Ia mulai pindah ke rumah yang lebih luas dan layak. Kondisi saat itu ia mulai jarang ikut mama pergi ke warungnya. Kondisinya sedang cacar air dan penuh di paha belakangnya, punggung, juga tangan. Rasa panas itu menjalar ke seluruh tubuh bagian tumbuh cacar selalu gatal tak tertahankan. Rasanya ingin di garuk secara kasar tanpa henti. Air matanya pun panas membuatnya enggan menangis meski sedang sakit.
“Gatal.” Keluhnya sambil mengelus semua cacar berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Nene atau mamanya bergantian untuk berikan bedak calladine. Entah berapa banyak obat obatan yang harus ia minum agar lekas sembuh. Kepalanya panas demamnya naik dengan cepat, ia memilih diam dari pada bergerak kemana pun. Nenenya bersedih hati melihatnya yang tak bergerak. Sudah beberapa waktu berlalu cacarnya mulai menghilang ia cukup senang karena sudah mulai bisa bergerak tanpa harus merasa khawatir jika cacarnya pecah.
Nyatanya ia belum sembuh, cacar tumbuh lagi membuatnya sedih karena bekas cacar membekas di tubuhnya.
Selang beberapa waktu setelah ia mengalami cacar kedua laki laki itu datang ke rumah semua orang dewasa berbincang di ruang tamu. Ia bisa mendengarnya dengan jelas. Ia mengintip dari pintu kamar lalu kembali masuk ke dalam kamar karena kepalanya pusing tak tertolong.
Sesi kedua laki laki itu datang ia sudah sembuh dan ikut serta duduk di ruang tamu. Sesekali ia di ajak mengobrol. Andine menyadari bahwa meski sekarang sudah banyak kosa kata bisa keluar dari mulutnya Ia akan tetap kesulitan berbicara dengan laki laki di depannya ini.
“Nanti panggil dia Papi.” Ujar mamanya.
Andine mengangguk sopan dengan senyuman lebar.
Pernikahan mamanya mewah pada zaman itu. Semua orang hilir mudik ke sana kemari mamanya berfoto dengan berbagai gaun yang di kenakan. Ia suka ada banyak orang di rumahnya sibuk dengan urusan masing masing. Mamanya cantik dengan gaun pernikahannya ia duduk sambil memerhatikan mamanya yang terus berfoto tanpa henti.
Mamanya pindah ke panggung yang ada di halaman hingga sesi berfoto dengan seluruh keluarga. Andine diam saja menatap semua orang yang tersenyum bahagia melihat mamanya menikah.
“Sini mey.” Panggil papinya semua orang menatapnya.
Ia diam sampai mama yang memanggilnya barulah ia mendekat dan berfoto di antara keduanya. ia melirik ke anggota keluarga yang lain dan semua orang yang menonton sesi foto ini.
Kali ini ia memandangi mama dan papinya kemudian ia menghadap photographer yang membawa payung hitam besar dengan kilatan cahaya setiap mereka berkata.
“Satu, dua, tiga…cekrek.” Kilatan cahaya itu menyilaukan matanya untuk sesaat.
Kini yang tersisa dari acara tadi hanya orang orang yang sibuk merapikan semuanya. Ada yang sibuk mencuci semua piring bekas tamu undangan yang datang, ada yang sibuk memasukkan sisa makanan berlebih ke dalam tupperwarenya yang besar, ada yang merapikan meja kursi, melepas tenda, semuanya sibuk tanpa terkecuali. Andine memilih diam di pojokkan ruang tamu setelah meminta susunya di buatkan dengan dotnya ia tertidur di pojokkan agar tak ada yang terganggu karenanya.
Mamanya memasangkan kalung emas untuknya. Ia tersenyum gembira kali ini mereka pindah lagi di satu area yang sama hanya saja rumah ini memiliki ruang tamu dan dapur yang cukup luas dengan dua kamar.
Nenenya tinggal bersama mereka nenenya pula yang mengurusnya mamanya mungkin sibuk bekerja jarang ia lihat mamanya ada di rumah.
Sebagai seorang anak andine jarang mau makan nasi itu pun harus di suapi, menghabiskan satu porsi untuknya saja sebuah peghargaan tak ternilai bagi nenenya. Sebisa mungkin nenenya akan mencoba berbagai macam makanan untuk di masak agar cucunya mau makan nasi.
