2021
Untuk Anne,
Aku senang sekali menemukan orang yang suka membaca buku. Apalagi, di zaman sekarang ini, sudah jarang anak muda yang gemar baca buku.
Kapan-kapan, aku ingin kita membagi daftar buku kesukaan kita. Aku penasaran apakah kita punya selera yang sama.
- Gilbert
———
2025
Tidak pernah dalam hidupnya Aruna merasa sepanik ini–kecuali saat mamanya mulai bersikap kasar pada dirinya–, dan juga hari ini.
"Kita terkunci," ujar Aruna. "Dam, kita terkunci di sini." Gadis itu mulai panik dan mulai menggoyangkan gagang pintu berulang kali.
"Na. Na, tenang dulu," sahut Adam dengan kalem.
"Gimana bisa tenang? Ada yang ngunci kita di sini."
"Aku tahu. Tapi bukannya karena itu kita harus tenang? Ada yang tahu kita masuk ke sini. Mungkin salah seorang staff ngira ada yang sembarangan buka pintu gudang, terus dikunci lagi?" jelas Adam.
Aruna baru saja hendak berteriak meminta tolong saat ia ingat bahwa dirinya dan Adam telah memasuki gudang tanpa izin. "Terus kita harus gimana dong?"
Adam berpikir sebentar. "Mbak Tantri bisa dipercaya nggak?"
***
"Cuma sekali ini aku mau nolongin kalian," ujar Mbak Tantri saat Aruna dan Adam berhasil mengembalikan kunci-kunci ke ruangan Bu Fitri dengan aman. Kedua remaja tersebut berulang kali mengucapkan terima kasih pada Mbak Tantri. Untungnya mereka berdua membawa handphone masing-masing. Dan walaupun jaringan sedikit sulit, Aruna berhasil menelepon Mbak Tantri dan meminta tolong perkara mereka yang terkunci di gudang. Kunci gudang masih ada di lubang kunci pintu. Namun, seseorang memang mengunci dari luar.
"Kalian ngapain ke gudang?"
"Mau nyari buku-buku yang pernah disebutkan mendiang Tante Sandrina, Mbak," jawab Adam dengan enteng. Aruna langsung melotot pada cowok itu. Adam membalas dengan tatapan memangnya-kenapa-?-Mbak-Tantri-sepertinya-bisa-dipercaya-kok.
"Emangnya kenapa dengan buku-buku itu?" tanya Mbak Tantri heran.
"Emm, nggak ada, Mbak. Cuma pengen mengenang Tante Sandrina lewat buku yang dia suka," kata Aruna.
"Oh. Bagus cari bukunya di perpustakaan lain aja. Soalnya kalau ketahuan masuk gudang tanpa izin, kalian bakal dimarahi, lho. Apa lagi kamu, Aruna," tegur Mbak Tantri. Aruna langsung menunduk dan meminta maaf.
"Tapi Mbak nggak bakal ngaduin Aruna kan, Mbak? Kalau mau ngadu, aduin saya aja Mbak." Adam menawarkan diri.
"Duh, romantis banget." Mbak Tantri menggoda kedua remaja itu.
"Kasihan, Mbak. Nanti Aruna nggak ada kerjaan sampingan, terus malah jadi stress lagi. Mbak tahu nggak, kalau Aruna stress, saya yang sering jadi tempat pelampiasannya," jawab Adam datar.
"Kurang ajar. Aku nggak gitu, ya." Aruna memelototi Adam.
"Tuh, kan, Mbak." Adam menunjuk Aruna. Mbak Tantri tertawa.
"Eh, udah deh. Itu kayaknya Bu Fitri udah balik. Aku juga harus balik ke depan." Sekali lagi Aruna dan Adam mengucapkan terima kasih dan mengikuti Mbak Tantri ke depan, berlagak seolah-olah tidak ada kejadian yang berarti.
Segera setelah mereka menelusuri rak-rak buku, Adam menggamit tangan kiri Aruna, membuat gadis itu gugup. Tapi Adam tidak menatap gadis itu, melainkan terus membawanya ke ujung perpustakaan dan berbelok ke salah satu rak yang paling sepi.
"Kenapa?" tanya Aruna pelan, masih belum bisa mencerna perlakuan cowok itu barusan dan jantung Aruna sebenarnya masih berdebar dengan cepat di dadanya.
"Entah kenapa aku rasa memang ada yang sengaja mengunci kita di gudang tadi," kata Adam pelan. Alisnya bertaut dan ekspresinya sedikit tegang.
"Menurutmu begitu? Aku emang sedikit curiga kalau ada sesuatu yang aneh."
Adam mengangguk. "Memang aneh. Kalau ada yang mengira pintu gudang nggak sengaja terbuka, orang itu normalnya akan melihat apakah ada orang di dalam gudang, dan setelah mengecek, akan mengunci gudang dan mengembalikan kuncinya ke Bu Fitri. Tapi ini enggak."
Logika Adam memang masuk akal. Siapa yang akan tiba-tiba mengunci tanpa memastikan ada atau tidak orang di dalam gudang? Tentunya orang tersebut tahu kedua remaja itu ada di sana, makanya ia (siapa pun itu) langsung saja mengunci pintu gudang dan meninggalkan kuncinya di sana, agar Aruna dan Adam tidak mencoba-coba membuka kunci dari dalam. Aruna langsung merinding.
"Tapi, kenapa ada yang mau mengurung kita?"
