Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit Bumi
MENU
About Us  

Indira tahu anak ini akan menyulitkannya—bahkan sebelum ia lahir.

Bumi, si sulung. Terlahir kembar dengan Dirga, tapi tak pernah benar-benar berbagi ruang.

Bidan yang membantu persalinan mereka dulu pernah berkata, seharusnya Dirga yang lahir lebih dulu. Tapi tali pusar Bumi melilit adiknya dengan cara yang nyaris mematikan—seolah ia menahan Dirga agar tidak keluar duluan.

Bumi lahir dengan tangan terkepal, mata yang terbuka setengah, dan tangisan nyaring yang bergema di ruang bersalin. Tangisan itu tidak seperti tangisan bayi; lebih mirip perintah pertama kepada dunia: lihat aku.

Sementara Dirga lahir beberapa menit kemudian, tubuhnya lebih kecil, kulitnya pucat, dan tangisannya nyaris tak terdengar. Ia tampak seperti seseorang yang baru saja diselamatkan dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan.

Pagi itu, dapur rumah mereka terisi suara desis minyak di wajan, bunyi kipas angin plafon yang berdecit, dan siaran "Dunia Dalam Berita" dari televisi tabung berwarna 21 inci yang diletakkan di atas meja kayu.

Indira menyiapkan dua kotak makan siang. Satu untuk Bumi, satu untuk Dirga. Keduanya duduk di meja makan dengan seragam SMA baru yang masih kaku, menyaksikan berita pagi di TV. Cahaya layar memantul di wajah mereka, seperti proyeksi dua dunia yang sangat berbeda dalam satu bingkai.

Indira menaruh kotak-kotak itu di depan mereka.

“Bumi,” katanya sambil menatap anak sulungnya lurus-lurus. “Jangan bikin masalah hari ini. Baik-baik di sekolah.”

Bumi tidak menjawab. Ia hanya menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, menyilangkan tangan di dada, tatapannya tetap ke layar televisi.

“Kapan aku pernah bikin masalah?” suaranya enteng, hampir malas. Tapi bagi Indira, kalimat itu terdengar seperti ejekan.

Ia menarik napas tajam. Bekas luka lama kembali menganga dalam pikirannya—catatan pelanggaran dari sekolah lama Bumi waktu SMP, surat pemanggilan orang tua, anak-anak lain yang memar wajahnya, biaya ganti rugi dan pindah sekolah baru yang harus dikeluarkan waktu itu. Dan sampai sekarang masih tidak ada penyesalan di wajah itu. Tak pernah ada.

“Ingat, Bumi. Mama gak mau dipanggil ke sekolah lagi,” ucapnya, lebih pelan tapi lebih tajam.

Bumi mengangkat bahu, tanpa niat menjawab.

Indira menoleh pada Dirga yang masih mengunyah biskuit. “Dan jagain adik kamu.”

Baru saat itu Bumi menoleh ke Dirga, perlahan, seperti pemangsa yang menyadari mangsanya disebut.

Senyumnya tipis. Dingin. Mengerikan.

“Tergantung… Hari ini dia bikin kesel atau nggak.”

Melihat senyum itu, Dirga menelan ludah. Biskuit di mulutnya terasa seperti batu.

Bumi menoleh kembali ke layar TV, menyeringai kecil. Seolah terhibur oleh ketakutan yang baru saja ia ciptakan.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • linschq

    suka dengan bagaimana kamu ngebangun ketegangan di awal, adegan di toilet itu intens, tapi tetap terasa realistis. Dialog antar karakter juga hidup dan natural, terutama interaksi geng cewek yang penuh nostalgia masa SMA; kaset AADC dan obrolan ringan itu ngena banget.

    Comment on chapter Pandangan Pertama
  • adiatamasa

    Semangat, ya, kak.

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Perahu Waktu
435      297     1     
Short Story
Ketika waktu mengajari tentang bagaimana hidup diantara kubangan sebuah rindu. Maka perahu kehidupanku akan mengajari akan sabar untuk menghempas sebuah kata yang bernama rindu
Mystique war
430      289     6     
Short Story
The world is in total destruction, what will the powerful sorcerers do?
Dendam
508      366     3     
Short Story
Dulu, Helena hidup demi adiknya, Kiara. Setelah Kiara pergi, Helena hidup demi dendamnya.
Kisah yang Kita Tahu
5790      1741     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
586      259     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Metafora Dunia Djemima
101      83     2     
Inspirational
Kata orang, menjadi Djemima adalah sebuah anugerah karena terlahir dari keluarga cemara yang terpandang, berkecukupan, berpendidikan, dan penuh kasih sayang. Namun, bagaimana jadinya jika cerita orang lain tersebut hanyalah sebuah sampul kehidupan yang sudah habis dimakan usia?
Kenapa Harus Menikah?
92      86     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Kepak Sayap yang Hilang
118      111     1     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Peri Untuk Ale
5685      2329     1     
Romance
Semakin nyaman rumah lo semakin lo paham kalau tempat terbaik itu pulang
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
2434      915     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...