Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit Bumi
MENU
About Us  

Asap dari gorengan yang baru diangkat mengepul di ujung gang, bercampur dengan suara sepeda motor tua yang meraung pelan. Matahari belum tinggi, dan udara pagi masih lembap dengan bau tanah dan bensin. Sepasang anak laki-laki berseragam SMA berjalan menyusuri trotoar yang retak.

Bumi berjalan sedikit lebih di depan.

Tubuhnya tinggi dan tegap untuk anak seusianya. Rahangnya tegas, matanya tajam, dan langkahnya tenang seperti seseorang yang tahu betul bahwa dunia ini tidak akan berani menghalanginya. Tangan dilipat di depan dada, ekspresi datar, tanpa bicara.

Di belakangnya, Dirga berusaha mengikuti.

Tubuhnya lebih pendek, lebih gempal, dan gerakannya selalu terasa sedikit lebih lambat. Dirga melirik ke punggung kembarannya itu—kembar fraternal yang tak pernah benar-benar sejajar. Jarak dua meter di antara mereka terasa lebih lebar dari sungai.

Hari pertama SMA, dan perut Dirga sudah mual sejak semalam. Ia tidak tahu apakah mereka akan sekelas lagi atau tidak. Dan anehnya, ia sangat berharap mereka tetap sekelas.

Ibu mereka mungkin mengira Dirga merasa tertindas. Tapi Dirga tahu pasti: berada di bawah bayang-bayang Bumi bukan penjara—itu perlindungan. Dirga sudah memahaminya sejak lama: berdekatan dengan Bumi adalah strategi bertahan hidup terbaik.

Dulu, saat mereka masih di PAUD, Bumi selalu mengklaim mainan terbaik. Tidak ada anak yang berani merebutnya. Dirga hanya perlu menunggu Bumi bosan, dan ia bisa memainkannya tanpa risiko. Jika ada anak lain yang coba merebut mainan dari tangan Dirga, Bumi-lah yang akan muncul dari balik pojok, memukul atau menariknya kembali dengan ekspresi datar dan tatapan membunuh.

Sejak itu, semua anak di PAUD tahu: mainan Dirga adalah teritori Bumi.

Mengganggu Dirga, artinya mengundang murka Bumi.

Dan tidak ada anak waras yang ingin mengundang itu.

Mereka tiba di gerbang sekolah yang sudah dipadati siswa baru. Bumi berhenti dan menoleh, mata tajamnya langsung menghantam Dirga.

“Denger baik-baik,” katanya pelan, nyaris tanpa ekspresi. “Mulai hari ini, gue gak ngurusin lo lagi. Lo urus diri lo sendiri. Gue gak bakal bantu kalau lo kenapa-kenapa. Paham?”

Dirga menelan ludah. Kepalanya mengangguk pelan. “I-iya, Bum.”

Tanpa menunggu balasan, Bumi melanjutkan langkahnya. Mereka melewati lorong dan naik ke lantai tiga menuju ruang kelas anak-anak kelas X. Suara sepatu bergema di tangga semen. Dirga tertinggal satu langkah, terengah, napasnya berat, tapi tetap mengikuti.

Mereka berhenti di depan pintu kelas 10-E. Daftar nama siswa tertempel di kaca.

Bumi mencari namanya. Matanya menyapu cepat, lalu menunjuk. “Itu gue,” katanya ringan.

Dirga segera menelusuri daftar itu. Dari huruf A, lalu B, lalu D. Dadanya berdebar. Tapi… tidak ada namanya.

Dia mencari lagi, lebih pelan, memastikan. Tapi tetap, tidak ada. Matanya mulai panas.

Bumi menoleh dan tersenyum tipis.

“Bye…” ucapnya pelan, lalu menambahkan dengan nada riang yang dibuat-buat, “Hati-hati ya…”

Senyumnya melebar—bukan seperti kakak yang melepas adiknya ke kelas baru, tapi seperti pemburu yang melepaskan anak rusa ke tengah sabana penuh singa.

 

***

Bumi melangkah masuk ke kelas X-E dengan langkah tenang, penuh keyakinan, seolah ruangan itu sudah ia duduki sejak lama. Beberapa murid yang sudah duduk menoleh sekilas, lalu buru-buru mengalihkan pandangan. Meskipun mereka belum mengenal Bumi, tapi ada sesuatu entah apa yang membuat mereka tidak berani berlama-lama menatap.

Tanpa sepatah kata pun, Bumi berjalan ke deretan paling belakang, lalu duduk di kursi dekat jendela. Ia menaruh tasnya di kursi sebelah, sebuah isyarat diam yang tak terbantahkan: tempat itu miliknya. Ia hanya ingin duduk sendiri. Ia menyandarkan punggung ke kursi, melipat lengan, dan menatap kosong ke depan. Wajahnya datar, nyaris malas, tapi entah kenapa terasa menakutkan.

