Untuk Gilbert,
Kalau kamu ada di dekatku saat ini, mungkin wajahmu udah lebam sekarang. Bisa-bisanya kamu meninggalkan aku seperti itu.
Tapi, bisa-bisanya aku masih menulis dan membalas suratmu.
Aku bukan seorang penulis. Belum. Dan aku membenci diriku yang masih mengingat bagaimana kamu selalu mendukung mimpi-mimpiku (yang sepertinya nggak masuk akal).
Apa maksud kamu soal pustakawan yang menghilang itu? Kamu benar-benar melihatnya empat tahun yang lalu?
-Anne
Aruna menghela nafas. Surat balasannya sudah ia letakkan di halaman 212 buku Anne of Green Gables, seperti biasa. Kakinya melangkah lagi, menelusuri rak-rak sambil mendorong troli berisi buku-buku.
Saat Aruna selesai menyusun buku dan hendak mengambil tumpukan buku lain di meja depan, mata bulatnya menangkap sosok Adam di meja resepsionis, sedang meng-scan kartu tanda anggota perpustakaan. Mata Adam menangkap tatapan Aruna dan ia langsung tersenyum melihat gadis itu. Adam menunjuk tasnya, mungkin mengatakan 'aku mau naruh tas dulu', dan Aruna hanya mengangguk kecil.
Hari ini hari Sabtu. Sudah lewat dua minggu sejak terakhir kali ia, Adam, dan Evan membahas kasus Tante Sandrina. Dan progres mereka berjalan sangat lambat. Evan sibuk dengan kuliah dan penyelidikannya sendiri, tapi tidak membuahkan hasil. Aruna dan Adam juga sibuk dengan perkuliahan mereka dan penyelidikan mereka di perpustakaan berujung buntu. Mereka menemukan beberapa kutipan dari buku Anna Karenina yang ditulis ulang oleh Tante Sandrina. Namun, tidak banyak yang bisa diambil dari sana. Bisa saja beliau menyukai kutipan-kutipan tersebut dan mencatat ulang karena itu adalah buku milik perpustakaan.
Selain dari buku tersebut, ada beberapa judul buku yang diingat Aruna pernah disebutkan oleh Tante Sandrina. Tapi, Aruna tidak dapat menemukan buku-buku tersebut. Barangkali bukunya memang tidak ada di Perpustakaan Lentera.
"Kok nggak nungguin aku?" Adam pura-pura sedikit merengut sembari menyusul Aruna yang sedang mendorong troli yang penuh dengan buku. Bahkan Aruna tidak bisa melewatkan wajah tampan Adam, walaupun wajah cowok itu sedikit tertekuk .
"Kamu kan datang sebagai pengunjung. Sedangkan aku kerja. Aku nggak boleh santai dan nungguin kamu," ujar Aruna. Tangannya tiba-tiba diturunkan dari dorongan troli dengan lembut, dan tangan Adam mengambil alih di troli. Aruna sedikit terkejut. Lagi-lagi jantungnya berdegup tidak karuan.
"Ngapain kamu? Ini pekerjaan aku," tanya Aruna heran.
"Iya, aku tahu. Tapi biarin aku yang dorong dulu. Berat banget ini. Nanti kamu tinggal susun di raknya. Oke?" Adam tersenyum dan memalingkan wajahnya ke depan. Aruna mengangguk kecil. Ia tersipu tapi Adam tidak memperhatikan hal itu.
"Kita ke rak bagian mana?" tanya Adam.
"Ini buku-buku sains. Raknya ada di lantai dua."
"Oke. Meluncur ke lantai dua," kata Adam ceria. Aruna diam-diam menatap wajah Adam dari samping. Rahangnya, hidungnya yang mancung, dan alis Adam yang tebal. Sadar sedang diperhatikan, Adam menatap balik dan tersenyum. Aruna langsung membuang muka, membuat senyum Adam makin lebar.
"Oh, iya. Kemarin kamu baca buku tentang kardiologi. Ada anggota keluarga kamu yang sakit jantung?" tanya Aruna. Adam tahu gadis itu hanya mencoba mengalihkan topik agar Adam tidak membahas soal Aruna yang ke-gap sedang memperhatikan cowok itu.
"Iya. Papa aku," jawab Adam.
