"Kamu yakin nggak samperin Kak Braga?" Jessie sudah kesekian kali bertanya pada Berly yang masih duduk manis di bangkunya, padahal istirahat sudah berjalan sepuluh menit. "Takutnya makin runyam kalau kamu nggak ke sana, Ly. Samperin, gih."
"Biarin."
"Tapi gimana pun, kamu salah, loh?"
"Mana ada? Helm itu di--"
"Di ... Di mana? Disimpen, kan? Kamu yang ambil helm itu di lemari kantin, terus langsung main lukis aja. Mana kamu lukis warna pink ada bunga-bunganya lagi," ujar Jessie. "Sialnya itu helm punya Kak Braga tau nggak?! Urusannya jadi panjang, Ly."
Berly sejenak terdiam di tempat duduknya. Sebelum kini ia mengacak-acak rambutnya frustrasi. "Astaga! Nggak tau, ah! Kok jadi runyam begini, sih, perkara helm doang?" teriaknya frustrasi.
Tak habis pikir saja Berly. Kalau dipikir-pikir, helm itu ada di lemari kantin kurang lebih sekitar 2 minggu. Bagaimana Berly bisa tahu? Karena ia sudah mengamati helm itu. Helm putih dekil itu mencuri perhatiannya. Bentuknya yang retro, sayang sekali kalau penampilannya dekil seperti itu.
Sejak 2 minggu yang lalu, Berly mengintai helm itu, yang di mana selama itu pula, helm dekil itu tak pernah berpindah tempat bagai terasingkan. Sekarang? Tiba-tiba saja itu milik Braga? Yang benar saja?
"Mana di kelas ini yang namanya Berly?"
Saat suasana sedang rancu, tiba-tiba saja ada seorang siswa yang bertengger di pintu kelas sambil melipat tangan di depan dada. Semuanya seketika heboh dengan kedatangannya. Siswa ini adalah Marlo, sobat karib Braga yang juga merupakan sepupunya. "Ah! Lo, ya?" Marlo menunjuk tepat pada Berly.
Dari ciri-ciri yang disampaikan Braga, bahwa Berly ini memiliki radar pink di kepalanya (read : pita), Marlo langsung bisa menemukan gadis itu. "Lupa punya janji sama Braga? Sampe minta dijemput segala?"
Berly menengok kanan dan kirinya. "Siapa, Kak? Aku? Aku bukan Berly," akuinya. "Berl--"
Marlo mendekat, membuat ucapan Berly berhenti seketika. Ia memberikan tatapan penuh penilaian ke Berly. "Hmm ... di kelas ini, memang ada berapa anak yang punya radar kayak kamu?"
"Rad--radar?"
"Iya. Kata Braga, yang berani cat helm kesayangannya jadi pink ditambah ada bunga-bunga imut, anaknya itu punya radar pink, duduk di belakang, dan rambutnya panjang. Itu ciri-cirinya lo banget, kan?"
Berly secara tidak sadar mengoreksi penampilannya sendiri. Sial! Semua ciri-ciri itu mengarah ke dirinya, tidak bisa ia tepis. Apalagi radar--pita, maksudnya. Itu sudah jelas dirinya.
"Kak ..." Berly memasang puppy eyes-nya.
"Apa?"
"Tolong, dong. Bilangin Kak Braga, kalau aku sakit per--"
"Lo kecil-kecil udah jago bohong ya?" sela Marlo. "Gak usah banyak alasan. Cepet ke Mabes sebelum Braga yang malah ke sini."
Berly menghela napas gusar. Mimpi apa, sih, dia semalam? Perasaan mimpinya indah-indah saja. Bahkan, sebelum tidur ia bahagia karena tidur di pelukan Ibu Dita sambil mengenang masa kecilnya yang ke mana-mana menempel pada ibunya itu. Kok, kehidupan di sekolah besoknya jadi tidak tentram begini, sih? Menyebalkan.
"Udah, temuin Kak Braga. Kayaknya dia cuma minta kamu bersihin helmnya, deh," bujuk Jessie kesekian kali. Teman sebangku Berly itu meraih tangan Berly dan mengelusnya lembut, mencoba memberikan ketenangan pada temannya.