Pelan-pelan, bangku-bangku mulai terisi. Suara obrolan tumbuh dari gumaman jadi gelak tawa. Anak-anak yang sudah saling mengenal dari SMP duduk bersama tanpa ragu. Yang lain celingukan, mencari tempat di tengah ruangan yang semakin padat.

Lalu seorang gadis masuk. Rambutnya pendek, hitam dan rapi. Seragamnya nyaris terlalu sempurna—rok jatuh rapi di bawah lutut, sepatu mengilap, kaus kaki tertarik rapi hingga betis. Ia berjalan perlahan, membawa aroma asing yang sepi di tengah hiruk kelas.

Dari sisi kiri, suara di antara geng cewek pelan menyelinap ke telinga Bumi.

"Ihh… ngapain dia di sini?"

"Siapa?"

"Si Sophia. Dia satu SMP sama gue. Sok pinter. Belaguk banget, enggak pernah mau ngasih contekan."

Bumi melirik sekilas ke arah gadis itu—Sophia. Wajahnya bersih, datar. Matanya mencari tempat duduk, tapi gerak-geriknya seperti bayangan yang ingin menghilang. Ia berhenti di satu meja, bertanya dengan suara pelan. Gadis yang ditanya langsung mengambil tasnya dan menaruhnya di kursi sebelah. "Udah ada orangnya," katanya tanpa menoleh, lalu tertawa lagi bersama temannya.

Sophia hanya mengangguk kecil, dan berjalan lagi. Kini hanya tersisa satu-dua kursi kosong—sebagian sudah diklaim tak resmi oleh tas, botol minum, atau… tatapan tak ramah.

Bumi memperhatikan sejenak. Lalu, dengan gerakan ringan tapi tegas, ia menarik tasnya ke bawah meja. Tidak ada isyarat. Tidak ada tatapan.

Sophia, yang kebetulan melangkah mendekat, melihat kursi kosong di sampingnya. Ia berhenti. Ragu.

Bumi tetap bersandar santai dengan tangan terlipat di dada, mata tertutup, kepalanya sedikit miring ke belakang. “Kalau mau duduk di situ, terserah. Asal jangan berisik,” ucapnya datar, seperti berbicara pada angin.

Sophia membeku sejenak. Lalu tersenyum—kecil, tipis, dan nyaris tak terlihat. Ia duduk perlahan, dan menarik kursinya sedikit menjauh. Menjaga jarak. Tapi untuk pertama kalinya pagi itu, langkahnya berhenti. Ia tak perlu berjalan lagi.

 

***

Dirga berdiri di depan pintu kelas X-A dengan jantung berdebar. Keringat dingin membasahi telapak tangannya meski pagi itu tidak panas. Matanya menyapu ruangan, mencari tempat duduk yang tidak terlalu mencolok—dan lebih penting, tidak terlalu dekat dengan keramaian.

Di sudut ruangan, seorang anak laki-laki bertubuh kurus sedang duduk sendiri. Ia mengenakan kacamata dengan bingkai hitam dan tengah membaca sebuah komik. Sampulnya bergambar pedang besar dan pria berambut perak. Samurai Deeper Kyo.

Dirga mendekat perlahan.

“Eh, di sini kosong enggak?” tanyanya ragu.

Anak itu menoleh, tersenyum kecil. “Kosong. Duduk aja.”

Dirga mengangguk, meletakkan tasnya dan menarik kursi. Ia duduk sambil melirik komik yang masih terbuka di tangan si anak.

“Lo suka Kyo juga ya?”

Mata anak itu langsung membulat. “Lo juga?”

Dirga tersenyum penuh percaya diri. “Gue sampe baca semua teorinya di forum fans. Yang katanya Kyo itu sebenernya cuma sisi gelap dari Kyoshiro. Tapi versi yang gue percaya...”

Dan begitu saja, mereka langsung tenggelam dalam obrolan yang mengalir cepat. Tentang plot twist, karakter favorit, bahkan ending alternatif yang sempat viral di blog penggemar yang Dirga baca setiap kali ia main di warnet.

Anak itu tertawa kecil. “O iya, nama gue Bagas.”

“Gue Dirga.”

Bagas memiringkan kepalanya. “Kalau lo suka warnetan, lo ikut gue aja jadi Astek.”

Dirga mengernyit. “Astek?”

“Asisten Teknologi. Bisa dibilang kuncen lab komputer. Bantuin maintenance, setting jaringan, update antivirus, gitu-gitu. Tapi bisa internetan juga kalau enggak ada kerjaan. Kakak gue dulu astek juga. Anak kelas XII.”

