Wajahnya bulat sempurna dengan warna kulit khas milik pribumi yaitu sawo matang, potongan rambutnya selalu sebahu dengan poni rapi di atas alis. Bedak tebal menghiasi wajahnya seolah ia adalah donat matang dengan tambahan gula halus. Pipi chubbynya membuat semua orang gemas ingin menggigit atau menangkupkan kedua pipinya sambil di jilat. Jijik? Tentu. Meski menyukai bermain di bawah sinar matahari hingga warna kulitnya semakin gelap glowing. Gadis kecil itu akan kesal dan marah apabila ada yang menyentuhnya. Terlebih saat ini.
“Nene!” suaranya berteriak lantang sambil menggeliat menjauh namun tak bisa karena omnya kaka dari ibunya sedang menahan kepalanya lalu menjilat pipinya.
Tangisan kencang terdengar dari dalam kamar.
“Agus! Uma lah anak jangan di ganggu.” Teriak nenenya sambil sibuk memasak. Datang lagi satu anak dari nenenya itu mencium pipinya dalam keadaan kumis baru di potong pendek. Mendekat menciumnya sambil menggesekkan kumis ke pipi, bukannnya mereda tangisannya semakin kencang. Sebagai seorang nene buru buru ia masuk ke kamar di mana cucunya menangis sedangkan yang lain tertawa kencang. Merasa puas. Entah kenapa? Nampaknya hal itu menjadi kepuasan tersendiri bagi mereka. Membiarkan cucu ibu mereka itu menangis kemudian merajuk pada semua orang.
Nenenya menggendongnya membawa ke dapur sedangkan anak bungsunya membuatkan susu memberikan dot itu ke gadis bulat.
“nah tad.” Ucapnya sambil melap pipi ponakannya dengan tisu karena ada bekas air liur di sana.
Dengan marah ia menerima dot langsung di masukkan ke mulutnya. Menaiki ayunannya dengan wajah penuh kekesalan.
Tak jera, para omnya kembali mendekat ke ayunan sambil tertawa berusaha merayunya.
“Au (bau) !” teriaknya kesal. Ia belum fasih untuk melafalkan kata kata dengan jelas. Tatapannya bengis, benci, kesal, marah, dongkol menjadi satu.
“Uma-lah latad te ma. Seram lalu ih di cangangi kek itu. (Wah, si item ma. Seram banget deh di liatin gitu)” Mereka doyan sekali menggoda si donat hitam penuh cemong itu.
“Ayo nah! Kalu aku kada usah bemasak. Hauran banar bagian kam menggawi anak tuh. Inya uyuh dah mengantuk. (Ayo deh! Kalo gak aku gak usah masak. Sibuk banget kalian ini ngerjain anak tuh. Dia tuh capek dah mengantuk).” Mendengar nenenya memarahi om omnya, donat itu memutar bola matanya dengan judes.
“Ai haratnya. (Aih seramnya)” Goda mereka. Merasa lucu dengan ekspresi donat hitam yang cemong. Seolah berkata
‘Hah dengar tuh.’
“Melihatlah pian kak?” Tanya om agus ke kakanya lalu menatap adiknya mereka tertawa kecil menahan tawa agar ibu mereka tak marah karena terus mengganggu cucunya.
“Dasarlah aluhan (anak perempuan) nih. Hih ai.” Pipinya di embat membuatnya kembali marah dan menangis.
Kali ini mereka tak selamat dari amarah sang ibu.
Sang bungsu diam saja ia memilih untuk mengayun keponakannya itu agar lekas tertidur.
“Ucuuu bis dot (busu habis dot) .” Mendengar suara panggilan ia menoleh dan membuatkan susu lagi.
Keadaan mulai hening setelah kaka kakanya pulang dan ibunya juga berangkat bekerja. Teman temannya datang ke sini untuk menemaninya agar tak sendirian di rumah.
“Tidur?” Tanya teman temannya melirik ke dalam ayunan jarut kain itu. Mereka menowel pipi si gadis kecil matanya terbuka pelan semua menahan nafas. Gadis kecil itu menggeliat lalu tertidur kembali.
