Ami nyaris tidak sanggup bangun pagi. Dia pikir dia sudah bangun dari mimpi–ternyata belum. Ia harap yang semalam hanya mimpi, tapi ternyata bukan. Pagi ini dia mendapat pesan dari Aidan yang mengatakan bahwa dia akan datang menjemputnya sebelum berangkat kuliah. Sejujurnya, Ami senang karena ada pria nyata yang datang menjemputnya–dan pria nyata itu adalah pacarnya. Namun, Ami masih memiliki beberapa ketakutan. Dia takut bertemu mimpi.
Aidan datang berjalan kaki dan memberitahu bahwa motornya ia titipkan di suatu tempat. Ami pun melewati gang bersama Aidan dan langkah mereka serentak berhenti di depan pintu Mimpi & Co. Seperti Pasha, Aidan ternyata melihatnya juga.
“Itu … Mimpi & Co.?” tanya Aidan kepada Ami.
Ami hanya menjawab dengan anggukan kepala. Selepas kuliah nanti, Ami harus mengundang semua mimpi ke sana. Ami tidak siap, tapi dia merasa punya kewajiban untuk melakukannya. Saat melanjutkan perjalanan menuju kampus, mereka berpapasan dengan Axel yang baru membuka kafe. Setelah tanpa sengaja tatapan mereka bertemu, Axel lekas membuang muka dan masuk ke kafe begitu saja. Keabsurdan Axel sudah hilang, dan hari ini, Ami merasa menjadi perempuan paling jahat di dunia. Ami terkejut saat Axel tiba-tiba keluar dari kafe dan menyodorkan sepotong sandwich padanya.
“Jaga-jaga kalau kamu belum sarapan,” kata Axel.
Karena tidak ingin mengecewakan Axel, Ami pun menerimanya. “Makasih,” ucapnya.
“Buat gue mana?” tanya Aidan.
Axel menjawab ketus seraya berbalik masuk ke kafe, “Nggak ada!”
Ami menawari Aidan untuk membagi sandwich-nya menjadi dua, tapi Aidan menolak. Pikir Aidan, Axel akan kecewa jika tahu. Akhirnya, Ami menghabiskan sarapannya sendiri.
Ami dan Aidan berpisah setelah Ami memasuki studio lukis. Di sana, Ami mendapat masalah baru: Rian ternyata menunggunya, berdiri di pintu loker milik Ami.
“Aneh. Kemarin gue lupa sama lo. Terus bangun-bangun, gue tiba-tiba ingat lo. Ini artinya gue harus merjuangin lo sampai jadi jodoh apa gimana?” kata Rian.
Ami merasa tidak punya tenaga untuk meladeni Rian yang entah bercanda atau tidak.
“Rasanya, gue udah kayak orang gila,” tambah Rian. “Putusin cowok lo sebelum gue benar-benar gila! Temuin gue sama dia! Mau gue ajak berantem!”
Rian adalah salah satu yang belum tahu soal Mimpi & Co. Akan memakan banyak waktu jika Ami menjelaskannya sekarang karena Rian juga pasti butuh waktu untuk percaya. Kehadiran dosen seni menyelamatkan Ami. Rian segera mundur setelah ditanya.
“Kamu tampak asing. Apa kamu mahasiswa saya?”
Rian pergi tanpa menjawab. Tidak sopan, tapi Ami tahu kalau dia hanya sedang marah. Setelah ini Ami akan menyegarkan pikirannya dengan melukis. Mata kuliah pertama pada hari ini adalah melukis bebas. Ami melukis ikan paus berwarna ungu yang terbang di angkasa.
Setelah melewati tiga mata kuliah, Ami pergi ke Mimpi & Co. lebih dulu karena kuliah Aidan belum selesai. Di sana, ternyata sudah ada Pasha dan Axel yang tengah mengobrol dengan Pak Guska. Ami menyapa dengan canggung lalu Pak Guska mempersilakan masuk dan menepuk kursi di sampingnya–mengajak Ami duduk di sana. Ami mendapati kursi pengunjung sudah bertambah–dari empat menjadi delapan. Meja pun sudah diganti dengan yang lebih besar.