Dirga terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran itu. “Boleh juga kayanya.”

Bagas kembali menunduk ke komiknya. Dirga menoleh ke luar jendela. Dari jendela kelas, ia bisa melihat lorong utama sekolah. Seseorang sedang berjalan di sana, diapit empat temannya.

Seorang cowok bertubuh tinggi, mengenakan seragam yang terlihat berantakan dan celana yang sedikit lebih sempit dari standar sekolah. Ia tertawa keras sambil menjitak kepala temannya yang tertawa lebih keras lagi.

Mereka berjalan seolah seluruh lorong adalah milik pribadi mereka.

“Siapa tuh?” gumam Dirga.

Bagas mendongak. Ekspresinya langsung berubah menjadi dingin. “Itu Raka.”

“Anak kelas atas?”

“Kelas XII. Kalau lo ketemu dia, mendingan lo muter balik. Serius. Dia sama gengnya suka ngerjain orang, apalagi anak-anak baru. Kakak gue dulu juga pernah jadi korban.”

Dirga menelan ludah. Matanya masih terpaku pada sosok Raka yang kini memelototi seorang anak kelas X yang tanpa sengaja menabraknya, lalu menepuk pundaknya keras, nyaris menjatuhkannya.

Dirga diam. Tapi ada sesuatu yang bergerak di dalam dirinya. Sesuatu yang tidak nyaman.

Bukan ketakutan. Tapi... semacam firasat buruk.

Dan itu baru hari pertama.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • linschq

    suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.

    Comment on chapter Pandangan Pertama
  • adiatamasa

    Semangat, ya, kak.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Only One
1094      749     13     
Romance
Hidup di dunia ini tidaklah mudah. Pasti banyak luka yang harus dirasakan. Karena, setiap jalan berliku saat dilewati. Rasa sakit, kecewa, dan duka dialami Auretta. Ia sadar, hidup itu memang tidaklah mudah. Terlebih, ia harus berusaha kuat. Karena, hanya itu yang bisa dilakukan untuk menutupi segala hal yang ada dalam dirinya. Terkadang, ia merasa seperti memakai topeng. Namun, mungkin itu s...
Fix You
995      591     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...
KETIDAKBAHAGIAAN
502      358     0     
Short Story
seorang siswa penyendiri yang terlihat paling cuek namun dia-lah yang paling perhatian. Esa
Rinai Kesedihan
800      538     1     
Short Story
Suatu hal dapat terjadi tanpa bisa dikontrol, dikendalikan, ataupun dimohon untuk tidak benar-benar terjadi. Semuanya sudah dituliskan. Sudah disusun. Misalnya perihal kesedihan.
Bisikan yang Hilang
70      63     2     
Romance
Di sebuah sudut Malioboro yang ramai tapi hangat, Bentala Niyala penulis yang lebih suka bersembunyi di balik nama pena tak sengaja bertemu lagi dengan Radinka, sosok asing yang belakangan justru terasa akrab. Dari obrolan ringan yang berlanjut ke diskusi tentang trauma, buku, dan teknologi, muncul benang-benang halus yang mulai menyulam hubungan di antara mereka. Ditemani Arka, teman Radinka yan...
Lepas SKS
182      157     0     
Inspirational
Kadang, yang buat kita lelah bukan hidup tapi standar orang lain. Julie, beauty & fashion influencer yang selalu tampil flawless, tiba-tiba viral karena video mabuk yang bahkan dia sendiri tidak ingat pernah terjadi. Dalam hitungan jam, hidupnya ambruk: kontrak kerja putus, pacar menghilang, dan yang paling menyakitkan Skor Kredit Sosial (SKS) miliknya anjlok. Dari apartemen mewah ke flat ...
Interaksi
429      331     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
Kepak Sayap yang Hilang
118      111     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Sebuah Surat Dari Ayah
2808      1780     4     
Short Story
Sebuah penjelasan yang datang untuk menghapus kebencian. Sebab, ayah adalah sosok yang tak mungkin kita lupakan.
Gareng si Kucing Jalanan
10928      3542     0     
Fantasy
Bagaimana perasaanmu ketika kalian melihat banyak kucing jalanan yang sedang tertidur sembarangan berharap ketika bangun nanti akan menemukan makanan Kisah perjalanan hidup tentang kucing jalanan yang tidak banyak orang yang mau peduli Itulah yang terjadi pada Gareng seekor kucing loreng yang sejak kecil sudah bernasib menjadi kucing jalanan Perjuangan untuk tetap hidup demi anakanaknya di tengah...