“Astaga. Sampe nahan nafas lho aku.”
“Sama.” Mereka tertawa bersama merasa geli dengan tingkah mereka sendiri.
Rumah yang di tempati sederhana dengan beberapa kamar masih menggunakan kayu ulin agar kokoh. Ciri khas rumah orang di Kalimantan. Ayunan pun di gantung di antara arah menuju dapur. Sudah biasa anak kecil untuk selalu di ayunan saat mereka ingin tidur.
Entah berapa lama si gadis tertidur yang pasti tak ada siapa pun di sekitarnya termasuk adik ibunya yang paling bungsu itu. Ia berusaha turun dari ayunan namun terjatuh terjerambab ke belakang. Tangisannya membuat omnya datang dari arah belakang dapur. Tak menanyakan apa pun langsung menggendongnya saja.
“Sudah bangun?” Tanya teman teman omnya ia diam merasa malu ada banyak teman laki laki omnya datang ke rumah.
Tangan omnya tak berhenti untuk mengelus dadanya agar lekas mereda tangisannya.
“Sini sama aku.” Temannya menggendongnya lalu salah satu dari mereka mengabadikan moment itu.
Mereka tersenyum lebar kemudian mengajak mengobrol si gadis kecil agar tak menangis lagi.
“Atit (sakit) .” Jelasnya menyentuh kepala bagian belakangnya. Kepalanya di sentuh di rasa ada benjolan mereka sama sekali tak khawatir hanya mengelus kepalanya sambil meniupnya.
“Sakit ya? Tadi jatuh?” Tanya Regen. Teman omnya yang sedang menggendongnya.
Kepalanya mengangguk pelan sambil memonyongkan sedikit bibir. Ia sedih.
“Gak papa. Sembuh abis ini.”
Mereka terus mengobrol dan membahas sesuatu yang tak di mengerti oleh si gadis. Nampaknya menyenangkan menjadi orang dewasa banyak sekali obrolan yang mereka lontarkan. Ia duduk di pangkuan dengan dot untuk kesekian kalinya. Kali ini duduk tenang memandangi setiap ekspresi orang orang dengan tatapan penuh penasaran. Semuanya Nampak menyenangkan hingga ia tak menyadari bahwa ia kembali tertidur di pangkuan omnya dengan dot yang menetes ke baju.
Hari ini ia di mandikan lebih awal. Menggunakan pakaian cantik yang ia punya. Ia menatap mamanya yang jarang ia lihat kata nene, mamanya sibuk bekerja mencari uang untuknya dan tak tentu sempat untuk mengurusnya.
“Kita mau jalan jalan dede.” Ucap mamanya dengan suka cita sambil memeluk mencium pipinya yang chubby.
Ia tersenyum senang sambil menyentuh bajunya lalu menatap mamanya menunjukkan deretan giginya yang kecil dan rapi. Hal itu membuat para orang dewasa tersenyum senang mendapatkan respon antusias yang menggemaskan.
Setelah semua orang bersiap mereka membiarkan gadis kecil keluar dari rumah lebih dulu. Angin sepoi menerpa tengkuk leher si gadis, langkahnya terhenti sejenak ia merasa heran mengapa angin bisa menerobos masuk ke lehernya. Para orang dewasa ikut terdiam di belakangnya mereka merasa heran mengapa gadis kecil kesayangan itu tak melanjutkan langkahnya. Gadis itu terdiam lama merasa ada yang kurang dengan pakaiannya hari ini. Setelah ia memastikan apa saja yang ia gunakan ia menyentuh kepalanya sambil berbalik ke mamanya.
“Kenapa de?” Tanya mamanya bingung.
“Kenapa? Kepalanya sakit?” Tanya nenenya dengan ekspresi khawatir menatapnya.
Ia menatap adik mamanya.
“Udung (kerudung).” Ia mengulang ulang kata kata itu sambil menepuk kepalanya lalu putar arah kembali masuk.
Mama, nene, adik mamanya tertawa dengan keras tak habis pikir dengan waktu lama terdiam karena perihal keluar tak menggunakan kerudung saja.