Sementara, seisi kelas riuh berbisik di belakang Berly. Entahlah apa yang mereka bisikkan sampai heboh sekali. Yang jelas mereka membahas kedatangan Kakak Kelas nomor wahid dan Marlo ini di kelas dan lebih tidak dipercaya lagi, tujuannya adalah untuk menemui Berly.
"Sini helmnya, biar gue yang bawa," pinta Marlo.
Dengan berat hati dan malas, Berly mengambil helm di bawah meja, lalu menyerahkan itu ke Marlo.
"Lah, ayo? Diam aja, nih?" tegur Marlo. "Kalau masih lama, gue panggilin Bra--"
"Iy-iya! Ayo!" Berly langsung beranjak. Ia buru-buru berjalan ke luar kelas, meninggalkan Marlo. Pikirannya saat ini adalah ia harus menemui Braga sesuai arahan laki-laki itu. Pait pait pait---jangan sampai Braga itu ke kelasnya lagi dan membawa seluruh pasukan huru haranya. Bisa lebih runyam urusannya.
Langkah Berly pun cepat menyusuri lorong sekolah yang sedang ramai karena jam istirahat. Ia tidak mau beriringan bersama Marlo. Berly menghindari gosip yang kecepatan informasinya bisa secepat sinar matahari itu.
"Eh! Mau ke mana?" Marlo berteriak saat Berly salah arah. Gadis itu malah menuju kantin. "Ngapain belok kiri? Mabes ada di samping ruang ekskul lukis. Amnesia lo?"
"Ah, iya, ya?" kata Berly polos. Gagal sudah rencana kaburnya. Meski percuma, setidaknya ia mencoba.
Langkahnya pun berbalik arah mengikuti langkah Marlo. Hingga ia kini sampai di tujuannya. Tidak Berly sangka ia ada di sini, bahkan akan masuk ke ruangan yang hampir tak bisa terjamah khalayak umum. Ruangan seram yang sering disebut Markas Besar atau Mabes ini sangat tertutup dan hanya para anggota saja yang bisa masuk dengan id card mereka masing-masing.
Pintu hitam legam di hadapan Berly ini berhasil membuat Berly mematung. Marlo kini sudah tap id card-nya ke gagang pintu, membuat lampu di gagang itu beralih dari merah ke hijau, tanda pintu sudah terbuka.
Selepas pintu hitam itu terbuka, Marlo segera memasuki ruangan. Namun, jelas saja Berly masih mematung di depan pintu. Ia ragu-ragu melangkahkan kakinya.
"Mau di situ terus? Nggak ada niatan masuk? Mau Braga yang mak--"
"Enggak, Kak! Enggak," sela Berly cepat. Ia pun akhirnya melangkahkan kakinya memasuki ruangan ini. Dengan matanya sendiri, ia kini bisa melihat dalam ruangan ini yang konon katanya beraura menyeramkan dan gelap.
Tapi sebentar .. tunggu. Apa ini?
Menyeramkan? Bagian mananya?
Berly memiringkan kepalanya dan memicingkan mata.
Mata Berly kemudian berbinar. Ditatapnya sekeliling ruangan ini. Alih-alih menyeramkan, ruangan berukuran 5 x 6 ini sangat luas dengan berbagai sudut yang berbeda pula kegunaannya. Ada ruang meeting, ada ruang santai dengan televisi dan PS 5, ruang tamu yang nyaman, dindingnya banyak dipenuhi gambar mobil tua, sepeda motor tua, dan gambar retro lainnya. Di ruangan ini bahkan ada sebuah ruang wardrobe dengan beberapa lemari besarnya. Keseluruhan, ruangan ini sangat nyaman, bersih, dan dingin-- jauh dari kata menyeramkan.
Gaya Retro yang bersanding dengan warna cokelat tua sangat terlihat elegant. Pencahayaan yang baik, desain interior yang apik, membuat ruangan ini sangat menarik. Mana sisi menyeramkan yang tersebar seantero sekolah? Mana?!