Axel ternyata sudah diberitahu. Tampak sulit percaya, tapi menyadari dirinya berada di sebuah toko aneh yang hanya dapat dilihat oleh beberapa yang terlibat, dia pun tidak punya pilihan untuk tidak percaya. Pasha memberitahu kalau Ron dan Je akan datang sebentar lagi–Pasha sudah mengirim lokasi kepada mereka. Dan saat keduanya akhirnya tiba, mereka bingung setengah mati. Mereka berani masuk setelah melihat sahabat mereka ada di dalam ruang di balik pintu ungu aneh yang hanya sebesar sela-sela bangunan, namun dibaliknya terdapat ruang yang lebih luas. Setelah mereka masuk dan duduk, satu hal yang paling Ami hindari adalah sorot mata Ron.
Ami hanya diam saat Pasha membantu menjelaskan semuanya. Penjelasan Pasha dan Pak Guska saling melengkapi satu sama lain. Sedangkan Ami … masih tidak berani menatap siapapun.
Aidan menjadi yang terakhir datang bersama Oliver dan Rian yang tidak kalah bingung. Selain toko aneh yang tiba-tiba muncul, keberadaan Ami di sana menjadi yang paling dipertanyakan. Penjelasan pun diulang kembali. Semuanya diberitahu apa yang terjadi termasuk status Ami dengan Aidan–dan tentu saja itu mengecewakan para mimpi. Mereka kecewa, tapi tidak sanggup memaki–karena rasa cinta mereka kepada Ami masih Mimpi & Co. tanamkan di hati masing-masing mimpi. Ami sedikit merasa aman karena ia duduk di antara Pak Guska dan Aidan yang melindunginya dari tuduhan yang mungkin muncul. Ami merasa menjadi tersangka yang berhadapan dengan para korban.
Semuanya duduk, tapi Ami masih tidak berani menatap mereka satu persatu. Satu tangannya meremas tangan Aidan untuk meminta perlindungan. Aidan terus berbisik dan meyakinkannya untuk berani menghadapi mereka. Namun, saat Ami mencoba menatap Oliver, pria itu tersenyum hangat seraya melambaikan tangan padanya. Namun, saat menatap Ron, pria itu justru menatapnya tajam. Ami lekas menunduk kembali dan tidak berani menatap siapapun lagi. Saat Ami mencoba menatap salah satunya lagi, dia mendapati Je tengah tersenyum padanya–senyum yang membuat Ami semakin merasa bersalah.
Pak Guska menjelaskan mimpi Ami termasuk alasan kenapa mereka semua terlibat. Axel dan Pasha menjadi yang paling banyak bicara dengan Pak Guska. Sisanya hanya menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang sepertinya tidak akan pernah cukup. Saat Aidan yang bicara, seringkali mereka berusaha memotong dan tidak memberi kesempatan. Aidan benar-benar disudutkan karena menjadi pacar Ami.
Setelah semuanya dirasa cukup jelas, keheningan pun mengisi suasana. Semuanya diam berpikir dengan perasaan kecewa. Tampaknya mereka masih sibuk mencerna segalanya yang sangat di luar nalar. Mereka sulit percaya, tapi ada dorongan nyata untuk memercayai melalui kenangan aneh masing-masing yang mereka miliki. Pertanyaan Rian kepada sahabatnya, datang menepis sunyi.
“Emang memori kalian sama Ami seaneh apa sih? Punya gue kok kayaknya normal-normal aja? Yang paling aneh cuman battle guitar sama nggak tahu siapa yang panggungnya bisa naik level.”
Je menjawab dengan bertanya, “Lo pernah nggak pergi ke Amusement Park yang Cuma ada semalam doang. Besoknya ngilang.”
Rian menggeleng.
Oliver turut bertanya, “Pernah ketemu alien sampai terbang ke luar angkasa nggak?”
Rian menggeleng. Dia menatap Axel dan bertanya, “Lo apa, Bang?”
Sambil menangkup wajahnya dengan kedua tangan, Axel menjawab, “Kegantengan gue bersinar.”
“Dih!” Rian mencibir.
“Serius!”
“Sumpah?” Je tidak percaya.