Suara Adam tidak menyiratkan kesedihan akan fakta bahwa papanya menderita sakit jantung. Hanya, nada yang menyiratkan penerimaan. Adam yang mendorong troli langsung menatap Aruna lagi. "Papa aku udah meninggal, Na."
"Oh, ya ampun. Maaf, aku nggak tahu," kata Aruna sedih. Ia sendiri tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa kehadiran papanya.
Adam menggeleng. "Nggak apa-apa. Kejadiannya udah lama. Empat tahun yang lalu," Adam menatap tumpukan buku di troli. "Aku masih sedih karena tiba-tiba aja papa udah nggak ada. Tapi, aku mulai bisa menerima. Cepat atau lambat, manusia akan berpulang pada-Nya. Dan itu nggak terelakkan." Adam tersenyum simpul.
"Aku juga harus kuat. Masih ada Mama. Kalau aku ikut terus-terusan bersedih, nanti mamaku malah makin sedih." Aruna menatap cowok itu. Tidak pernah gadis itu sangka kalau di balik sosok yang tengil itu ada pribadi yang mencoba menjadi lebih kuat demi ibunya. Aruna tersenyum.
"Semenjak papa nggak ada, mamaku buka usaha bakery lagi. Mama adalah sosok yang kuat. Ia berusaha sekuat tenaga supaya aku bisa sekolah tinggi-tinggi." Nada bangga menyelimuti suara Adam. "Kadang, aku ikut bantu di bakery mamaku," jelas Adam.
"Oh, karena itu kamu jarang kelihatan di perpustakaan seminggu terakhir?" tanya Aruna.
Adam menyeringai. "Kamu nyariin aku?"
"Idih. Enak aja," Aruna mencibir. "Soalnya hari-hariku jadi lebih tenang, makanya aku ingat."
Adam tertawa lepas dan lengannya langsung dipukul oleh Aruna. "Jangan berisik," tegur gadis itu. Adam hanya meringis.
"Maaf," kata Adam pelan. "Lain kali, main ke bakery mamaku, Na. Cicipin kue-kue buatan mamaku."
Aruna langsung mengingat rasa cookies yang diberikan Adam beberapa minggu yang lalu. "Mama kamu emang pinter banget sih, bikin kuenya. Cookies yang waktu itu kamu kasih ke aku enak banget," kata Aruna bersemangat.
Mata Adam berbinar. "Beneran? Menurutmu enak?"
Aruna mengangguk. Sesampainya di lift, Adam tiba-tiba berkata, "Cookies hari itu, aku yang buat." Aruna yang berdiri di sebelahnya langsung menatap wajah cowok itu. Adam kelihatan malu-malu, tapi senyumnya masih mengembang di wajahnya yang tampan.
Aruna tertawa kecil. "Seriusan? Aku nggak percaya kalau kamu yang buat cookies-nya."
"Serius." Adam menatap balik Aruna. "Banyak pesanan waktu itu, jadi Mama minta aku buat sebagian pesanan cookies. Yang aku kasih ke kamu, itu aku yang buat."
"Enak banget, lho," puji Aruna tulus.
Mata Adam berbinar. "Sesekali ke bakery mamaku, yuk. Nanti aku buat lagi cookies-nya. Kamu bisa request rasa apa aja."
"Gratis, tapi, ya?" Aruna menyeringai, setengah bercanda.
"Iya. My special treat for you," Adam tersenyum pada Aruna. Gadis itu langsung mengalihkan wajahnya. Pas juga saat pintu lift terbuka. Aruna cepat-cepat berjalan keluar. Senyum Adam masih terlukis di wajah cowok itu. Aruna tidak tahu kalau Adam merasa di atas awan saat Aruna memuji skill baking cowok itu.
***
Aruna mengecek kotak masuk e-mail. Masih belum ada pemberitahuan apakah naskah buku anak yang ditulisnya diterima atau ditolak oleh penerbit. Sudah hampir sebulan. Penerbit itu sendiri mengatakan di laman komentar media sosial kalau naskah penulis diterima dan akan diterbitkan, maka paling lambat akan dikabari dalam dua bulan. Entah kenapa, waktu terasa berjalan begitu lambat. Aruna menghela nafas dan memeluk tabletnya sambil berguling di tempat tidur.