"Entahlah. Dan kurasa bukan karena ingin main-main. Teman-temanku jelas nggak akan melakukan ini kalau hanya mau gangguin aku." Adam mengangkat bahu.
Aruna bersedekap. Pikirannya ke mana-mana. Adam menyadari betapa khawatirnya gadis di depannya. "Nggak usah takut. Untuk saat ini orang itu nggak akan berani ngelakuin sesuatu secara langsung. Mulai sekarang kamu harus hati-hati aja, dan jangan ke tempat sepi sendirian." Adam mencoba menenangkan Aruna. Aruna mengangguk kecil.
"Siapa yang sering ke gudang, Na?"
Aruna berpikir sebentar. "Semuanya bisa aja ke gudang kalau lagi ada buku yang dicari, atau ada buku yang udah nggak relevan. Biasanya staff laki-laki, karena lebih kuat untuk angkat buku. Dan tiap ada yang ke gudang, Bu Fitri mempercayakan kunci ke mereka."
Adam berdecak pelan. "Sulit juga. Karena pada dasarnya semua kunci bisa dipegang oleh semua orang, dan siapa saja bisa sering-sering ke gudang tanpa dicurigai." Aruna mengangguk.
"Staff di sini sendiri ada banyak, puluhan. Dan siapa aja bisa mengunci kita di gudang tadi."
"Nggak usah khawatir. Aku akan coba cari tahu."
"Gimana caranya?" Aruna menatap Adam dengan bingung.
"Rahasia." Adam mengedip dan berlalu, meninggalkan Aruna yang masih gugup.
***
Lagi-lagi, sudah lewat dari seminggu sejak terakhir kali Aruna dan Adam terkurung di gudang Perpustakaan Lentera. Seperti biasa, Adam masih datang ke Perpustakaan Lentera setiap weekend, saat Aruna bekerja paruh waktu. Selain mengganggu gadis itu, kini Adam memiliki job description lain: tebar pesona pada staff perempuan lain di Perpustakaan Lentera.
Senin pagi, mereka ada kelas di jam delapan lewat lima puluh. Aruna dan Dea duduk di kantin, menemani Dea sarapan.
"Nggak makan lagi, Na?" Aruna menggeleng. Gadis itu selalu sarapan pagi. Dea mengangguk. "Lihat tuh, ada yang ngelihatin kamu terus," kata Dea lagi, sambil menunjuk ke arah jam empat.
Aruna sedikit memutar badan dan melihat siapa yang dimaksud oleh Dea. Ternyata Adam. Cowok itu duduk sendirian, dengan beberapa buku di hadapannya di meja. Dan ia tengah menatap Aruna. Cowok itu tersenyum dan entah kenapa senyumannya seolah mencerahkan seisi kantin dan pagi yang suram.
Aruna menggelengkan kepalanya. Pasti ia kelelahan sampai berpikir seperti itu, batin Aruna. Gadis itu mengalihkan pandangan. Dea di hadapannya tersenyum geli.
"Calista sebel banget pas tahu kalau Adam malah memintanya pulang dan memilih nyamperin kamu," kata Dea.
Aruna mengernyit bingung. Dea mengingatkan kejadian yang sudah lebih dari sebulan, saat pertama kali mendapati Adam bersama Calista di Perpustakaan Lentera.
"Calista cerita terus ke teman-teman yang lain," Dea menjelaskan. Dea dan Calista tergabung ke organisasi prodi Pendidikan Bahasa Inggris. Sebenarnya Aruna juga, tapi Aruna jarang ikut ngumpul di organisasi tersebut.
"Kayaknya masih ada dendam kesumat sama Adam." Dea terkikik.
"Sama aku juga, kayaknya. Kalau Calista papasan sama aku di lorong, tatapannya kayak lagi ngelihat mangsa," ujar Aruna.
Dea tertawa. "Ya wajar, sih. Calista kan udah naksir sama Adam lama banget. Katanya semenjak mereka masih SMA. Mereka dari SMA yang sama, ngomong-ngomong. Dan sekarang Adam malah naksir kamu." Aruna memutar bola mata.
"Lagi-lagi masih juga menolak fakta." Dea berdecak. "Tuh, lihat."
Adam mengumpulkan bukunya dan membawanya ke arah meja Dea dan Aruna. Aruna langsung salah tingkah.
"Eh, aku baru dapat WhatsApp nih dari Reynold." Dea menunjukkan handphone-nya. Reynold adalah pacar Dea. "Dia lagi nungguin di parkiran, ada perlu sebentar." Sahabatnya itu berlalu. Entah kenapa timing-nya pas sekali saat Adam sudah dekat di meja mereka.
"Dea ke mana?" tanya Adam heran yang langsung dijawab oleh Aruna.
"Pas banget. Soalnya aku mau nunjukkin ini ke kamu," kata Adam. Wajahnya yang tadinya tengil seperti biasa, kali ini menjadi lebih serius. Ia membuka halaman di antara buku catatannya dan mengeluarkan secarik kertas.
Aruna mengambil kertas tersebut. Ternyata sebuah catatan. Yang bertuliskan alamat. Aruna menatap Adam dengan tatapan bertanya. Tapi, melihat huruf y dan j dengan kaki melengkung, Aruna tahu kalau itu adalah tulisan Tante Sandrina.
"Ketemu," kata Adam. "Orang yang dipercaya oleh Tante Sandrina. Dan mungkin, kita bisa mendapatkan beberapa fakta baru."
Similar Tags

