“Salah satu faktor atau peristiwa yang terjadi pada masa akhir demokrasi terpimpin adalah meletusnya pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia.”
Penjelasan tersebut terdengar menguasai atmosfer kamar Phiko melalui speaker laptopnya. Menyamarkan suara dengkuran keras dari kakak kembar yang tertidur pulas pada ranjang yang ada di belakangnya. Bukannya tidak memiliki earphone, tapi lelaki itu merasa lebih paham akan materi pelajaran jika kepalanya bebas tanpa ada beban. Tangan kanannya sibuk mencatat pemaparan materi dari seorang pria yang tampil lewat layar kaca itu. Esok, Phiko harus mendapatkan nilai sempurna atas ulangan mata pelajaran sejarah, seperti biasanya.
Satu menit. Dua menit. Hingga setengah jam berlalu. Suara dengkur kakaknya dan suara youtuber akademik itu masih beradu. Lagi pula, siapa yang sanggup membuka mata pada pukul sebelas malam untuk belajar? Selain Phiko salah satunya. Tidak. Phiko seperti ini tidak hanya ketika esok ada ulang saja. Phiko ini ... gila belajar.
Video kelima yang Phiko tonton malam ini telah selesai, selanjutnya ia akan membuka web dan mencari soal yang berkenaan dengan materi. Begini teknik belajar Phiko; pertama, ia akan menyaksikan video pembelajaran dari Youtube, sambil mencatat hal-hal penting yang harus diingat dalam buku khususnya. Kedua, Phiko mencari sekaligus mengisi latihan soal yang ada di internet. Ketiga, Phiko akan membuat rangkuman tanpa melihat catatan yang telah ia peroleh. Keempat, Phiko menghafalnya dan bergumam seperti berpresentasi dalam keheningan. Dan semua kegiatan tersebut terus diulang-ulang hingga Phiko merasa puas dengan hafalannya.
Drrt... Drtt!
Phiko mengumpat dalam hati saat mendengar getaran ponsel, disusul suara musik melankolis yang sangat mengganggu kupingnya. Dengkuran sang kakak memang tidak mengganggu, tapi lagu yang mendadak terputar pertanda ada panggilan masuk membuat kepala Phiko ingin meledak. Awal-awal Phiko mengabaikannya, tapi si pemanggil tidak menyerah dan terus menelepon. Sementara pemilik ponsel tidak kunjung sadar dari simulasi meninggalnya.
Terpaksa Phiko bangkit dari kursi. Bantalan yang ia gunakan agar tidak pegal duduk berlama-lama sampai terjatuh. Phiko menghampiri ranjang, mengambil guling, melayangkannya ke arah tubuh sang kakak cukup keras.
Kakaknya sampai terperanjat seperti ada gempa bumi. Kedua matanya terbelalak, bahkan ia tak sempat mengumpulkan nyawa saat duduk. Dilihatnya Phiko yang menatap datar ke arahnya.
“Bangun. Hp lo bunyi,” kesal Phiko. Lantas ia melengos kembali ke meja belajarnya. “Ganggu aja.”
Vino mendesah pelan sambil mengisik kedua matanya. Ia menidurkan kembali kepala yang terasa pening karena mendadak bangun. Setelah cukup sadar, barulah Vino mengambil ponselnya yang ternyata ada di bawah punggung.
Tidak sampai sepuluh detik, Phiko sudah kembali tenggelam dalam aktivitas belajarnya. Namun, Phiko tahu, setelah Vino menjawab telepon dengan kata iya, Vino bergegas turun dari kasur dan mengambil jaket. Phiko tidak bertanya, sekilas ia menoleh ke belakang dan melihat Vino sudah menghilang keluar kamar dengan jaket denim kesayangannya yang sudah lusuh.
Phiko tidak tergubris ketika motor terdengar dinyalakan di halaman rumah. Tak lama mulai dilajukan meninggalkan pekarangan. Phiko mengembuskan napas kasar, ia memijat pangkal hidungnya.
Menurut Phiko, kakaknya itu memang sulit diandalkan. Tidak pernah terlihat mengerjakan tugas, bahkan cenderung lebih banyak dihukum oleh guru. Padahal, sewaktu SMP Vino tidak begitu. Vino sama sepertinya yang rajin dan selalu belajar dengan giat. Namun, semenjak ibu mereka ketahuan berselingkuh, semuanya berubah. Kakak kembarnya tidak seperti yang Phiko kenal, bahkan cenderung asing meski mereka masih sekamar. Bahkan ketika SMA, keduanya dipisahkan berdasarkan jurusan.