Lima belas menit kemudian, mama Aruna memanggil untuk makan malam. Tidak biasanya ia dan mamanya makan malam bersama. Karena merasa aneh, Aruna menyiapkan diri. Biasanya, saat makan malam bersama mamanya, selalu ada hal-hal yang cukup menakutkan (setidaknya bagi gadis itu) yang akan dibahas oleh sang mama.
Biasanya, Aruna yang memasak menu makanan sehari-hari. Tapi kali ini, mamanya sudah memasak ayam kecap dan sambal terasi.
"Mama udah masak? Mama udah ngerasa baikan hari ini?" tanya Aruna. Mama Aruna mengidap penyakit autoimun. Memang belakangan, penyakit mamanya sudah jarang kambuh karena kesehatan dan segala sesuatu yang dimakan mamanya dijaga ketat.
"Udah," jawab mamanya singkat. Mereka duduk dan makan dalam hening. Papa Aruna masih bertugas di luar kota. Hampir setiap hari, hanya ada Aruna dan mamanya. Kakak Aruna sudah berkeluarga dan jarang berkunjung karena sang kakak juga bekerja sebagai dokter umum di sebuah rumah sakit swasta.
Untuk beberapa lama, hanya ada denting sendok makan dengan piring yang terdengar sampai mamanya berkata, "Teman Mama ada yang kerja di dinas pendidikan. Tante Asih, kamu ingat kan?"
"Ingat," sahut Aruna pelan. Tante Asih yang tiba-tiba disinggung membuat perasaan Aruna menjadi tidak enak. Ia merasa bahwa sesuatu yang tidak ia sukai akan muncul sebentar lagi dari mulut sang mama.
"Kamu kuliah yang bener. Nanti kalau udah tamat, bisa Mama minta tolong ke Tante Asih untuk ngasih rekomendasi sekolah tempat kamu mengajar."
Aruna tidak menjawab, hanya mengangguk kecil.
"Kuliah kamu lancar kan?" tanya mamanya.
"Lancar, Ma."
"Bagus. Selalu tingkatkan pengetahuan dan skill kamu. Dan jangan pacar-pacaran. Itu bakal mengganggu kuliahmu," tegas mamanya. Aruna menggenggam sendok sedikit lebih kencang.
Lagi-lagi, Aruna hanya mengangguk kecil dan menyuap makanannya. Lauk ayam kecap sudah terasa hambar sejak mamanya mengingatkan akan pekerjaan yang tidak diminati Aruna. Menjadi guru.
Aruna berandai-andai. Misalkan saja mamanya tahu bahwa Aruna diam-diam masih meneruskan impiannya menjadi seorang penulis, apakah ia akan mendapatkan lebam di tangannya seperti waktu ia kelas delapan dulu?
***
Sesuatu yang dingin menempel di pipi Aruna saat ia tengah melamun di gazebo gedung FKIP. Gadis itu langsung meringis. Terkejut dengan suhu dingin yang menempel di pipinya.
"Melamun aja," komentar Dea yang masih menempelkan sesuatu yang dingin–ternyata segelas cokelat dingin.
"Bukan melamun, tapi lagi memikirkan hidup."
"Berat banget. Baru juga jam sepuluh pagi," kata Dea. Mereka tengah menunggu kelas intermediate writing yang akan berlangsung di jam sebelas kurang sepuluh menit nanti.
Aruna menghela nafas dengan dramatis. "Yah, mau gimana lagi. Aku hidup di dunia yang nggak bisa aku kendalikan. Kayak hidup, tapi nggak hidup," kata Aruna murung.
"Mama kamu lagi?" tanya Dea. Aruna mengangguk. Dea tahu segala tentang mama Aruna dan sifat beliau yang suka mengekang.
"Mama sering ngingetin aku tentang jadi guru akhir-akhir ini," keluh Aruna. Dea juga tahu bahwa mama Aruna memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap anak bungsunya. Kakak Aruna menjadi dokter. Mamanya menentang keras Aruna yang ingin menjadi penulis. Setidaknya, Aruna harus menjadi guru dan menjadi PNS. Tipikal impian orang tua di Indonesia. Kalau PNS, dianggap sukses.
"Yang sabar, Na. Coba kamu bicarain ke papa kamu soal mimpi kamu ini. Barangkali, papa kamu mendukung dan mau diskusi soal hal ini ke mama kamu." Dea memberi saran.
