-That's Why He My Man-
•••
Semenjak ada dirimu
Semua terasa indahnya
Semenjak kau ada disini
Tak ingin melepaskanmu
(Semenjak Ada Dirimu – Andity)
Liburan semester berakhir 3 minggu yang lalu. Waktu berlalu cukup cepat bagi Bella yang statusnya kini adalah seorang istri. Perempuan itu menjalani long distance marriage dengan Tarmiji. Bella tidak masalah dengan hal tersebut, ia tetap bisa menjalani hari-harinya seperti biasa. Tidak ada yang berubah dari kehidupan perempuan itu. Namun perasaan lega luar biasa benar-benar mengisi rongga dadanya yang terasa sesak. Bella berhasil keluar dari rumahnya.
Rumah berlantai 2 yang diwariskan oleh mendiang papanya, kini dapat Bella tempati. Ia senang dengan aktivitasnya selama beberapa hari belakangan. Bella memulai harinya dengan ceria, meski kadang terburu-buru karena harus mengejar waktu agar tidak telat berangkat bekerja. Namun perempuan yang tahun ini akan menginjak usia 28 tahun itu jauh lebih hidup.
“Bu Bell, saya nggak mau tau pokoknya SPMB tahun ini kita harus capai target yang tahun lalu gagal dicapai.” Bu Tari memulai periode kepemimpinannya yang kedua dengan tekanan yang sama. Bella hanya mengiyakan saja, toh ujung-ujungnya ia akan selalu jadi tumbal empuk untuk dilempar ke Yayasan.
Bella juga masih jadi pribadi yang sama di sekolah, karena nyatanya tidak ada satupun rekan kerja yang mengetahui pernikahannya. “Bu Bell, jadwal sosialisasi udah ada belum? Saya mau request kalo bisa kebagian jadwal siang aja, biar sekalian bisa pulang,” ucap Humaira yang suaranya semakin kecil di ujung kalimat.
“Iya, tau kok, pasti jadwal les-nya makin padet kan? Saya udah bikin jadwalnya, nanti dikirim ke grup agak sorean ya? Saya nggak bawa laptop hari ini,” balas Bella.
Bella menutup jam pelajarannya dengan salam, jam kerjanya berakhir. Perempuan itu keluar dari ruang kelas usai menyalami siswa terakhir. “Makan apa ya nanti sore?” gumamnya bertanya-tanya.
Semenjak hidup sendiri, Bella jadi bernostalgia jaman-jaman ia masih kuliah di luar kota. Namun suasananya kali ini jelas berbeda. Bella akan menyambut kedatangan Tarmiji. Lelaki itu berjanji akan datang di akhir minggu ini. “Masak yang gampang aja kali ya? Semoga Mas Miji suka deh,” putus Bella sebelum perempuan itu meninggalkan tempat kerjanya.
Menjelang ashar, Tarmiji sampai di kediaman Bella. Perempuan itu menyalami suaminya dengan hormat. Ini akan jadi kali pertamanya mereka berdua tinggal serumah. “Kamu sehat, Bell?” Tarmiji memperhatikan istrinya yang masih mengenakan seragam pramuka.
Perempuan yang saat ini berjalan di depan Tarmiji itu menghentikan langkah. Ia menoleh dengan senyum di wajahnya. “Sehat dong, Mas Miji juga sehat kan? Atau ada yang sakit? Perjalanan dari Pasuruan ke sini kan jauh, pasti Mas Miji capek.” Bella balik bertanya.
Tarmiji balas tersenyum, lelaki itu memberanikan diri meraih tangan mungil istrinya. “Capek sih, tapi denger suara kamu di telepon tadi yang semangat banget buat masakin aku. Capekku mendadak berkurang. Aku mau makan dulu aja, mandinya bisa nanti. Aku pengin nyicip masakan buatan istriku,” tuturnya.
Bella mengulum bibirnya merasakan ribuan kupu-kupu berterbangan menggelitik perutnya. “Tapi kalo nggak enak, Mas Miji bilang ya! Jangan ditutup-tutupin, janji?” ucapnya sembari menarik tangan suaminya menuju dapur.
“Janji, Abel.” Panggilan itu meluncur dari bibir Tarmiji yang seketika membuat Bella hampir kehilangan keseimbangan jika suaminya tidak memegangi tubuhnya. Perempuan itu menoleh dengan tatapan tak terbaca. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Tarmiji khawatir.
Bella menggelengkan kepalanya. “Mas Miji panggil aku apa tadi?” tanyanya.
“Abel?”
“Udah lama aku nggak dipanggil pake nama itu. Cuma papa yang panggil aku Abel, Mas,” tutur Bella. Perempuan itu tersenyum sedih, hanya sang papa yang memanggilnya seperti itu. Katanya itu panggilan kesayangan.
Tarmiji mengusap lembut punggung tangan Bella. “Maaf kalau aku lancang. Aku nggak tahu kalau nama itu punya arti khusus buat kamu.”
