Tik-tik-tik-tik.
Hening.
Tidak ada suara apapun yang terdengar di sebuah ruangan yang bernuansa putih gading terkecuali jam dinding yang berdetak kencang. Seorang perempuan dengan sweater rajut merah muda bermotif bunga kini sedang bersandar pada kursi kerjanya dengan memandangi layar laptop yang menampilkan halaman draft tulisan novelnya.
Hoam…
Perempuan tersebut menguap tanda ia lelah.
Sesaat kemudian, ia melirik ke arah jam dinding. Tanpa terasa dan tanpa ia sadari, waktu telah menunjukkan dini hari, 01.15.
Ting!
Ia melirik ke arah benda pipih yang tergeletak di atas mejanya. Sebuah notifikasi email masuk.
Hi Nara! You are invited to ‘Podcast Rumah Kita’.
Nara terdiam beberapa saat, jantungnya berdetak lebih cepat. Dibukanya notifikasi email tersebut dengan tangan yang sedikit gemetar.
Yudha, seorang podcaster yang cukup mentereng namanya, mengundang ia untuk menjadi narasumber utama di episode yang bertajuk “Broken Home isn’t Broken Kids”.
Nara berpikir sejenak. Dipandanginya sudut dinding kamar yang penuh dengan post-it berisi afirmasi positif serta kutipan motivasi yang sebagian di antaranya ia tulis saat hidup dan suasana hatinya sedang kacau.
Kini, hatinya bercampur aduk. Teringat sekitar 10 tahun yang lalu, untuk mengangkat wajah di depan kelas saja ia tak punya nyali. Namun, saat ini terdapat orang yang ingin mendengar suaranya. Suara yang sebelumnya hanya mampu ia tumpahkan ke dalam buku berukuran A5 dengan cover berwarna merah yang sudah mulai usang.
Nara menarik napas dalam-dalam. Jika 10 tahun yang lalu ia bisa melewati semua kekacauan yang terjadi dalam hidupnya, maka hari ini ia juga akan bisa berdiri untuk menceritakan kisah hidupnya.
Mungkin ini lah saat yang tepat untuk dunia berpihak kepadanya. Mungkin ini lah waktu yang tepat di mana pelangi terbit setelah hujan badai yang ia lalui.
Nara membalas email tersebut dengan mantap.
‘Dengan senang hati, saya bersedia hadir. Terima kasih atas undangannya.”
Lalu, ia meletakkan kembali benda pipih berwarna putih tersebut di atas meja kerjanya. Seulas senyum tipis tercetak di bibir perempuan tersebut setelah membalas email yang masuk. Tak lama kemudian, ia mengambil kalender di pojok mejanya dan menambahkan satu agenda penting ke dalamnya. Ia menambahkan ‘Podcast Rumah Kita’ yang akan ia datangi di lusa hari.
Sesaat kemudian, pandangan matanya beralih pada foto lama yang terpajang pada sudut meja kerjanya. Foto tersebut menampilkan Nara kecil, Ibu, dan Ayah yang tersenyum bahagia. Terlihat kontras dengan kondisi hati dan situasinya yang sekarang. Dadanya bergemuruh. Dipandanginya foto tersebut lama, seolah-olah ia sedang berbicara diam-diam pada kenangan.
Suasana makin hening. Keheningan ini lah yang mengisi ruang. Ia mencegah agar perasaan itu tak muncul kembali. Ia mencegah agar bayang-bayangnya akan masa lalu tak akan menghantuinya kembali.
Nara menarik napas panjang. Kemudian, ia beranjak dari kursi dan meja kerjanya, bergegas untuk men-charge energi yang telah ia habiskan seharian penuh ini.
Sebelum merebahkan tubuhnya pada ranjang tidur, ia matikan lampu ruangan dan beralih menghidupkan lampu tidur di atas meja nakas.
Nara mengambil posisi tidur. Sebelum ia memejamkan mata, ditatap olehnya langit-langit di kamar berukuran 4 x 5 tersebut. Lalu, ia letakkan telapak tangannya di atas dada.
“Terima kasih untuk hari ini. Terima kasih karena kamu sudah kuat dan tidak memilih untuk menyerah. Sebelum tidur, Nara maafkan segala hal yang menyakiti hati. Nara ikhlaskan segala sesuatu. Sekali lagi, terima kasih sudah kuat dan bertahan, Nara.”
Ia ucapkan kalimat afirmasi tersebut pada dirinya sendiri. Sesaat kemudian, wanita cantik dengan rambut sepunggung tersebut memejamkan mata dan terlelap dalam tidurnya.
----------------------------- TO BE CONTINUED --------------------------