Triplets. Orang-orang memanggil mereka seperti itu. Namun, itu dulu, ketika mereka masih kecil hingga sebatas usia lima belas. Setelahnya, mereka seperti hidup masing-masing dengan orang asing yang ditakdirkan satu atap. Di rumah sederhana yang hanya terdapat satu lantai, dua kamar yang salah satunya disekat sehingga menjadi tiga kamar, si triplets hidup bersama ayah mereka.
Minuman dingin yang menemani malam belajar Phiko sudah habis. Terpaksa ia beranjak lagi dari meja belajarnya untuk mengisi ulang ke dapur. Dapur pun hanya berukuran sepetak kecil saja, cukup untuk keempat orang makan dan masak.
Phiko harus melewati kamarnya Finna jika mau ke dapur. Pintu kamar itu sedikit terbuka, Phiko sempat mengintipnya sekilas. Lagi-lagi hamburin uang, omel Phiko dalam hati. Kakak kembarnya yang kedua sedang membuka sebuah paket di atas kasurnya, yang dipastikan berisi riasan wajah. Entah gadis itu memang kolektor make up atau bagaimana, tapi Phiko yakin sekali peralatan tersebut sudah menggunung di kamar itu. Padahal, kalau Finna lebih pintar, uang yang dibelikan peralatan rias bisa dialokasikan untuk membeli makan atau obat untuk bapak mereka.
Omong-omong tentang Bapak, Phiko belum melihat kondisi Bapak setelah pulang sekolah. Mereka hari ini tidak punya uang lebih, jadinya tidak punya makanan untuk dimakan malam hari. Pulang sekolah, Phiko memutuskan langsung masuk ke kamar dan belajar, berhubung besok ada ulangan harian. Maka dari itu, sembari membawa segelas teh hangat, Phiko berjalan memasuki kamar bapaknya.
“Lho? Bapak belum tidur?” heran Phiko, melihat Bapak sedang duduk di kursi menghadap jendela dengan buku di tangannya.
Bapak mengangkat kepala. Tersirat segaris senyum mata dari balik kacamata baca itu ketika melihat putra bungsunya datang memberi teh hangat. “Bapak kebangun karena motor kakakmu, Phi.”
Phiko meletakkan cangkir tersebut di meja dekat ranjang. Bersimpuh di depan Bapak dan melihat buku apa hang Bapak baca. Phiko menggenggam tangan Bapak. Buku lusuh itu terus menerus Bapak baca. Padahal, Phiko sudah membelikan buku yang isi dan gaya tulisannya hampir mirip dengan buku di tangan Bapak, tapi Bapak lagi-lagi memilih buku itu tanpa rasa muak untuk membacanya.
“Nanti Phiko kasih tau dia supaya gak pergi tengah malem gini lagi, ya, Pak."
Phiko mengambil buku dari tangan Bapak, disimpan di sebelah cangkir teh. Lantas Phiko menuntun Bapak supaya kembali tidur ke atas ranjang. Mata Bapak langsung mengarah pada area tempat tidur mantan istrinya, terhitung sudah tiga tahun kosong begitu saja.
Bapak selalu saja begitu, kalau sudah menatap area kosong itu lamat-lamat. Pasti sebentar lagi pria bertubuh sedikit tambun ini akan bertanya, apa salahnya sampai sang istri memilih lelaki lain ketimbang dirinya. Ia juga bekerja keras, sama seperti lelaki kebanyakan. Walau pekerjaannya hanya sebatas penjual buku bekas di pasar buku bekas, tapi setidaknya dapur tetap berasap meski Bapak kerap pulang tak membawa uang.
“Istirahat, Pak,” ujar Phiko cepat, setelah Bapak membuka mulutnya.
Tatapan Bapak akhirnya teralihkan. Ia tersenyum, mengangguk pelan, menurut perintah putra bungsunya.
***
Phiko berhasil mempertahankan kedudukan peringkat satunya selama dua tahun berturut-turut. Terhitung pula sudah ada sebanyak tiga puluh dua medali dari berbagai lomba, tujuh penghargaa. kejuaraan olimpiade geografi tingkat nasional, dua penghargaan olimpiade sejarah tingkat internasional. Dan masih banyak lagi prestasi Phiko yang telah diraih selama bersekolah di SMA ini. Meski dirinya berasal dari jurusan IPS–karena dalam tes minat bakat yang menghasilkan Phiko harus mengenyam di jurusan tersebut–tetapi tidak menyurutkan ambisinya.
Phiko ingin membuktikan, menampar orang-orang yang berkata IPS adalah jurusan mudah, termasuk kakak kembarnya. Vino ditakdirkan masuk ke jurusan IPA aliansi pemalas, menurut Phiko. Sementara Finna berada satu kelas dengan Phiko.
