Dengan suara gemetar, Ami mulai menjelaskan, “Bunga dari Kak Axel itu buket pertama aku–buket pertama seumur hidup. Dari dulu aku nggak pernah ngerasa spesial karena nggak pernah dapat hadiah dari orang lain–makanya aku seneng banget. Terus kemarin aku nyamperin kalian satu-satu buat nyari tahu kalian beneran lupa sama aku apa enggak. Aku tuh sedih karena bakal dilupain sama kalian. Setelah mastiin kalian lupa, aku udah ada niat buat nggak nyamperin kalian lagi. Aku nggak benci sama kalian kok. Seumur hidup aku jarang punya temen. Aku nggak pandai sosialisasi–malah biasanya takut kalau ketemu orang. Tapi selama kenal kalian, aku ngerasa punya teman. Aku harus gimana kalau kata maaf nggak cukup? Aku beneran nggak ada maksud buat manfaatin kalian. Aku cuma–”
Aidan menepuk bahu Ami, “Udah, ya? Cukup.”
“Kalau di gue sih Ami udah berusaha jujur,” celetuk Je. “Gue inget pas ngobrol di halte. Ami bilang kalau gue suka dia gara-gara ada sesuatu.”
Pasha menimpali, “Ke gue juga udah jujur kok. Gue sampai ditolak malah. Digantungin sih sebenernya. Sampai akhirnya gue mundur terus Ami ngasih tahu soal Mimpi & Co., tapi waktu itu gue nggak paham.”
Terdengar hembusan napas berat Ron. Dia menyandarkan punggung seraya menengadah melihat langit-langit Mimpi & Co. “Ke gue juga,” katanya.
“Ya iya juga sih Kak Ami emang udah jujur. Tapi kan–” pikir Rian yang tidak dilanjutkan lagi.
Oliver menceletuk, “Apa? Feeling guilty kan lo? Mampus!”
Rian kemudian menggaruk kepalanya dengan frustasi.
Axel bertanya kepada Ami, “Kamu kenapa malah ngomong jujur padahal kan itu mimpi yang kamu mau? Kamu mau dikagumi, dan sekarang kamu punya kita. Kamu bisa aja manfaatin kita, tapi kenapa kamu nggak ngelakuin?”
Ami menjawab, “Aku sadar itu nggak bener. Pak Guska bilang kalau kalian manusia asli yang berasal dari dunia nyata. Gara-gara aku, kalian kayak jadi boneka Mimpi & Co. buat ngabulin mimpi aku.”
Lalu Axel beralih bertanya kepada Pak Guska, “Kenapa pakai manusia dari dunia nyata buat ngabulin mimpi? Mimpi & Co. kekurangan fasilitas apa gimana?”
“Jangan salah!” tegas Pak Guska. “Justru Mimpi & Co. yang membagi keajaiban ke dunia nyata.”
“Asli, Pak! Saya setuju!” seru Oliver yang secara tiba-tiba berdiri dan mengejutkan semuanya. Je segera menariknya agar duduk kembali. Seraya menatap sahabat-sahabatnya, Oliver berkata, “Lu semua sadar nggak sih? Tanpa Ami, kita nggak bakal ngalamin kejadian-kejadian yang walaupun aneh, tapi seru banget. Gue berasa kayak astronot, coy! Gue sampai punya temen alien,” dia menoleh ke arah Ami untuk bertanya, “Namanya siapa, Ami? Masih inget nggak?”
Ami menjawab, “Sablikuk.”
Rian tertawa getir. “Aneh banget namanya ada kikuk-kikuknya.”
“Gue tuh sampai order batu dari luar angkasa, tahu nggak? Dari planet mars kalau nggak salah. Batu itu gue kasih ke Ami. Batunya masih ada nggak, Ami?” tanya Oliver.