Sayangnya andine tetap memilih susu saja bahkan sulit untuk lepas dari dotnya.
“Ayo nene belikan iwak (ikan) haruan nene suapin ya.” Nenenya bawakan piring dan mulai menyuapinya. Ia membuka mulutnya sambil memainkan boneka yang di belikan untuknya dari papinya memandangi langit yang cerah dari kamarnya. Ikan yang sangat di sukai para warga Kalimantan ini adalah ikan yang tak ia suka.
Ada yang menusuk dan ia coba keluarkan nenenya mengambilnya dari mulutnya ia mulai mengunyah lagi nyatanya tulang menusuk gusinya membuatnya memuntahkan nasinya keluar jendela.
“Udah.” Tolaknya tegas. “Susu.”
“Sekali lagi ya?” Nenenya berusaha membujuk cucunya gadis itu menganggukkan kepalanya membuka mulutnya lagi dan kali ini benar benar bisa ia telan.
Nenenya senang menyodorkan lagi andine langsung menggelengkan kepalanya.
“Nene bilang tadi sekali aja. Kan udah.” Jelasnya.
“Ya sudah. Iya. Minum dotnya rebahan.” Ucap nenenya pasrah merapikan bantal dan guling untuk cucunya berbaring dengan nyaman lalu pergi ke dapur memakan nasi yang belum di habiskan cucunya tadi.
Andine tertidur lelap dengan sinar matahari masuk ke dalam kamar ia bisa merasakan cahaya itu di kulitnya. Tiba tiba andine merasakan gejolak tak nyaman dari perutnya ia mendadak bangun dan memuntahkan isi perutnya keluar jendela nenenya di sebelahnya yang tertidur pun ikut terbangun.
“Ya Allah kenapa?” tanya nenenya kaget sambil terus memijat tengkuk cucunya yang terus muntah ia buru buru mengambil hpnya dan menghubungi mamanya andine.
“Cepat datang. Anak muntah muntah terus.”
Setelah berhenti muntah nenenya langsung mengambilkan minyak kayuputih di oleskan ke perut, dada dan punggungnya. Sedangkan cucunya menangis karena perasaanya tak nyaman tubuhnya mulai panas.
Tak perlu waktu lama mamanya datang langsung berjalan masuk menuju kamar.
“Kok bisa sih dia sakit?” Pertanyaan itu keluar dari mulut mamanya ia bisa melihat wajah mamanya penuh amarah dan ketidaksukaan.
“Menurutmu anakmu mau sakit? Mendadak bangun muntah muntah? Urus gak!” Sahut nenenya keras.
Mamanya melongos pergi ke belakang lalu kembali dengan bawakan baju baru untuk ia ganti. Nenenya ambilkan air untuk menyeka tubuh dan wajahnya. Ia masih menangis tubuhnya tak nyaman.
“Gak usah nangis.” Ucap mamanya kesal.
“Kamu tuh punya anak jangan di bentak. Dia lagi sakit.” Nenenya menyahut dengan amarah pula. Ia memilih langsung berhenti menangis dari pada melihat nene dan mamanya bertengkar karenanya.
Setelah di berikan obat ia langsung tertidur lagi.
Bohong.
Saat ia terbangun sudah berada di rumah sakit tangannya berusaha di infus. Rasa sakit di tangannya membuatnya menggeliat marah.
“Jangan! Sakit!” Teriaknya berusaha berontak.
Para perawat lain mulai memegangi tangan dan kakinya agar tak bergerak selama di infuse. Tangannya masih ia gerakkan menghindari jarum infuse yang akan di tusukkan ke tangannya. Darah berceceran di lantai.
“Sebentar aja sakitnya.” Bujuk mamanya.
“Sakit ma.” Balasnya sambil menangis.
“Gak papa kok luh.” Nenenya bergerak maju memeluk cucunya ke dalam dekapannya. “Sebentar aja ya. Biar lekas sembuh.” Rayu nenenya dengan nada suara lembut ia menangis namun tak berontak. Kali ini para perawat bisa memasukkan jarum infus tanpa perlawanan dari andine.
Tangisannya semakin kencang nenenya butuh waktu lama menenangkan cucunya itu. Perawat yang lain mengambil lap untuk membersihkan darah yang berceceran di lantai sedang ibunya pergi ke bagian administrasi.
