Manusia mudah melupakan yang seharusnya diingat, namun kerap mengingat yang seharusnya dilupakan. Seolah masih ada hal yang belum selesai pada hal yang seharusnya dilupakan itu, sehingga otak bekerja keras untuk terus menyelipkan potongan memori itu ke permukaan. Sayangnya, ingatan itu tak lagi utuh sebab dimakan waktu. Ingatan yang terus terngiang kebanyakan terfragmentasi, menyisakan bagian yang paling menyakitkan untuk terus diingat. Terutama ketika rasa bersalah menyelimuti hati dan tidak pernah mampu memaafkan diri sendiri.
Lucunya, seringkali semua ingatan tidak menyenangkan itu hadir dalam mimpi. Dengan berbagai modifikasinya sampai sang pemilik ingatan tak lagi mengenali, mana yang benar-benar pernah terjadi, dan mana yang ditambah dan dikurangi oleh otak.
Lalu, hulu dari semua itu adalah rasa bersalah dan kebencian pada diri sendiri. Rasa itu juga menimbulkan penyesalan tak berkesudahan yang kembali pada penyalahan diri sendiri.
Terus seperti itu. Menjadi sebuah siklus, ibarat lingkaran setan yang tak berujung. Seperti yang sedang dialami oleh remaja 15 tahun itu.
Malam itu, dengan hening yang hanya dibisiki oleh detik jam, mendadak dipecahkan dengan erangan seseorang di atas kasur.
Orang itu tak lain adalah Taka yang bergerak tak nyaman. Keringat dinginnya keluar dari dahi dan tubuhnya, membasahi baju, bantal, dan seprainya. Karena Taka tak pernah suka memakai selimut, orang dapat melihat dengan jelas bagaimana pergerakan kaki dan tubuhnya, juga tangannya yang mencengkeram seprai dengan kuat. Napasnya terengah-engah. Erangan yang keluar makin keras, diiringi dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya, menuruni bagian pelipis, melesak ke belakang telinga, lalu hilang ditelan bantal yang sudah basah itu. Kini, erangannya juga bertambah dengan isak tangis.
Merasa ranjangnya bergerak-gerak dengan suara erangan yang membangunkan dari tidurnya, Dendra yang berada di atas ranjang Taka terbangun. Ia yang kesal melongok ke bawah, melihat Taka yang sedang tidur sembari menangis dan bergerak-gerak gelisah. Dendra beralih menatap jam dinding. Masih pukul 3 pagi.
“Hei! Bangun! Argh, kamu bangunin aku, tahu nggak!” bentak Dendra sembari melempar bantalnya. Lemparan bantal itu terkena di wajah Taka yang membuatnya terbangun.
Tidak hanya Taka, Cakra dan Elhan juga terbangun mendengarkan bentakan Dendra.
“Woi! Sekarang lo yang bangunin gua! Sialan!” Cakra membentak Dendra. Ia memang sejak tadi sudah nyaris terbangun karena suara erangan Taka. Hanya saja, ia masih bisa tidur lagi, sampai suara bentakan Dendra membuatnya terkejut dan benar-benar terbangun.
“Kenapa lo ngamuk ke gua? Anak sialan itu yang ngebangunin gua!” Dendra balik membentak.
“T-Taka. Kamu nggak apa-apa?” tanya Elhan yang kini berada di kasur Taka. Mengabaikan perdebatan antara Dendra dan Cakra.
Taka menggeleng pelan. Ia yang terbangun karena lemparan bantal dari Dendra langsung menekuk lututnya di pojok kasur, menenggelamkan wajahnya ke dalam dengkulnya. Ia tidak lagi menangis. Lebih tepatnya, ia berusaha untuk tidak lagi menangis. Bahkan meskipun tubuhnya gemetar karena ketakutan dan air mata yang mengalir tanpa bisa ia tahan, remaja itu tetap berusaha menahannya dengan menyembunyikan wajahnya.
Perdebatan Dendra dan Cakra mendadak berhenti mendengar suara Elhan tadi.
Melihat tubuh Taka yang gemetar, Elhan mengambilkan minum di gelas. Ia menyodorkan air minumnya ke Taka. Setidaknya, mungkin dengan minum segelas, remaja itu bisa sedikit lebih tenang dan tidak gemetar lagi.