Ami menggeleng. “Semua pemberian mimpi udah keserap Mimpi & Co. semua. Bunga pemberian Kak Axel yang harusnya jadi bayaran juga tadinya mau diserap, tapi … ya gitu. Itu yang bikin memori kalian balik. Kata Pak Guska, Mimpi & Co. marah, tapi dari awal aku juga nggak pernah dikasih tahu soal itu.”
“Karena itulah saya mengundang kalian semua kesini agar saya bisa bertanggung jawab,” kata Pak Guska yang merasa mendapat isyarat agar bicara setelah Ami meliriknya.
“Kita bakal dapat kompensasi berapa?” tanya Ron. Pertanyaannya terkesan serakah sehingga menarik tatapan tidak suka dari para sahabatnya. “Apa?” Ron menantang tatapan mereka. “Memangnya adil? Kita semua terlibat, tapi cuma Aidan yang menang. Terlepas perasaan kita palsu atau enggak, yang jelas, saat ini juga kita masih sayang kan sama Ami?”
Ami tanpa sadar mencengkeram lengan Aidan saat Ron tiba-tiba menatapnya tajam. Aidan pun segera memasang perisainya.
Aidan melawan Ron, “Bang! Mentang-mentang patah hati, lo jadi kasar, gitu? Ami udah jelasin, udah minta maaf dan lo masih mau minta kompensasi? Lo mau ambil jalur hukum? Pengacara mana yang mau percaya Mimpi & Co.? Yang bisa masuk ke Mimpi & Co. cuma kita! Lo mau minta bayaran berapa emang? Gue yang bayar!”
“Yakin?” tanya Ron dengan smirk khasnya. Dia kembali bertanya kepada Pak Guska, “Perasaan kita ke Ami bakal bertahan selamanya atau ada cara buat ngakhirin semua ini?”
“Sebenarnya, hukuman ini bisa saja berlangsung selamanya. Tapi karena kesalahan ada di pihak Mimpi & Co. dan kami mengakuinya, maka kami akan memberi pertanggungjawaban berupa tambahan mimpi sampai Ami mendapat barang baru untuk membayar.”
“Gue kasih waktu tiga hari,” tegas Ron kepada Ami.
“Kalau lebih dari tiga hari?” tanya Aidan.
“Ami jadi punya gue.”
Aidan mendesis kesal.
Ron menegaskan, “Nggak adil kan kalau cuma lo yang bahagia? Minimal lo harus sakit hati juga! Di sini siapa yang setuju sama gue?”
Ron melihat teman-temannya yang lain. Oliver dan Rian lekas mengangkat satu tangan.
“Gue setuju sama Bang Ron,” kata Oliver.
“Gue juga!” seru Rian.
“Tapi kita juga mau jadi pacar Ami,” kata Oliver.
“Yak, betul!” seru Rian.
Pasha menggeleng tidak setuju. “Nggak, nggak bisa. Kalian harus pertimbangin perasaan Ami sebelum ngomong kayak gitu.”
“Emangnya dia mertimbangin perasaan kita sebelum kita semua jadi kayak gini?” celetuk Ron pedas.
Kalimat itu membuat nyali Ami semakin ciut. Duduknya merosot sampai ke bawah meja lalu tidak bangkit lagi. Ami bersembunyi di bawah meja untuk menangis. Dia tidak punya tenaga untuk menghadapi mereka lagi. Hanya Aidan dan Pak Guska yang melihat ke bawah meja untuk membujuk Ami keluar. Sedangkan sisanya memojokkan Ron dengan tatapan-tatapan mereka.
Axel menegur selaku yang tertua, “Ron, minta maaf nggak, lo? Gue tahu lo marah, tapi Ami kan udah minta maaf? Coba kalau kita di posisi Ami? Kita juga pasti bakal minta apapun buat dikabulin–apapun selagi nggak ada yang tahu. Tapi dalam hal ini, menurut gue pribadi berdasarkan ingatan gue, meskipun gue termasuk yang menjadi mimpi Ami dan ada di bawah kuasa Mimpi & Co. atas permintaan Ami sendiri, Ami tetep perlakuin gue dengan baik kok. Gue nembak, nggak langsung ditolak, tapi juga nggak diterima. Dengan kata lain, meskipun gue cuma mimpi, tapi Ami tetep memperlakukan gue selayaknya manusia yang punya perasaan. Meskipun gue bisa aja takluk ke dia, tapi dia nggak manfaatin itu. You know what I mean lah.”
