memilih baju yang belum pernah dipakainya, sebab ini adalah hari spesial, di mana ia menerima undangan spesial. Selepas merapikan blazer yang dikenakannya, Nara menyapukan riasan wajah tipis yang tampak segar saat ia sapukan pada wajah cantiknya. Kemudian, ia lanjutkan dengan menata rapi rambutnya.
Nara tampil dengan apa adanya. Setelahnya, ia melingkarkan arloji berwarna cokelat tua minimalis pada lengan tangan kirinya dan memakaikan cincin berlian pada jari manis tangan kirinya. Ia menarik napas panjang sambil menatap cermin. Dalam bayangannya, ini adalah Nara yang “baru”. Bukan lagi Nara, si gadis SMA penyendiri yang hari-harinya ditemani oleh buku diary merahnya.
Nara sempat terpaku dalam bayangannya sendiri. Seulas senyum tipis tercetak di bibir mungilnya yang kini tampak mengkilap berkat sentuhan lip gloss yang dikenakannya. Ada perasaan bangga terhadap dirinya sendiri, namun di lubuk hati terdalam, masih terdapat perasaan yang janggal. Ia kira, itu hanyalah sebuah perasaan cemas.
Setelahnya, Nara menyemprotkan parfum pada beberapa titik tertentu bagian tubuhnya, mengizinkan harum menari di tubuh. Setelah benar-benar memastikan barang bawannya, ia keluar dari kamarnya. Turun menuju lantai satu, dilihatnya Tante Sari sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah semangat.
“Udah siap kah, Nara?” tanya Tante Sari sambil merapikan sedikit rambut lurus Nara. Nara hanya merespon dengan anggukan pelan dan senyum kecil.
Setelah mengatakan hati-hati, Tante Sari mempersilakan Nara untuk berangkat menuju studio Podcast Rumah Kita yang lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah Nara– 30 menit–apabila jalanan ibu kota sedang tidak macet. Selang beberapa waktu kemudian, taksi online pesanan Nara datang. Tante Sari melambaikan tangan ke arah mobil biru tersebut ketika pergi melaju.
Di Tengah perjalanan, Nara merasakan perasaan yang sedikit berbeda. Entah mengapa dada Nara bergemuruh. Ia kira itu adalah perasaan tegang dan cemas yang bercampur aduk menjadi satu. Nara menempelkan keningnya pada jendela kaca mobil. Jalanan ibu kota tidak terlalu macet, sebab hari ini masih pagi dan juga bukan akhir pekan. Jalananan yang ia lewati saat ini terasa akrab, yakni jalan rute pulang yang sering ia lalui sambil diam-diam menangis di dalam bus kota.
Tidak hanya rute jalan yang akrab, mobil juga melewati taman kota yang tidak terlalu jauh dari rumah Nara. Sekilas, Nara melihat bangku kayu yang 10 tahun lalu menjadi tempat pelariannya. Di bangku itu lah, Nara pernah duduk selama dua jam ditemani oleh diary merahnya hanya untuk menenangkan diri di saat mendengar ayah dan ibunya saling berteriak sambil memecahkan barang-barang yang ada di rumah. Di bangku itu lah juga Nara menumpahkan segala kekesalan dan keluh kesahnya ke dalam tulisan-tulisan diary.
Kenangan itu muncul begitu saja tanpa permisi. Nara sudah memaafkan, namun lukanya belum sepenuhnya kering. Ia membuka tas selempangnya, mengambil buku diary merahnya. Diary itu sudah tidak pernah ditulisinya lagi semenjak ia memasuki bangku kuliah. Namun, Nara tetap membawanya kemana-mana sebagai bentuk pengingat dari mana semua ini dimulai.
Tangannya sempat membuka halaman acak, yang tanpa sengaja ia membuka halaman yang tertulis kalimat yang mengguncang hatinya. “Andai aku bisa kabur dari rumah tanpa rasa bersalah.”
Drrrt… drrrt…
Ponselnya bergetar–pesan dari tim Podcast Rumah Kita.
“Hi Nara! Kami tunggu di studio lantai 4 ya. Jangan nervous, hati hati di jalan!”
Nara membaca pesan tersebut sambil menaham senyum getir. Ia tahu, ia bukan gugup untuk tampil di depan kamera dan di depan beberapa orang tim Podcast Rumah Kita. Tapi, ini adalah soal luka masa lalunya yang digali kembali. Di mana luka itu sudah berusaha untuk ia tutup rapat-rapat dan ia kubur sedalam mungkin. Namun hari ini, ia akan membuka kembali lembaran luka itu.
Ia membayangkan situasi di studio nanti, kursi, mikrofon, dan beberapa pertanyaan tentang masa lalunya. Tidaklah sulit untuk menjawab pertanyaan tersebut, namun yang sulit adalah untuk tidak akan terbawa suasana dengan galian-galian luka di masa lalunya.
Perempuan yang kini duduk di kemudi belakang tersebut merapalkan doa. Bukan doa agar semua berjalan lancar. Akan tetapi, doa agar ia bisa berbicara tanpa terbawa oleh suasana hati dan meledak dalam tangis karena kembali digelitik oleh luka lamanya. Namun, Nara teringat dengan ucapan Tante Sari terakhir sebelum ia melangkahkan kaki dari pintu rumahnya.
“Kalau kamu nggak nyaman, kamu nggak harus jawab semua.”
Setelah melewati lampu merah dua kali, mobil masuk ke area sebuah gedung berlantai 15 yang terlihat mewah dari luar. Gedung tersebut milik sebuah perusahaan entertainment yang cukup mentereng namanya di Ibu Kota Jakarta. Salah satu studio podcast yang akan didatangi oleh Nara berada di sebuah gedung tersebut. Namun, kemewahan gedung itu tidak berarti apa-apa bagi Nara. Baginya, gedung tersebut seperti panggung di mana luka lamanya akan terkuak kembali.
Setelah turun dari mobil, Nara menarik napas panjang. Kakinya melangkah masuk menuju gedung full kaca tersebut. Ia tersenyum menyapa seorang satpam yang juga menyambut Nara dengan hangat. Satpam tersebut mengarahkan Nara menuju lift untuk naik ke lantai 4, tempat di mana studio Podcast Rumah Kita berada.
Sesampainya di lantai 4, dengan langkah mantap, Nara masuk ke dalam studio. Langkah ini bukanlah langkah menuju rekaman biasa. Namun, langkah ini adalah langkah menuju cerita-cerita yang dulu nyaris tak pernah ia bayangkan akan didengar orang lain.
-TO BE CONTINUED -