“Udung.” Keluhnya lagi mereka kembali masuk nenenya menuju kamar ambilkan kerudung yang senada dengan warna pakaian cucunya. Memasangkan kerudung setelahnya ia dengan senang dan bangga kembali melangkahkan kaki untuk keluar pergi jalan jalan.
Si gadis terbiasa dengan di kerudungi oleh nenenya. Karena ia juga sering melihat anak anak lain berkerudung maka ia merasa bahwa ia juga harus berkerudung.
Seperti biasa ia akan duduk di pangkuan nenenya dan mereka pun jalan jalan.
“Lancipnya heh burit. Hakun aja pian ma lah memangkunya. (Pantatnya tajem. Mau aja ya mama mangku dia).” Tegur mamanya ke nenenya ia heran bahasa apa yang mamanya gunakan.
“Mbah cucuku jua (toh cucuku juga).” Sahut nenenya. “Ya kalo luh? (Ya, gak?)” Nenenya memeluknya sambil berjoget senang lalu menciumi kedua pipi cucu kesayangannya itu.
Ia mengangguk saja sambil memandangi jalanan.
Nuansa yang selalu membuatnya heran adalah di mana ada pasar di darat tapi lebih banyak pasar di air. Mereka melakukannya di atas perahu kecil. Mereka menjual segala macam jenis layaknya pasar biasanya matanya berbinar melihat hal baru yang pertama kali ia lihat. Mamanya tersenyum melihat gadis kecilnya selalu penuh rasa penasaran yang tingi.
“Ini namanya pasar terapung de.” Gadis kecil menoleh menatap mamanya dengan bola hitamnya yang semakin melebar. Mamanya tersenyum lagi.
“Pasar terapung ada lebih dulu. Kota kita tinggali itu di kenal 1000 sungai. Semuanya di lakukan apa apa lewat sungai. Jalan jalan, bepergian, belanja, semuanya di sungai. Gak kayak sekarang sudah ada jalanan aspal, mobil, motor.” Jelas sang mama.
Gadis kecil menganggukkan kepalanya. Mulai menyimpan informasi baru yang ia terima. Merasa takjub dengan hal yang ia dengar.
“Atuh ma (jatuh ma)?” tanyanya penasaran karena berada di atas perahu kecil membuatnya khawatir akan jatuh meski ada pula perahu yang berukuran besar dan orang orang masuk ke dalamnya untuk menyantap makanan.
“Enggak. Yang kecil itu jukung namanya. Semuanya tergantung ukuran kalau yang begitu muat 4 orang dengan barang yang di bawa biasanya satu orang aja.” Tunjuk mamanya ke arah perahu yang di naiki satu orang membawa hasil kebun. “Kalau yang besar lebih banyak lagi muatannya. Nah ayo kita makan dulu ya.” Mamanya memegangi tangannya mereka turun dari siring menuju ke dermaga di mana kapal besar itu berada. Semua orang bergantian masuk sandal sepatu berada di luar dermaga. Nene dan omnya sudah masuk lebih dulu sepatunya di bawakan lalu ia melangkah masuk secara perlahan.
Kapal bergoyang karena ombak kecil. ia mungkin jatuh jika mamanya tak memeganginya dengan erat.
Mereka memesan makanan nasi kuning dengan lauk telur dan ayam masak habang (merah) sedangkan untuknya bagi dua dengan mamanya soto banjar limau kuwit. Nenenya makan lontong sayur khas di sini dengan minuman teh hangat.
Gadis kecil menatap perahu yang berlalu lalang sambil menerima suapan dari mamanya. Setiap ada perahu yang lewat ada ombak kecil ke arah mereka membuat perahu bergoyang dan dengan gerakan cepat mamanya akan menahan tubuhnya jika oleng. Ia tak mengatakan sepatah kata apa pun, saat ini banyak pertanyaan di otaknya namun ia sadar ia tak bisa mengatakan hal itu karena masih kurang mengerti bagaimana cara menanyakannya.
Mamanya sedang berbincang dengan yang lain nampaknya sangat serius karena alis mereka sedikit tertaut.