“Ami bahkan berusaha ngejelasin meskipun kita nggak ngerti,” sambung Pasha. “Dan … jujur, dengan perasaan gue yang kayak sekarang ini, Ami adalah tipe cewek yang gue suka dan sikapnya yang kayak gitu malah bikin gue tambah naksir. Dimana lagi kita bisa nemu cewek kayak dia? Di cuma mau dikagumi. Dia mau punya pendukung. Dia mau ada yang sayang ke dia.”
“Lo kira gue kayak gini gara-gara nggak sayang?” tanya Ron seraya menoleh ke arah Pasha. “Sha, gue bisa terima kalau ada yang bilang perasaan gue lagi dimanipulasi sama toko aneh ini. Tapi sikap gue yang sekarang, lo pikir nggak dipengaruhi sama toko aneh ini juga? Gue naksir Ami–kita semua naksir dia. Mungkin sekarang ini kita lagi nunjukkin sifat asli kita kalau cewek yang kita taksir ternyata udah punya pacar–dan sialnya, pacar dia adalah sahabat kita sendiri. Sorry kalau gue emang nggak sebaik kalian buat nge-treat cewek yang udah nolak jadi pacar. Orang sayang juga bisa marah!”
Dari bawah meja, Ami melihat Ron beranjak dari kursi lalu melangkah cepat menuju pintu–Ron pergi dari Mimpi & Co.
“Biar gue yang urus,” kata Je yang kemudian pergi menyusul Ron.
Rian mengetuk meja beberapa kali lalu bicara seperti anak kecil, “Kak Ami, keluar, yuk? Bang Ron udah pergi.”
Perlahan Ami pun keluar dari kolong meja dibantu Aidan dan Pak Guska. Namun, dia masih belum berani menatap siapapun untuk menyembunyikan matanya yang sembab. Pak Guska pun segera memberinya kotak tisu dan Ami lekas menerimanya.
“Aku harus gimana?” lirih Ami seraya menyeka air mata. Dia memandang Pak Guska dan Aidan bergiliran.
Aidan bicara seraya tersenyum lembut, “Ami, jangan khawatir. Kalau misalnya temen-temen aku marah ke kamu, kamu masih punya aku sama Pak Guska.”
Oliver tiba-tiba menatap sengit. “Kemarin pas ditanya sahabat atau cinta, lo milih sahabat lho, Dan?”
“Apa iya? Nggak inget gue.”
Kemudian Aidan dan Oliver saling mencibir. Mereka saling melotot satu sama lain. Mereka bertengkar tanpa suara. Axel hanya menatap keduanya lalu menarik napas dalam-dalam seolah hal itu sudah biasa.
“Meskipun sudah berkurang dua orang, mungkin sudah saatnya saya beritahu,” kata Pak Guska yang seketika menjadi pusat perhatian. “Untuk menghibur para mimpi yang sakit hati, Mimpi & Co. akan memberi kompensasi kepada setiap mimpi termasuk Aidan. Kompensasinya berupa keterlibatan mimpi. Inilah kenapa kalian diundang kemari.”
“Kompensasi mimpi?” tanya Ami.
Pak Guska mengangguk.
“Maksud Bapak, kita bakal ngerasain mimpi buat mengalihkan sakit hati kita?” tanya Pasha.
Pak Guska mengangguk lagi.
“Boleh request nggak, Pak?” tanya Rian.
“Tidak bisa, tapi kami bisa mengembalikan mimpi lama kalau kalian mau. Kalian mau jadi absurd lagi?”