Alvino, Alfinna, dan Alphiko. Mereka dikenal sebagai segitiga sama kaki. Vino dan Finna dikategorikan sama dan sejajar, sebab mereka tidak terlalu menonjol dalam hal akademik, cenderung biasa saja. Vino dan Finna sangat mirip, persis seperti anak kembar pada umumnya. Bukan perihal wajah. Kalau wajah, Phiko juga mirip seperti kedua kakaknya. Namun, perihal tingkah laku dan gestur berbicara. Sementara Phiko, lelaki itu tidak ada mirip-miripnya dengan kedua kakak kembarnya. Bahkan, dirumorkan kalau Phiko merupakan anak angkat.
“Kantin, Fin?”
“Gas!”
Finna melengos melewati bangku Phiko yang berada paling depan, tanpa menoleh atau peduli sedikitpun. Biar begitu, Phiko sendiri juga merasa tidak peduli dengan kakak perempuannya. Phiko sempat menatap punggung Finna yang dirangkul oleh kawannya, sampai akhirnya menghilang.
Apakah akan ada kawan yang mengajaknya pergi ke kantin seperti itu? Tidak. Phiko selalu menolaknya. Baginya, berkawan sangat membuang waktu. Berapa banyak uang yang sia-sia dikeluarkan untuk ‘mengejar nilai’ demi bisa diterima dalam suatu perkumpulan pertemanan. Phiko sudah tidak lagi bergaul sedari kelas sepuluh semester dua. Sejak ia tahu, kawan sebangkunya dan beberapa orang yang mencoba dekat, justru menyontek tugas yang telah ia kerjakan dengan usaha sendiri. Tak kaleng-kaleng, saat itu Phiko berani memukul teman-temannya yang menyontek sampai babak belur.
Hingga saat ini, kelas tiga semester satu, Phiko duduk sendirian di bangku pertama, jajar kedua dari pintu. Bahkan Finna juga mengompori teman-teman sekelasnya. “Jangan pernah berani bergaul dengan Phiko, kalau kamu nggak siap kena pukul setiap buat kesalahan,” katanya. Gosip itu menyebar hingga ke penjuru sekolah.
Phiko berjalan menyusuri lorong kelas. Wajahnya datar, dagunya terangkat, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Bagi orang-orang, sikap tersebut terlihat angkuh. Namun, raut wajah dan gesturnya akan berubah 180 derajat jika sudah berpapasan dengan guru. Hal tersebut membuat Phiko dikenal sebagai ‘murid teladan’ di kalangan guru-guru.
“Siang, Pak.”
“Eh, Phiko. Lancar ulangannya?” sambut penjaga perpustakaan, sembari membuka buku siswa, di mana buku tersebut terkumpul banyaknya data siswa yang berkunjung ke perpustakaan setiap harinya.
Phiko mengangguk ramah. Lalu menandatangani buku siswa, sebelum melangkah menuju bangku favoritnya. Seperti biasa, pojok menjorok disertai dinding sekat yang memisahkan dengan bangku sebelah. Phiko menyukai kedamaian ini. Mengisi waktu istirahat di perpustakaan jauh lebih seru ketimbang di kantin. Ralat, Phiko tidak pernah menginjakkan kaki di kantin yang selalu padat setiap jam istirahat itu.
“Halo, Pak Hendro!”
“Wahh, halo Vino. Tumben ke sini, ada apa? Berseri bener itu muka.”
Telinga Phiko rasanya tergugah oleh percakapan di meja penjaga perpus. Kakaknya, lelaki yang semalam pergi itu tak pulang lagi ke rumah, dan sekarang ternyata ada di sekolah.
“Biasa, mau ketemu cewek cakep, Pak.”
"Eh, adikmu ada tuh di pojok sana.”
“Finna? Mana, Pak? Kebetulan mau ngasih uang jajan ke dia.”
“Bukan. Adikmu yang satunya lagi.”
Phiko tidak mengalihkan pandangannya. Ia masih berpura-pura membaca buku di depannya sambil menguping, tapi bisa dipastikan ada raut wajah kecewa dari kakak sulungnya itu.
Beberapa menit setelahnya, tidak ada lagi percakapan antar kakaknya dan Pak Hendro. Phiko memutuskan menoleh. Benar katanya, Vino sekarang berhadapan dengan seorang gadis berambut sebahu. Gadis itu berkulit putih sekali, senyumnya manis. Vino memberikan sebuah tas kain kepada gadis tersebut.
Kasihan sekali dia, ujar Phiko dalam hati, tatapannya kembali teralih kepada buku. Dirasa Vino sudah berkali-kali mengganti gadis. Mungkin, semua perempuan yang ada di SMA ini sudah Vino dekati sedemikian rupa.