"Mau berapa lama berdiri di sana?" ujar Braga.
Berly tersenyum kaku. "Ng-nggak, Kak. Bentar aja kok berdirinya."
"Duduk," perintah Braga. Laki-laki itu melirik kursi di sampingnya yang kosong, memberi isyarat agar Berly duduk di sampingnya.
Sementara itu, Berly masih tak beranjak. Ia kini sibuk mengamati barang-barang yang ada di meja ruang tamu Mabes ini. Ada helm pink, ada bermacam cat-cat akrilik berwarna gelap, palet, dan kuas-kuas. Jelas saja barang-barang yang tak asing baginya ini membuatnya bertanya-tanya.
"Ini ap-apa Kak?" tanyanya penasaran.
"Ini pertanggung jawaban kamu."
"Mak-maksudnya?"
"Duduk dulu, Berly," perintah Braga lagi.
Dengan ragu-ragu dan sedikit merinding--karena banyak siswa laki-laki di ruangan ini--Berly pun perlahan duduk di sofa samping Braga. Ia yang gugup tak bisa menyembunyikan diri. Tangannya terus gelisah, jempolnya berputar-putar melawan arah untuk meredakan emosional gugupnya.
"Kak, ini maksudnya gimana? Pertanggungjawaban sama alat-alat lukis ini korelasinya apa, ya?" Berly bertanya lebih jelas.
"Lukis helm pink bunga-bunga yang bikin geli itu jadi warna hitam, gaya retro, dan usahakan ada tulisan Svarga. Waktu kamu cuma satu jam, nggak lebih dan nggak kurang. Bisa, kan?"
"Gim-gimana?" Berly langsung melotot. "Nggak bisa gitu, dong, Kak."
"Nggak bisa gimana? Kamu aja sudah sembarang lukis helm yang bukan punya kamu. Sekarang diminta tanggung jawab, kamu bilang nggak bisa?"
"Ya, maksudnya bukan nggak bisa tanggung jawab, tapi nggak bisa selesai satu jam. Lagian bentar lagi ada kelas Kim--"
"Aku udah ijinin ke Bu Rieke. Benar, kan, guru Kimia kelas sepuluh itu Bu Rieke?"
Berly memejamkan mata menyesal. "Ah, itu, Kak. Terus ada presentasi di mata pelajaran Bio--"
"Aku udah ijinin ke Pak Bimo. Mau alasan apa lagi?"
Berly mengibarkan bendera putih. Ia lemas di sofa. Ia memejamkan mata menyesali hal-hal diluar kendalinya ini, yang harus menyebabkan ia berurusan dengan Braga seperti ini.
Iya, iya. Berly pernah berucap bahwa ia ingin mengenal Braga atau paling tidak berkomunikasi dengan Kakak kelasnya ini--itu dulu sewaktu ia selalu terkagum dengan Braga. Ya, benar, ini mungkin jawabannya. Namun, bukan begini konsep kenal & komunikasi yang Berly maksud.
Seharusnya komunikasi yang tercipta itu baik, berkenalan dengan baik, bukan begini. Yang justru Berly harus berurusan dengan Braga karena prahara melukis helm laki-laki itu. Memang, ya, terkadang lucu sekali jalan kehidupan ini.
"Kamu mau mulai kapan?" tanya Braga.
"Kalau besok boleh?" jawab Berly cepat.
"Gimana?"
"Apa minggu depan, boleh, Kak?"
"Boleh."
Berly antusias. Tawa lebarnya langsung mewarnai bibirnya. "Serius, Kak?"
"Boleh. Asal kamu siap buat aku gangguin di sekolah sampai minggu depan. Mau?"
Seketika Berly berubah cemberut. Pait pait pait--diganggu Braga? Maksudnya diganggu? Seperti bagaimana laki-laki itu mengganggu Stefan anak kelas sepuluh IPS 2? Yang setiap hari harus menempel ke Braga sampai urusan mereka selesai, ikut ke mana pun Braga berada, sampai harus standby saat Braga memanggilnya?