“NGGAK!” Axel dan Pasha menyahut serentak.
Selanjutnya terdengar suara Oliver yang tengah menyeruput cokelat panasnya sampai ke tetes terakhir. Lalu ia sodorkan gelas kosongnya kepada Pak Guska.
“Enak banget, Pak. Boleh nambah?” tanyanya.
Sekarang yang terlibat Mimpi & Co. tidak hanya Ami saja. Pak Guska telah menyatakan bahwa besok pagi mimpi akan kembali dimulai–tepatnya setelah semuanya bangun tidur di esok hari. Kata Pak Guska, jika esok hari ada keanehan, maka jangan heran karena itu mimpi. Pak Guska juga memberitahu bahwa mimpi yang akan datang mungkin akan naik level karena sebagai permintaan maaf dari Mimpi & Co., dunia nyata akan diselimuti mimpi yang lebih kuat dari sebelumnya. Semuanya tidak sabar, tapi Ami belum berhenti merasa bersalah.
Malam harinya, Ami menceritakan segalanya di buku diari. Keresahannya, ketakutannya, kekhawatirannya, semua ia tumpahkan. Air matanya bahkan sempat menitik di halaman buku dan memudarkan beberapa kata. Ia buru-buru menyeka air matanya saat mendengar ponselnya berdering–Aidan menghubunginya.
“Halo, Kak Ai.”
“Kamu nangis lagi? Suara kamu agak serak.”
Ami diam karena tidak ingin berbohong lagi. Dia sadar, sedikit kebohongan ternyata bisa membuat segalanya terasa rumit. Ami menjawab jujur dengan suara lirih, “Iya.”
“Kenapa?”
“Nggak bisa berhenti ngerasa bersalah. Tiap ketemu Kak Ai sama temen-temen yang lain, rasanya aku mau minta maaf terus. Gara-gara aku, mereka jadi terjebak di Mimpi & Co. Aku paling ngerasa bersalah sama Kak Ai. Kak Ai bukan mimpi. Harusnya Kak Ai nggak terlibat. Maaf.”
“Hei … kamu nggak harus minta maaf sesering itu. Kamu udah ngerasa bersalah dan minta maaf, itu sudah sangat cukup. Pak Guska juga udah bilang kalau kamu nggak sepenuhnya salah di masalah ini, kan?”
“Iya sih, tapi tetep aja aku biang keroknya.”
“Kamu harus tahu, Ami. Kamu boleh bernapas tanpa ngerasa bersalah. Kamu boleh ada tanpa harus meminta izin siapapun. Kamu berhak sembuh dari rasa bersalah itu. Luka yang terus kamu buka ulang, nanti sulit sembuh lho. Padahal kamu pantas untuk tenang. Kadang, memaafkan diri sendiri adalah bagian penting dari meminta maaf. Aku sama temen-temen udah maafin kamu, tapi aku harap, kamu juga bisa maafin diri kamu sendiri, ya? Kamu nggak selamanya tinggal di hari kemarin dimana kamu ngelakuin kesalahan, Ami. Kamu boleh banget pulang ke diri kamu yang sekarang.”
Mendengar itu, Ami justru semakin terisak.
“Eh, kok tambah nangis?”
Ami menjawab dengan suara parau, “Sekarang aku nangis terharu kok. Aku suka Kak Ai yang ngomong gitu. Makasih ya, Kak? Jarang banget ada yang ngomong gitu ke aku. Aku jadi ngerasa dipeduliin.”
“Hei … aku emang peduli sama kamu. Kan aku pacar kamu.” Aidan tiba-tiba memelankan suaranya, “Eh, keceplosan. Oliv sama Rian bisa ngamuk kalau dengar aku bilang kamu pacarku. Mereka bakal ngatain aku pamer habis itu aku didemin. Pindah kost-an aja kali, ya?”
Ami terkekeh. Akhirnya, Aidan berhasil membuatnya tertawa.
[]