“Astaga, biah. Ketemu di sini.” Mendengar hal itu mereka semua menoleh nenenya dengan senang menanggapi perempuan yang jelas seumuran dengan nenenya. Nampaknya akrab sekali lalu nenenya akan menjelaskan bahwa si perempuan itu istri dari anak si A keponakan si C cucu dari M sepupu L. selalu seperti itu kemana pun mereka berada bahkan entah dalam ruang lingkup kelaurga pun seperti itu. Apabila mamanya bertemu dengan orang akan mereka jelaskan dari cucu siapa, anaknya siapa, keponakan siapa, nampaknya seluruh keluarga mereka jelaskan hingga tak jarang ia akan mendengar
“Oh, anak arwah (almarhum/almarhumah) wati?” begitu. Haruskah bahkan orang yang telah tiada di ingat pula? Kadang mendengar hal itu ia sangat merasa risih tentunya sedikit heran.
“Hai, Andine. pipimu ini selalu aja gemes.” Perempuan tua tadi akhirnya berbicara dengannya tanpa babibu menyosor mencium pipinya lipstick merahnya sedikit geser. Andine syok akan ia pastikan bekas lipstick itu kini ada di pipinya yang sudah seperti donat gula sedang kena selai strawberry.
Ia menahan diri untuk tak menangis. Mamanya tertawa saja lalu menghapusnya setelah si perempuan itu pergi barulah ia menangis.
“ga uka (gak suka).” Keluhnya sambil terus melap pipinya dengan derai air mata.
Para orang dewasa menganggukkan kepala mengerti. Hanya saja tak ada gunanya berkata tidak suka, kemana pun pasti pipi gadis kecil itu akan penuh ciuman orang orang tak lupa dengan uang saku yang di berikan ke mamanya untuk bisa belikan gadis kecil makanan yang enak.
Mereka selesai makan langsung mencari jajanan pasar di perahu yang lain. Laksa, putu mayang, kokoleh dan masih banyak lagi yang di coba oleh si kecil tak lupa setelah semua makanan tadi ia akan di belikan buah juga pisang. Agar pencernaannya lancar setelah semua makanan tadi di coba.
Mereka pulang terpisah dengan sang mama, ia mulai mengantuk lalu tertidur salama perjalanan menuju rumah tempat mereka pulang.
Gadis kecil di gendong di gantikan pakaian dan popoknya lebih dulu. Di buatkan susu lagi barulah di letakkan di ayunan dengan dot di mulutnya.
Cukup mudah untuk menidurkannya. Berikan ia dotnya maka ia akan tidur semakin lelap dengan jam tidur lumayan lama tanpa terbangun sedikit pun.
Sang nene pun langsung berangkat pergi karena ia harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah. Menjual jasanya apa pun itu agar anak cucunya bisa hidup layak. Apalagi cucunya yang selalu saja ada gebrakannya.
Ia jadi teringat saat masih dalam gendongan ia mengajak cucunya ke pasar tanpa menyadari bahwa cucunya akan melakukan hal itu. Mereka berjalan di dekat area mainan di pasar dan satu tangan cucunya memang ada di luar ia heran mengapa semua orang berteriak dan menahannya. Ternyata saat ia berbalik tangan cucunya yang masih bayi itu sudah menggenggam mainan bukan mainannya melainkan tali pengikat yang menyatukannya. Tentu ia kaget bukannya marah ia memilih untuk tertawa mengerti bahwa cucunya pintar bukan satu mainan melainkan semuanya yang ia inginkan. Ia dan suaminya meminta maaf ke penjual.
“Gak papa bu. Saya cuman takut tangannya aja kenapa kenapa. Namanya bayi masih gak paham.” Orang orang mengangguk dan ikut menonton bagaimana si kakek melepaskan tangan cucunya dari mainan tersebut. Perlahan agar tangan cucunya tak terluka tapi genggamannya terlalu kuat. Mereka menghela nafas panjang, ini sulit. Tekad cucunya untuk memiliki mainan terlalu besar padahal ia juga tak akan mengerti mainan apa itu.
“Pak boleh di potong? Kita beli satu mainannya.” Ujar sang nene merasa tak akan bisa melawan kehendak cucunya.