“Maaf ya pak dokter. Anak saya malah membuat keributan di rumah sakit.”
“Gak papa bu. Namanya masih anak anak. Kami sudah biasa menghadapi banyak respon anak anak. Nanti di bangsal khusus anak anak bakalan rame kok anak anak lain yang di rawat. Siapa tau dedenya gak nangis lagi.”
Bangsal? Anak anak? Berapa banyak anak yang sakit di sini? Batinnya andine.
Setelah obat di suntikkan andine mulai tenang tubuhnya masih tak nyaman hanya saja berkurang dari sebelumnya. Ia di pindahkan ke kursi roda dan di bawa masuk ke dalam area dalam Rumah Sakit di mana di tamannya ada patung bunda maria.
Mamanya mengobrol dengan perawat yang mengantarkannya. Lalu tibalah mereka di kamar khusus untuknya sendiri ruangannya tak sebesar kamarnya di rumah. Setelah di pindahkan ada anak anak lain dataang berkunjung ke kamarnya.
“Hai? Halo? Kamu sakit apa?” anak anak ini menyapanya masing masing dengan infuse para orang tua mereka di belakang. Ada yang datang dengan ingus di lengan, ada di kaki, ada pula yang di kursi roda dengan kepala gundul.
“Gak tau sakit apa.” Jawabnya.
Mamanya pun di ajak berbincang oleh para orang tua mereka. Mereka menunjukkan mainan yang mereka milki Andine pun kini mulai tertarik dengan mereka. Semua anak mulai mengeluarkan mainan mereka ia heran bagaimana bisa mereka semua punya banyak mainan di tempat tak senyaman ini?
Melihat andine yang paling kecil dari mereka kebingungan, salah satunya tersenyum.
“Nanti ada nene tua dengan kursi rodanya jualan mainan dia bakalan lewat ke sini di tiap sore.” Jawaban itu menghilangkan rasa penasarannya yang ia simpan sendiri.
“Bener. Kamu nanti harus liat mainan yang di jual. Pasti jadi pengen beli juga. Kami kadang mau barengan punya mainan sama biar bisa main bareng.” Mereka semua langsung menunjukkan mainan mereka yang sama.
“TADAA.” Dengan serempak mereka mengucapkan hal itu. Ia tertawa senang melihat hal menyenangkan ini.
Setelah puas berbincang waktunya kami di periksa oleh dokter anak yang datang berkunjung.
Dokter Gladys namanya. Ia di sapa dengan hangat lalu dokter memeriksa kondisinya setelah menjelaskan dengan mama dokter itu pergi bersama para perawat yang mengikutinya.
Sesuai perkataan anak tadi ada nene nene yang datang berjualan.
“Andineee kamu mau beli gak?” tiba tiba ada anak yang berlari membawa tiang infusnya mendatangi kamarnya. “Nene, kenalin ini namanya Andine. Dia baru masuk semoga gak lama kayak kami di sini.’”
“Oh halo andine? Namamu cantik ya.” Pujian itu membuat andine tersenyum.
“Mau beli?” tanya nenenya. Andine menatap nenenya dan mengangguk. “Pilih aja.”
Nene tua itu menunjukkan mainan apa saja yang ada di kursi rodanya.
“Andine mau yang itu.” Tunjuknya pada mainan yang terbaru.
“kami juga beli yang ini lho andine. Gak mau beli? Nanti bisa main bareng?” anak laki laki itu menunjukkan bubble yang bisa di tiup.
“Mauu juga.”
Setelah di bayar mereka bersorak senang.
“Kok malah absen ke Andine duluan.” Tanya orang tua yang lain.
“Mana lari lari dia tadi.” Sahut orang tua si anak laki laki tadi mereka geleng kepala karena andine memang manis dan sangat respontif untuk di ajak bicara.
Bermain bersama menjadi rutinitas mereka di setiap sore. Kata mamanya anak yang kepalanya gundul dan selalu menggunakan kursi roda itu anak yang sakit keras.
“Kalau sakitkan di obati ma? Dede kan di obati biar sembuh. Sakit bisa jadi keras? Kan kalau sakit jadinya lemah.” Ia mulai kebingungan.
“Sakitnya itu gak ada obatnya sayang. Jadi di rumah sakit gak bisa juga nyembuhin dia.”