Bella menggelengkan kepalanya lagi, kali ini dengan senyum yang lebih tulus. “Nggak apa-apa kok, Mas. Aku justru ... suka. Kedengarannya jadi lebih akrab. Papa pasti seneng kalau tahu ada yang manggil aku Abel lagi,” ujarnya pelan, menerawang seolah melihat sosok sang papa di sana.
Tarmiji tersenyum lega. “Kalau gitu, boleh aku panggil kamu Abel juga?”
Bella mengangguk mantap. “Boleh, Mas. Justru aku seneng.” Ia mengeratkan genggaman tangannya pada Tarmiji, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang selama ini hanya bisa ia rasakan melalui layar ponsel.
Mereka melanjutkan langkah menuju dapur. Aroma tumis sayur dan ikan goreng sederhana menyambut kedatangan Tarmiji. Lelaki itu langsung duduk di kursi meja makan, matanya berbinar menatap hidangan yang tersaji.
“Wah, dari aromanya udah kerasa enak, Bel,” puji Tarmiji tulus. “Aku udah laper banget, sengaja tadi nggak makan siang.”
Bella yang mendengar pernyataan Tarmiji, merasa terharu. Suaminya rela tidak makan siang demi bisa menyantap masakannya yang enaknya tidak seberapa ini. “Mas Miji coba ya. Ini masakan pertama aku. Aku udah ikutin sesuai resep, semoga Mas Miji suka.”
Bella mengambil nasi dan lauk pauk dan memberikannya pada Tarmiji. Lelaki itu berdoa lalu menyuapkan gigitan pertama ke mulutnya. Matanya terpejam sejenak, menikmati rasa masakan istrinya. “Enak, Abel! Beneran deh. Aku nggak bohong,” katanya dengan mulut penuh.
Bella tertawa lega. “Syukur deh kalau Mas Miji suka.” Ia ikut duduk di hadapan suaminya, memperhatikan dengan sayang lelaki yang telah mengisi hari-harinya dengan rindu selama beberapa minggu terakhir.
Usai makan sore, mereka bertukar cerita tentang kegiatan masing-masing. Tarmiji bercerita tentang perkembangan butiknya, tantangan dalam mencari supplier baru, dan rencana-rencana kecil untuk mengembangkan usahanya. Bella antusias mendengarkan, memberikan semangat dan sesekali ide-ide sederhana.
Bella juga bercerita tentang kesibukannya di sekolah, tingkah polah murid-muridnya yang selalu ada saja, dan tekanan dari Bu Tari menjelang SPMB. Tarmiji mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan dukungan moral dan sesekali memberikan saran yang bijak.
Malam itu terasa begitu hangat dan akrab. Meskipun baru pertama kalinya tinggal serumah setelah menikah, tidak ada kecanggungan yang berarti di antara mereka. Jarak yang selama ini memisahkan justru membuat setiap momen kebersamaan terasa lebih berharga.
Malamnya, Tarmiji membantu Bella membereskan dapur. Mereka bercanda dan tertawa, menikmati kebersamaan yang sederhana namun membahagiakan. Setelah selesai, mereka duduk berdua di ruang tamu, menikmati secangkir teh hangat sambil menonton televisi.
“Capek ya, Mas?” tanya Bella sambil menyandarkan kepalanya di bahu Tarmiji.
Tarmiji mengusap lembut rambut Bella. “Lumayan, tapi hilang semua begitu lihat kamu.”
Bella tersenyum dalam pelukan suaminya. Ia merasa begitu tenang dan nyaman berada di dekat Tarmiji. Kehadiran lelaki itu benar-benar membawa warna baru dalam hidupnya. Rumah yang dulunya terasa sunyi kini terasa lebih hidup dan penuh cinta.
“Mas di sini sampai kapan?” tanya Bella pelan.
“Sampai hari Minggu sore, Abel. Senin pagi aku harus balik lagi ke Pasuruan,” jawab Tarmiji.
Bella menghela napas pelan, namun ia tidak kecewa. Ia tahu Tarmiji memiliki tanggung jawab di sana. “Nggak apa-apa, Mas. Yang penting Mas Miji bisa di sini beberapa hari ini.”
“Iya, Sayang. Nanti kalau ada libur panjang, aku usahain bisa lebih lama di sini. Atau mungkin kamu yang nyusul ke Pasuruan,” ujar Tarmiji sambil mencium puncak kepala Bella.
Malam itu mereka habiskan dengan obrolan ringan dan kebersamaan yang hangat. Bella merasa begitu bersyukur dengan kehadiran Tarmiji dalam hidupnya. Meskipun jarak masih menjadi tantangan, hati mereka terasa semakin dekat. Akhir minggu ini menjadi awal dari babak baru dalam pernikahan mereka, babak di mana mereka mulai belajar untuk berbagi ruang dan waktu sebagai suami istri, meskipun belum setiap hari. Bella yakin, dengan cinta dan pengertian, mereka akan mampu melewati segala rintangan dan membangun rumah tangga yang bahagia. Panggilan ‘Abel’ dari bibir Tarmiji terasa seperti melodi indah yang akan selalu ia rindukan hingga pertemuan mereka berikutnya.
•••
-That's Why He My Man-