“Boleh bu. Sebentar saya potong dulu.” Tali pun di potong dan melepaskan satu mainan. si nene membayar mainan memberikannya ke cucunya memasukkan tangan cucunya ke dalam gendongan agar tak terluka.
“Ya Allah, Andine. Ada ada aja. Nah sudah ada mainan. Lain kali tunjuk aja ya. Gak harus di genggam.” Ia tertawa bersama suaminya. Tak pernah terbayang baginya memilki cucu tenang tapi jika memiliki kemauan ia akan mendapatkannya apa pun caranya.
Entah cucunya mengerti atau tidak ia tetap mengajaknya berbicara menunjukkannya kehidupan sesekali menutupi wajah cucunya dengan gendongannya. Gendongan itu hanya dari jarik kain panjang yang di buat menjadi gendongan bayi. Belum ada gendongan modern kecuali harus membeli dengan harga mahal sekali.
Semenjak kejadian itu suami istri itu akan bekerja lebih giat agar cucu mereka tak perlu kesulitan.
Andine di tinggal mamanya lagi. Ia sendirian saja di rumah mereka ini. Pintu utama di kunci dan ia tak boleh keluar kemana pun. Ia diam saja di rumah hanya menonton tv agar tak merasa bosan.
Ia kesepian mamanya akan pulang sore atau sedikit malam. Makanan ada tapi ia tak bisa makan lebih memilih membuat dotnya sendiri dan tidur. Kebanyakan waktunya akan ia gunakan untuk tidur menghilangkan rasa bosan sambil menunggu mamanya pulang.
Kadang ia menggambar agar menghilangkan jenuh bermain dengan mainannya juga. Ia melirik pintu menatap jam ia masih belum mengerti tentang waktu.
Ia bosan memilih memotong kukunya dengan silet kukunya sudah panjang mamanya masih lama untuk pulang. Tentu mudah karena mamanya sering menggunakan ini untuk memotong kukunya.
Kuku kakinya agak tebal dan keras ketimbang kuku tangan. Ia pun sedikit memberikan tekanan agar lekas terpotong.
SET.
Andine diam, darah mengalir dari jempolnya ia bingung harus berbuat apa? Akhirnya ia mengambil serbet membersihkan silet dari darahnya meletakkan di tempatnya dan mengikat serbet ke kakinya.
Tak lama bunyi pintu di buka. Mamanya datang ia menyambut dengan senang.
“Mama.” Panggilnya.
“Halo dede? Bosen ya? Eh –“ Mamanya melihat lantai berceceran darah. “Dede abis ngapain? Kok banyak darah?” Tanya mamanya panik.
“Ini ma, tadi dede motong kuku sendiri. Kukunya dah panjang. Jadi dede pake silet malah luka.” Ia menunjukkan jempol kakinya yang ia ikat dengan serbet. Mengambil tisu melap sendiri semua darah yang berceceran.
“Nanti nunggu mama aja ya. Lagi pula kuku dede masih pendek kok nak.” Mamanya mendekat memegangi tangan dan kakinya mengeceknya.
“Iya ma.”
“Kenapa jadi motong sendiri?” Tanya mamanya sambil membersihkan diri.
Andine duduk di depan tv dengan dot di mulutnya. “Dede bosan.” Ucapnya melepaskan dot lebih dulu dari mulutnya sebelum bicara.
“Dede gak tau waktu. Dan mama pulang sering sampe malam. Dede sendirian. Dede mau di tempat nene.” Jelasnya lagi.
“Bosan ya nak? Mama kerja buat dede. Buat beli susu dede. Nene sama yang lain juga sibuk kerja gak ada yang jagain dede.” Mamanya mendekat.
“Dede gak bisa ketemu teman. Dede mau main sama yang lain.”
“Teman dede tuh besar semua nak. Semuanya sekolah yang kecil dede aja. Nanti dede ikut mama aja gimana?” Tanya mamanya sambil mengelus punggungnya.
“Boleh? Mama gak kerepotan? Kan mama kerja.” Tanyanya balik untuk memastikan.
“Besok mama coba dulu tanya ya.”