“Terus ngapain di sini ma?” Andine menatap mamanya masih bingung. Mamanya hanya tersenyum saja.
Tiba tiba ada perawat lain datang bawakan kursi roda.
“An. Andine kan?” tanya perawat.
“Bener.”
Andine di minta pindah ke kursi roda lalu mereka pergi dari bangsal itu menuju bangsal lain. Di mana tertulis kamar VIP. Ruangan itu lebih besar dari kamarnya di rumah dengan kamar mandi dalam satu, ac ukuran besar, kulkas, sofa, tv dan kasur untuk penunggu pasien.
‘Mereka pikir akan lebih nyaman begini? Padahal sama saja mau tidur di tempat mana saja aku gak enak karena sakit. Semoga ini terakhir kalinya.’ Batinnya sendiri.
Doa itu tak terkabul.
Andine sering sekali masuk ruangan itu hingga ia lelah dalam beberapa bulan terakhir entah berapa lama ia di rumah sakit ketimbang di rumahnya sendiri. Menangis? Andine tak lagi berpikir untuk menangis bahkan tetangga yang datang pun sering menunjukkan ekspresi kasihan padanya.
Papinya sering datang jikalau bisa jika tak bisa papinya akan menghubunginya lewat telepon. Ia tersenyum saja sampai di satu waktu papinya mendadak datang dan berkelahi dengan mamanya di luar ruangan.
“Kamu yang becus ngurus anak!”
“Udah. Kenapa kamu salahkan aku? Dia aja yang gampang sakit.”
Andine mendengarnya. Tolong jangan bertengkar. Batinnya
Andine pun mulai milih lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur saja agar ia tak perlu melihat mamanya bertengkar.
Andine kini menatap rumah yang sedang di bangun.
“Rumahnya buat Andine ya.” Ujar papinya. Ia menatap bangunan yang sudah jadi tapi belum ada jendela dan pintunya.
Ia mengangguk senang.
Ia sedang belajar membaca dan menghitung dengan mamanya di tiap perkalian yang salah mamanya akan memukul hanger ke buku perkalian. Andine ketakutan menjawab secepatnya dan harus tepat. nyatanya andine meleset.
Hanger itu di pukulkan ke tubuhnya.
“Mentang mentang di manja nenemu. Hal remeh gini aja kamu gak bisa!” pukulan itu tak berhenti ia meminta ampun pada mamanya.
“Ampun maa.” Ia berusaha memeluk tubuhnya yang sudah kesakitan. Ia menangis dengan suara keras.
“Kencengin lagi suaramu.” Ancam mamanya ia tahan suaranya tapi pukulan malah semakin pedih di kulitnya.
Ia diam setelah di pukul. Memilih mengambil majalah untuk ia baca meski air matanya tetap jatuh. Hingga ia pun kini tertidur akibat kelelahan menangis.
Mamanya datang ke kamar memeluknya. “Maaf ya. Mama cuman gak mau kamu jadi orang yang bodoh. Setidaknya kamu harus lebih hebat dari mama.” Ia bisa mendengarnya lalu mamanya menyeka wajahnya dengan air dingin juga badannya barulah menggantikan pakaiannya. Memberikan salep pada luka luka di tubuhnya. Ia enggan membuka matanya.
“Jangan bodoh kayak mama ya, de. Mama cuman lulusan SMA kamu harus lebih tinggi sekolahnya dari mama.”
Ia takut jika ia bangun mamanya kembali memukulnya.
Pembelajaran berganti ke sholat dan jam. Ia hafal dan mengerti bisa mnejawab di depan mamanya. Ia di masukkan ke TPA agar ia bisa belajar mengaji.
Mamanya mulai sering menghilang lagi dari rumah, nenenya tak bisa sepenuhnya mengurusnya akhirnya ia punya babysitter yang tak begitu bisa cara mengurus anak anak sepertinya karena usianya juga masih belia. Setelah babysitternya di pecat ia sering sendirian di rumah.
“Mama namaku siapa?” tanyanya karena ia sering di panggil andin.
“Andine Copia Bramastasia.”
“Tulisannya gimana?” tanya andine heran.
Mamanya mengambil sebuah pena dan kertas. Menuliskan namanya Andine Copia Bramastasia. Namanya mewah sekali.