Tidak! Katakan tidak, Berly! Sudahi mimpi buruk ini, mari mulai melukis bersamaku~~~~
Berly tidak banyak bicara setelahnya. Ia segera mengambil dan mempersiapkan alat-alat lukisnya. Meski tak ada ide cemerlang bagaimana bentuk helm versi warna gelap dan Svarga, tapi Berly tetap mempercepat gerakannya. Ia ingin cepat selesai dan menghilang dari hadapan Braga. Setidaknya, itu keinginannya saat ini.
"Ga, kita balik kelas dulu, ya?" Marlo bersuara. "Udah aing bawa Berly Berly ini. Jadi utang aing lunas atuh?"
"Alah Gusti, Marlo, Marlo. Ga cocok kamu bicara sunda. Teuing dengernya. Udah paling cocok kamu mah pake bahasa Jakarta aja," sahut Jopan--Jovan maksudnya. Ia selalu memprotes Marlo jika laki-laki itu sudah berbicara Sunda, karena baginya, itu sangat tidak cocok dengan sisi anak gaul JakSel yang melekat pada Marlo.
"Kalem atuh, kalem. Aing masih belajar jadi anak Bandung sesungguhnya," balas Marlo. "Balik kelas dulu, Ga. Jangan lu apa-apain ini anak orang."
"Hmm," tanggap Braga.
Satu per satu anggota Svarga meninggalkan MaBes, menyisahkan Braga dan Berly di sana. Suasana jadi semakin dingin. Tangan Berly bahkan kaku, susah bergerak, entah karena gugup atau karena kedinginan.
Mata Berly curi-curi pandang menatap Braga di sampingnya. Laki-laki itu duduk menyilangkan satu kaki sembari sibuk dengan ponselnya. Wajah seriusnya itu terlihat dingin, tapi justru di sana letak ketampanan seorang Braga naik drastis.
Alis tebalnya yang rapi, rahang yang terbentuk sempurna, hidung yang lurus dan tinggi, lalu bibirnya yang penuh dan--Astaga! Cakep pisan! Berly rasanya ingin berteriak sekarang. Sedekat ini dengan Braga tidak pernah ada dalam bayangnya.
"Serius banget lihatnya? Sampai nggak kedip banget?" ujar Braga. "Memang ada yang salah sama wajahku?" tanya Braga to the point.
"Em?" Tulang Berly langsung melunak dan tangannya seketika terantuk ke meja. Ia kaget dengan pertanyaan tiba-tiba Braga. "It-itu, Kak ..." jawab Berly tergugup.
"Nggak usah gugup, Berly," ujar Braga. "Aku nggak seperti yang kebanyakan orang bilang, kok."
"Mak-maksudnya, Kak?" Berly pura-pura polos. Meski sebenarnya ia tahu maksud ucapan Braga itu.
Desas-desus tentang Braga selalu update setiap hari di seantero sekolah. Braga yang merupakan Ketua SVARGA--bagaikan artis Ibu Kota, hidupnya selalu disorot. Contohnya saja, update menfess HarTam minggu lalu yang menyatakan kalau Braga memberi pelajaran Deon anak sebelas. Braga mengunci Deon di kamar mandi sampai jam 5 sore dan keesokannya ia menyerahkan Deon ke Kepala Sekolah secara langsung. Peristiwa itu membuat kehebohan karena SVARGA terlibat di dalamnya.
SVARGA sendiri sudah diduduki Braga sejak 2 tahun lalu, sejak kepindahannya ke Harapan Utama dari sekolah asalnya di Jakarta. Banyak yang mencari tau alasan laki-laki itu pindah ke bumi Bandung. Satu-satunya informasi yang tersebar adalah Braga dikeluarkan dari sekolah karena bertengkar hebat dengan Dera, seorang Siswa SMA Budi Pekerti Jakarta sampai ia koma 38 hari. Hal itu membuat nama Braga buruk dalam sekejap, apalagi ditambah pula dengan keputusannya mengambil alih SVARGA yang jelas saja itu menambah title buruknya.