Andine menganggukkan kepalanya. Ia menatap mamanya yang menyiapkan makanan lalu menyuapinya.
Malam berlalu dengan cepat dan mamanya kembali bekerja. Di jam pulang kerja mamanya mengatakan bahwa ia bisa di bawa ke tempat kerja.
Di sini lah ia berada sekarang. Pelabuhan Tri Sakti di kota Banjarmasin. Ramai sekali orang orang berlalu lalang dan lebih banyak kapal kapal besar di sini. Mamanya bekerja di warung yang ada di pelabuhan ia sampai di siapkan ayunan agar ia bisa tidur dengan nyenyak. Ia sering kali memilih tidur atau keliling sebentar melihat suasana pelabuhan agar tak mengganggu mamanya bekerja.
“Anakmu itu?” Tanya seorang pria bertubuh tinggi, kulit putih, dan matanya sipit.
“Iya anakku.” Jawab mamanya ia memandangi orang itu yang tersenyum menatapnya. Sudah beberapa kali orang itu datang bersama beberapa orang tapi lebih sering berdua dengan orang yang sama.
Andine menatap orang itu heran ia membeli makanan lalu pergi entah kemana. Ia juga tak menanyakan apa pun ke mamanya tentang orang itu karena baginya orang itu pembeli layaknya yang lain. Mamanya paling muda sendiri di sini wajar saja warung mamanya selalu ramai pembeli.
Bukan hal yang patut untuk di ingat kecuali moment ketika ia mendengar.
“Menikah denganku. Ku bantu rawat anakmu.” Ucapnya penuh kepastian menatap mamanya dengan serius.
Andine tak mendengarkan percakapan selanjutnya karena ia lebih fokus memandangi ekspresi laki laki itu. Ia tak punya ayah layaknya anak anak lain. Namun, ia tak pernah merasa kekurangan kaka kaka mamanya kebanyakan laki laki selalu menunjukkan kasih sayang kepadanya hingga ia tak pernah merasa iri dengan teman temannya yang memilki orang tua lengkap. Andine tak pernah pula menanyakan apa pun ke mamanya atau keluarga yang lain. Baginya cukup mengetahui apa yang ada di depan matanya maka itu pun sudah cukup.
Ia tak ingin membuat mamanya kesulitan dengan pertanyan yang akan ia keluarkan. Ia merasa tak perlu mendengar apa pun tentang percakapan itu membuatnya memilih untuk tidur saja. Toh baginya itu urusan mamanya saja.
Nampaknya laki laki itu sama sekali tak menyerah sering kali ia datang ke sini untuk urusan kerja sesering itu pula ia menemui mamanya dan dirinya. Mengajaknya mengobrol pula.
“Dede.” Ucapnya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Laki laki itu tertawa kecil mengangguk paham membawakan beberapa hadiah untuknya dan tentu membuat mata Andine berbinar senang. Ia mengucapkan kata terima kasih itu pun setelah melihat mamanya memastikan ia boleh menerima hadiah hadiah itu. Mamanya menganggukkan kepalanya maka ia semakin senang.
“Pinter ya anak kamu.” Andine menyadari meski menggunakan bahasa Indonesia ada hal yang mengganjal dari pelafalan laki laki itu.
Nada bicaranya menjelaskan bahwa ia tak sepenuhnya bisa berbicara bahasa Indonesia. Ia mengetahui dari mamanya ada bahasa lain selain bahasa daerah mereka dan bahasa Indonesia. Yaitu, bahasa inggris yang di ucapkan. Tapi sesekali ia mendengar laki laki itu menggunakan bahasa china sama seperti keluarga jauhnya yang berada di Samarinda sana. Orang di sampingnya akan menjawab dengan fasih padahal nampaknya ia sama seperti kaka kaka mamanya yang lain. Tapi, bisa menggunakan bahasa asing itu membuatnya terus mendengarkan dengan seksama walau pun ia tak mengerti sedikit pun.
“Beritahu aja keluargamu dulu. Nanti berikan jawaban. Aku akan datang lagi.” Ia pergi setelah menyampaikan hal itu ke mamanya. Mamanya hanya menganggukkan kepalanya.