Axel mengangguk penuh percaya diri.
Rian beralih menatap Ron dan kembali bertanya, “Lo?”
Ron menjawab malas-malasan, “Tanya aja sama tuh cewek!” Dia menunjuk Ami dengan lirikan mata.
Ami panik saat semua mimpi menatapnya. Apalagi saat Rian tiba-tiba menudingnya.
“Lo dari tadi kok diam aja? Cari aman ya, Kak? Padahal kan lo biang keroknya.”
Ami yang hampir menangis hanya bisa berucap, “Sorry …”
Axel yang sejak tadi sibuk berpikir, akhirnya mengutarakan isi pikirannya, “Kalau kita terlibat Mimpi & Co. gara-gara kriteria yang Ami tulis sesuai sama kita, terus kenapa Ami justru milih Aidan? Bukannya lebih suka sama yang kayak kita? Gara-gara cuma Aidan yang bukan mimpi, kamu pilih dia?” kalimat terakhir itu ia tujukan kepada Ami.
Rian kembali menceletuk pedas, “Wah! Parah lo, Kak! Lo nerima Aidan gara-gara kasihan doang, kan? Aidan, putusin dia, Dan! Apa-apaan cewek kayak gini. Mending cewek lo buat gue!”
Aidan lekas membalas, “Lo gilaaa … !”
“Cewek lo bikin gue gila … !!”
“BERISIK!” seru Je seraya menggebrak meja.
Oliver menjitak kepala Je. “Lo sama aja berisik!”
Pasha turut bersuara untuk membela, “Jangan mojokin Ami gitu dong? Kan udah diceritain tadi kalau Ami punya alasan? Lagian bullying itu kan masalah serius? Harusnya nggak heran kalau Ami pakai cara kayak gini. Lagian Ami juga nggak tahu kalau masalahnya bakal sampai serumit ini?”
Ron menentang argumen itu dengan cara arogan khasnya, “Lempeng amat lo, Sha? Sadar nggak sih kalau dari tadi Aidan terus yang dipojokin, tapi kalau Ami langsung dibela? Mentang-mentang perasaan lo masih suka sama dia, terus lo lupa kalau masalah ini–masalah perasaan kita ini–semuanya berasal dari dia?”
Kemudian hening dan kepala Ami menunduk semakin rendah. Meskipun diucapkan dengan cara blak-blakan, tampaknya semuanya setuju dengan argumen Ron.
“Bener sih,” kata Axel. “Tapi yang bikin gue makin kecewa, katanya Mimpi & Co. jadi error gara-gara Ami bayar pakai bunga pemberian gue.” Dia melanjutkan seraya menoleh ke arah Ami, “Itu artinya bunga dari aku itu sangat penting, kan? Buktinya sampai keterima Mimpi & Co. sebagai bayaran. Terus kenapa malah milih Aidan? Apa aku nggak sepenting bunga yang aku kasih ke kamu?”
“Bang,” panggil Je. “Gue paham lo kecewa sama Ami, soalnya lo masih ada rasa sama dia. Denger nggak kata Ron tadi? Perasaan kita tuh lagi diguna-guna sama Mimpi & Co. Ami pasti mertimbangin itu. Ngapain nerima cinta dari seseorang yang ujung-ujungnya bakal ngelupain dia? Gue yakin Ami juga ngerasa berat kalau dilupain sama kita-kita. Kemarin gue sama Pasha ketemu Ami di tempat kopdar kita yang biasa itu lho.” Dia beralih menatap Ami untuk bertanya, “Ami datang kesana buat ketemu kita, kan?”
Ami mengangguk kemudian Ron merespon dengan senyum kecut.
“Berarti datang ke fakultas gue juga sengaja?” tanya Ron, “Gue tanya. Buat apa? Jawab!”
Pasha yang duduk di samping Ron segera menyikutnya dan menegur, “Pelan-pelan nanyanya.”
Aidan turun tangan menghadapi Ron, “Lo nanya apa ngelabrak sih, Bang? Seneng lo mojokin cewek? Gue juga tanya ini. Jawab!”
Ron buang muka karena malas menanggapi.
[]