"Bakal aku pikirin. Makasih ya, De." Aruna tersenyum.
***
Tidur siang Aruna diganggu oleh Adam yang meneleponnya sampai sepuluh kali saat gadis itu tidak kunjung mengangkat. Adam mengirim pesan melalui WhatsApp yang mengatakan untuk segera menemuinya di Perpustakaan Lentera.
"Duh, kenapa harus hari ini juga sih?" gerutu Aruna pada Adam yang sedang berdiri di depannya. Mereka berada di spot favorit Aruna untuk menggambar di perpustakaan.
Adam nyengir tanpa rasa bersalah. Senin sore ini kelas mereka di kampus dibatalkan yang mengakibatkan mereka bisa pulang lebih cepat. Aruna memanfaatkan waktu tersebut untuk tidur siang. Sementara Adam langsung melancong ke Perpustakaan Lentera dan mengulik informasi pada salah satu staff perpustakaan.
"Coba sebut lagi buku-buku yang pernah dibahas Tante Sandrina ke kamu," pinta Adam.
Aruna heran karena hal ini sedikit tiba-tiba. "Jurassic Park, The Scarlet Letter, And Then There Were None..." Aruna mengangkat bahu dan tidak melanjutkan. "Kenapa?"
"Aku tadi iseng nanya ke salah satu staff–Mbak Anggi–tentang buku And Then There Were None. Katanya sempat ada buku itu, tapi udah nggak dipajang di rak lagi."
"Nah, itu aneh. Buku itu kan salah satu buku terbaik Agatha Christie sepanjang masa. Buku lain aja ada, kenapa yang itu nggak. Ya kan?"
"Betul. Dan Mbak Anggi bilang dia malah pernah lihat copy buku itu di gudang belakang." Gudang belakang adalah tempat disimpannya buku-buku lama dan buku yang tidak lagi relevan.
"Dan, coba tebak," bisik Adam bersemangat. "Mbak Anggi bilang, dia lihat buku itu dalam tumpukan dengan buku-buku yang pernah disebutkan sama Tante Sandrina."
"Itu... mencurigakan," kata Aruna pelan. Tidak hanya fakta bahwa buku-buku tersebut terkenal dan seharusnya dipajang di rak, tapi juga tempat buku-buku itu yang seperti dikelompokkan dengan sengaja.
"Mau ke gudang bareng?" ajak Adam.
Aruna berpikir sebentar. Akses ke gudang cukup sulit. Kuncinya ada di ruang Bu Fitri. Beliau memang sedang keluar, tapi ada Pak Agung yang sering sliweran di lorong ruangan Bu Fitri.
Akhirnya, Adam mengalihkan perhatian Pak Agung dengan mencoba bertanya tentang satu judul buku dan apakah kira-kira judul tersebut bisa dihadirkan di Perpustakaan Lentera. Sementara itu, Aruna menyelinap ke ruangan Bu Fitri. Aruna bersyukur ruangan sekitar ruangan Bu Fitri tidak terdapat CCTV. Tapi tetap saja, jantung Aruna serasa copot saat mendengar sedikit suara, mengira dirinya tertangkap.
Kunci sudah di tangan Aruna. Lalu, ia dan Adam mengendap-endap lewat pintu samping menuju ke gudang yang terletak di bagian timur gedung perpustakaan.
Dari sekian banyak kunci, dipilihlah kunci dengan label 'gudang', dimasukkan ke lubang kunci, dan Aruna memutar dengan pelan. Suara kecil 'klik' menggema, membuat Aruna sedikit terlonjak. Adam di samping kirinya melihat sekeliling. Dirasa aman, mereka masuk ke gudang dan menekan sakelar lampu di sebelah pintu. Lampu menyala, memperlihatkan suasana gudang dan bau khas buku-buku tua dan bau apak. Baru saja kedua remaja tersebut menelusuri rak-rak, ada bunyi kunci diputar.
Adam dan Aruna berpandangan. Mereka langsung tahu ada sesuatu yang tidak beres. Mereka berlari ke pintu gudang. Adam lebih cepat. Saat cowok itu meraih gagang pintu, pintu tidak mau terbuka. Mereka terkunci di dalam. Seseorang mengunci mereka dari luar.
Similar Tags