“Kok ada nama cowonya ma?” tanyanya lagi.
“Dari nama papamu.” Mendengar jawaban singkat itu Andine pun diam.
“Kenapa namaku Andine?”
“Namamu dari kesukaan mama terhadap bunga. Dari jawa waktu itu kalau mama gak salah artinya ‘bunga yang indah’ sedangkan copia nama yang di sumbangkan yang lain artinya ‘ kelimpahan atau kekayaan’ bramastasia di adaptasi dari nama papamu, karena kamu cewek di kasih nama begitu.”
Kini andine menyimpan dengan benar nama itu di otaknya. Filenya tersimpan rapi dengan tanda ‘Aku’
Hanya berduaan dengan mamanya di sunyinya sore hari menjelang malam. Ia termenung melirik mamanya lagi tak berani mengucapkan sepatah kata.
Rumah baru tingkat dua itu kini sudah mereka tempati sofa mewah empuk di ruang tamu berukuran besar dengan meja kaca yang di pesan khusus, di ujung ruang tamu ada lemari dari kayu jati yang juga di pesan agar bisa posisinya pas di ujung di isi dengan tea set yang tak akan di gunakan sama sekali bahkan harganya mahal. Di rumahnya akan ada gucci gucci mahal mengkilat cantik yang di beli oleh papinya dari luar negri, patung kuda yang bagus, dan bola Kristal yang cantik.
Kamar kamar pun ranjangnya ala kerajaan terbuat dari kayu yang sangat mahal, kamar mandi dengan shower dan water heater, closet duduk juga. Ke ruang tengah ada TV besar yang mana ada jaringan nirkabelnya, meja makan pun sama, kitchen set dengan rak di buat khusus untuk meletakkan cangkir cangkir langsing tinggi yang berkelas itu, kulkas yang besar melebihi tinggi para orang dewasa. Rumah full ac sehingga ia tak perlu merasakan kepanasan.
Ia sekamar dengan nenenya saja karena tak berani tidur sendirian.
Rumah mereka sudah bagus, nyatanya tak membuat mamanya sering di rumah. Ia sudah bersekolah karena bosan di rumah sendirian.
“Ibu, andine bikin aku jatuh?” Teriak laras.
‘menyebalkan’ gumamnya ibu guru memarahinya dan mengatakannya bahwa ia anak yang nakal padahal jelas ia hanya duduk di bangkunya saja.
Ia bangkit menjauh dari gurunya dan mendorong temannya dengan benar lebih keras.
“Andine!” Teriak bu guru.
“Harusnya ibu liat jarakku dengannya. Aku gak ngapa-ngapain cuman duduk ngegambar, dia jatoh sendiri.” Ia berusaha membela dirinya sendiri.
“Andine. Kamu berani melawan.”
“Karena dia bohong!” Balasnya teriak tak terima dengan tuduhan palsu itu sambil menunjuk temannya.
“Pindah tempat dudukmu. Gak ada kelompok campuran kamu harus duduk dengan anak laki laki yang sesuai nakalnya denganmu.” Mendengar hal itu andine semakin marah. Ia membawa semua barangnya pindah ke meja khusu laki laki.
“Kami liat kok kamu cuman duduk diam.”
“Kamu tau kan? Ibu shafa memang gak suka dengan kamu?”
“Gak papa kami masih rajin dan pinter kok kalau tugas.”
“Jangan sedih ya, dine.” Mereka tersenyum mengerti perasaan andine yang dongkol dan sedang menahan air matanya agar tak jatuh karena tak ingin di anggap lemah dan kalah.
Syukurnya semua tugas di bagi sama rata bahkan untuk kelompok pun tugas mereka kerjakan lebih cepat. Nyatanya anak anak ini jauh lebih pintar dari perkiraannya.
Sepulangnya jam sekolah TK nya guru langsung mendekati nenenya menjelaskan apa yang telah terjadi di kelas. Ia memilih diam siap akan di pukul oleh mamanya saat pulang nanti.
Nenenya tersenyum setelah di jelaskan oleh sang guru. “Makasih ya bu. Tapi, saya yakin cucu saya gak akan sekasar itu sama temannyya meski umurnya jauh lebih muda dari yang lain. Dia memang banyak tenaganya. Tapi bukan berarti dia jahat dan nakal.”