Taka menerima gelas dari Elhan dengan pelan. Tangannya yang masih berkeringat itu agak bergetar saat memegang gelas itu. Tatapan matanya agak kosong, pikirannya masih belum sepenuhnya sadar. Ia masih merasa linglung dan kebingungan antara kenyataan dan mimpi yang baru saja ia alami. Ia meminum air itu perlahan, meskipun masih ada beberapa tetes yang tumpah dan membasahi celananya. Taka tidak peduli.
Setelah memastikan Taka menghabiskan minumnya, Elhan mengembalikan gelas ke meja dan kembali ke kasur Taka.
“Tolong bantalku, sih! Aku mau tidur!” Dendra yang hendak tidur kembali meminta bantalnya. Elhan menatapnya tanpa ekspresi, sementara Cakra tersenyum miring.
“Nggak usah dikasih, Han! Biar dia turun sendiri. Ambil sendiri!”
Elhan sendiri setuju dengan ucapan Cakra. Hanya saja, Taka memberikan bantal Dendra yang berada tak jauh dari tempatnya tidur. Sepertinya ia sudah mulai mendapatkan kesadarannya, terlihat dari sorot matanya yang sudah bisa lebih fokus.
Dendra menerima bantal itu dengan menepuk-nepuk bantalnya, seolah habis terkena kotoran, lalu ia letakkan di tempatnya lagi. Remaja itu merebahkan tubuhnya, lalu kembali tidur seolah tidak ada masalah.
Di sisi lain, Elhan yang melihat kelakuan Dendra merasa sangat kesal. Ia mengepalkan tangannya erat hingga buku-buku jarinya memutih. Melihat reaksi Elhan, Taka menyentuh tangan remaja itu dan menggeleng. Melarang Elhan berbuat lebih jauh.
“Udah, aku udah nggak apa-apa. Sekarang, kalian tidur aja. Udah malam. Maaf, ya, udah bangunin kalian. Kadang aku suka mimpi buruk, tapi nggak sering, kok.”
Cakra yang ternyata masih memperhatikan dari kasurnya itu menghela napas. Ia mengangguk pelan, menguap sampai matanya berair. Iya, dirinya masih mengantuk.
“Han, tidur! Besok lo sekolah, kan,” ucap Cakra dari atas kasurnya. Ia kemudian memposisikan dirinya, memejamkan matanya kembali, mencoba untuk tidur.
“Nah, sana, kamu tidur. Aku udah nggak apa-apa. Makasih, ya.” Taka juga menyuruh Elhan untuk tidur. Elhan menarik napas, menatap Taka dengan alis berkerut.
“S-serius nggak apa-apa? Kalo masih mau ditemenin, aku temenin. T-tapi, ka-kalau aku nggak gangguin kamu. Kalo aku ganggu, a-aku tidur aja.”
Taka tersenyum tipis. “Kumat nggak pedenya. Aku nyuruh kamu tidur bukan karna ganggu, tapi kaya kata Cakra. Udah malem. Nanti ganggu yang lain, kan. Aku juga mau tidur ini bentar lagi.”
Elhan kembali menatap Taka lekat. Seolah memastikan apakah Taka menarik lagi ucapannya. Taka tersenyum simpul, dan mengangguk. Menegaskan bahwa ia serius dengan perkataannya dan tidak akan menarik apa pun yang sudah ia ucapkan.
Elhan akhirnya mengalah. Ia kembali ke kasurnya, lalu bersiap tidur.
“Taka juga buruan tidur! Masih malem, lo mau begadang?” celetuk Cakra tiba-tiba.
“Iya. Aku tidur. Kamu juga buru tidur. Bay.”
Tidak ada jawaban. Taka kembali merebahkan dirinya, menatap langit-langit ranjangnya yang tak lain adalah bawah kasur Dendra.
Mimpi itu lagi-lagi datang. Ia sudah mati-matian berusaha melupakannya. Sayangnya, rasa bersalah dan penyesalan mengikat ingatan itu kuat. Kehadiran Papanya siang tadi berhasil menjadi pemicu untuknya memunculkan kembali apa yang rupanya belum terlupa itu.
Malam itu, Taka tidak bisa tidur lagi. Setiap kali ia memejamkan matanya, gambaran mengerikan itu muncul dan memaksanya untuk bangun kembali. Taka menyerah untuk tidur. Ia memilih untuk memainkan ponselnya hingga azan subuh berkumandang.