Image SVARGA sendiri sudah buruk sebelum ada di tangan Braga. Terkenal suka usil dengan sekolah-sekolah lain, bahkan tak jarang memimpin demo dengan tingkat anarki yang tinggi, bahkan sampai terlabel dengan tingkat palak-isme yang berat.
Namun, image buruk sedikit berubah sejak Braga ada di dalamnya. Ia membasmi hama di SVARGA dan membuat kelompok anarkis pelajar itu berubah menjadi kelompok positif. Dengan kekuatan kekayaan yang melekat pada Braga, juga dengan power orang tuanya, Braga berhasil melakukan itu. Hanya saja, seantero sekolah seperti menutup mata akan hal itu.
Sampai sekarang, Braga terutama SVARGA masih terkenal menyeramkan meski hilang dari title anarkis dan bandel--atau hal itu bisa kambuh sewaktu-waktu, tergantung kondisi. Image kelompok nakal masih melekat meski tak seburuk dulu. Padahal kalau dipikir-pikir SVARGA yang sekarang lebih menonjolkan sisi Anak Orang Kaya daripada Anak Anarkis. Contohnya saja seperti suka pamer mobil antik yang terparkir di sekolah, motor Harley Davidson pemberian orang tua yang dipamerkan di parkiran sekolah, atau menghamburkan uang untuk kepentingan rakyat HarTam. Sisi seperti itu, malah tak terlihat, seperti buta saja mata anak-anak HarTam ini.
"Aku yakin kamu pasti sudah dengar tentang aku. Ya, dari menfess atau dari gosip anak-anak HarTam ini," kata Braga. "Menurut kamu, apa aku seperti kata mereka?"
Iseng saja Braga bertanya demikian. Entah. Ia ingin saja berbicara berat dengan Berly. Ia sangat penasaran dengan jawaban gadis ini.
Berly yang sedang berusaha fokus dengan helm yang sudah tercover warna hitam, Berly menjawab, "I know you are a good person, Kak," ucapnya. "Hanya saja, mereka terlalu buta melihat itu. Jadi, jangan berusaha memvalidasi dirimu. Cukuplah jadi dirimu sendiri, versi terbaikmu, dan biarkan mereka melihat dengan matanya sendiri nanti."
Ddang!
Braga meletakkan ponselnya. Ia tertarik dengan pernyataan Berly. Segera Braga mendekat ke Berly, mengikis jarak mereka. Gadis di sampingnya ini sekarang memenuhi pandangannya. "Gimana kamu bisa jawab seperti itu? Kita nggak cukup dekat buat kamu bisa menyimpulkan bahwa aku baik, Berly," ujar Braga heran.
Berly meletakkan kuasnya. Ia tersenyum setelahnya, lalu tatapan hangatnya jatuh ke netra Braga. "Justru karena kita nggak dekat, dari kejauhan, aku bisa melihat banyak baikmu. Kebaikanmu yang nggak bisa dilihat orang lain, aku melihatnya, dengan mataku sendiri."
"Untuk itu aku nggak ragu bilang kalau Kak Braga orang baik," lanjut Berly.
"Apa yang kamu lihat?" penasaran Braga.
"Salah satunya adalah caramu mencintai teman-temanmu," jawab Berly cepat.
Jawaban itu membuat pupil mata Braga melebar.
" ... dan cara mereka membalas cinta itu ke kamu, itu manis untuk seukuran laki-laki remaja seperti kalian. Seriously. Hanya saja ..."
"Hanya ... saja?"
"Kalian seram."
Braga berkedip bingung. Ia terkekeh. "Gim--gimana?"
"Iya. Kalian menyeramkan."
Jawaban terakhir dari Berly yang sangat singkat, padat, dan menjengkelkan itu membuat Braga terdiam.
Selain perihal itu, dua kalimat 🙏🏻KALIAN🙏🏻SERAM🙏🏻 membuat Braga menyandarkan punggungnya ke sofa. Lelah-lelah ia menyimak sisi positif yang dikatakan Berly, tapi tetap saja 'Seram' itu masih melekat.
Sebenarnya ia ini manusia atau setan, sih?
Bagus kak ❤
Comment on chapter P R O L O GNext Part Kapan Nih kak ???