Ibu guru terdiam tak bisa melanjutkan kata katanya mendapatkan respon setenang dan seyakin itu.
“Tolong lain kali, tanyakan pada anak anak lain. Apakah benar cucu saya yang mendorong atau tidak? Karena di kelas banyak orang bukan hanya mereka berdua.” Lanjut nenenya.
Mereka langsung pulang dengan kakeknya, sepanjang jalan ia menangis di atas motor menjelaskan bahwa ia kesal tak melakukan kesalahan apa pun namun ia yang harus menanggung hukuman.
“Gak papa. Nene percaya kok.”
Mendengar nenenya berkata demikian ia pun semakin menangis. “Aku bukan anak nakal ya kan, ne? kan aku gak dorong dia jatuh. Padahal anak itu cantik tapi pembohong.” Tangisnya lagi, kali ini dengan perasaan lega.
Nenenya tersenyum mengangguk melap air mata cucunya dengan hati hati membiarkan cucunya menangis karena di salahkan tadi.
Ia di belikan nenenya es krim dan di suapi makan lebih dulu barulah nene dan kakeknya berangkat bekerja.
“Nanti berangkat ke TPA kasih kunci ke mbok depan rumah ya.” Ia menganggukkan kepalanya.
Nene kakenya mengelus kepalanya bergantian mencium pipinya serta memeluknya barulah mereka berangkat. Ia tidur dulu sebelum nanti ke TPA untuk mengaji.
“Dinee, ayo bangun ke TPA.” Anak dari mbok seberang rumahnya pun datang masuk membangunkannya perlahan.
“Hm?” Andine terbangun pergi ke kamar mandi untuk mandi lalu di siapkan bajunya oleh Mbak ella tadi. Ia buru buru bersiap lalu mba ella yang mengunci pintu serta pagar rumah ia langsung berangkat ke masjid.
Di sini ramai. Dari yang lebih kecil darinya sampai yang paling besar. Setelah mengaji ia akan berlarian dengan teman temannya sampai menunggu waktu Ashar barulah mereka berwudhu dan sholat berjamaah. Setelahnya akan ada sesi tanya jawab siapa yang paling cepat menjawab boleh pulang. Andine memasang telinganya baik baik.
Ketika pertanyaaan di ajukan ia paling awal menjawab tahun hijriyah tahun ini.
“Benar Andine. Boleh pulang.”
Ia mencangklongkan tasnya di bahu menuju para penjual jajanan ia jajan lebih dulu sampai puas satu persatu anak mulai keluar hingga masih ada banyak anak yang tak bisa menjawab barulah di pulangkan semua. Mereka langsung pulang bersama, anak laki laki mulai sibuk dengan permainan bola.
“Ganti baju aja dulu. Baru kita main lompat tali di rumah putri.”
Mereka semua setuju pulang ke rumah masing masing dan berkumpul di rumah putri naik sepeda atau jalan kaki, rumahnya tak jauh dan halamannya lebih luas untuk mereka bermain lompat tali.
“Andine jadi anak bawang aja. Badannya paling kecil sendiri kasian dia gak sampe.”
As always, anak bawang. dalam semua permainan menjadi anak yang selalu mendapatkan keistimewaaan yaitu boleh melanggar aturan yang berlaku.
“Jangan. aku aja deh yang pegang. Masa jadi anak bawang mulu.”
“Ya udah nanti aja. Yang lompat tali barengan tetap kek biasa aja.”
Mereka mengangguk bersamaan.
Permainan ini benar benar heboh permainan di mana ada tingkat kesulitannya setelah lompat tali sendiri melewati tali lalu ke sisi lain, mereka akan mulai dengan berdua, setelahnya bertiga, siapa yang kena akan menjaga talinya. Hingga meloncati tali yang menantang adalah masing masing pemegang tali akan berdiri di atas kursi dan tali akan sedada mereka.
Ada yang berlari lalu menaikkan satu kakinya agar tali bisa turun dan tersangkut di kaki supaya bisa ke sisi lain. Kadang yang heboh ada anak anak yang pandai atraksi stand hand, kakinya sudah bisa menggapai tali kemudian ia akan memutar tubuhnya mendorong tubuhnya dengan poisisi kayang barulah berdiri gerakannya sangat cepat membuat banyak sorak sorai apalagi ibu ibu kadang juga menonton anak anaknya bermain sore hari.