-That's Why He My Man-
•••
Maukah kau 'tuk menjadi pilihanku?
Menjadi yang terakhir dalam hidupku
Maukah kau 'tuk menjadi yang pertama?
Yang selalu ada di saat pagi ku membuka mata
(Pilihanku – Maliq & D’Essentials)
Tiga bulan berlalu terasa begitu cepat sekaligus lambat bagi Bella. Awalnya, hari-hari taaruf diwarnai dengan kecanggungan dan keraguan yang mendalam. Pertemuan-pertemuan dengan Tarmiji, baik yang didampingi Damar, Isabel, Bu Mira, Nora atau Pramudya bahkan kedua adik Bella, perlahan membuka mata Bella.
Tarmiji menunjukkan kesabaran dan pengertian yang luar biasa. Ia tidak pernah memaksakan Bella untuk segera membuka hati. Ia dengan tulus berbagi cerita tentang hidupnya, usahanya, keluarganya, dan pandangannya tentang pernikahan. Bella, meskipun awalnya diliputi keraguan karena merasa tidak pantas, mulai melihat ketulusan dan kebaikan hati Tarmiji.
Obrolan-obrolan mereka, yang awalnya kaku, lambat laun menjadi lebih hangat dan terbuka. Bella mulai berani bertanya tentang hal-hal yang lebih pribadi, tentang harapannya dalam pernikahan, dan tentang bagaimana ia melihat Bella sebagai seorang istri. Jawaban Tarmiji selalu tenang, bijaksana, dan penuh hormat, membuat Bella merasa dihargai dan diterima apa adanya.
Nora dan Pramudya menjadi saksi perubahan dalam diri Bella. Mereka melihat sahabatnya yang dulu murung dan tidak bersemangat kini mulai menunjukkan senyum yang lebih tulus. Bella sering bercerita tentang pertemuannya dengan Tarmiji, tentang bagaimana ia merasa nyaman dan dihargai.
“Aku nggak nyangka kamu bisa secepat ini, Bel,” kata Nora suatu malam saat mereka bertiga tengah melakukan panggilan video. “Dulu kayaknya kamu pesimis banget.”
Bella tersenyum tipis. “Awalnya memang gitu, Nor. Tapi Tarmiji ... dia sabar banget. Dia nggak pernah bikin aku ngerasa tertekan. Aku jadi ngerasa ... mungkin ini memang jalan yang benar.”
Pramudya tersenyum menatap Bella. “Nah, gitu dong! Akhirnya kamu nemuin juga pasangan yang bener.” Tidak sia-sia dirinya kadang meluangkan waktu sibuknya untuk ikut mengobrol dengan Bella dan Tarmiji via online.
Seiring berjalannya waktu, Bella menyadari bahwa ketakutannya selama ini perlahan menghilang. Ia mulai melihat sosok Tarmiji bukan hanya sebagai jalan keluar dari rumah, tetapi sebagai seorang pria yang memiliki visi hidup yang baik dan hati yang tulus. Ia merasa ada kedamaian dan ketenangan saat bersamanya.
Tarmiji pun merasakan hal yang sama. Ia melihat keteguhan hati Bella, meskipun awalnya tertutup. Ia mengagumi prinsip-prinsipnya dan kebaikan hatinya. Ia merasa yakin bahwa Bella adalah wanita yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya.
Maka di awal bulan Desember, Tarmiji datang kembali ke rumah Bella bersama Bu Mira. Suasana kali ini terasa berbeda. Tidak ada lagi kecanggungan yang kaku. Keduanya, Bella dan Tarmiji, memancarkan keyakinan dan kebahagiaan.
“Om Damar, Tante Isabel,” kata Tarmiji dengan mantap setelah duduk bersama kedua orang tua Bella. “Alhamdulillah, setelah menjalani masa taaruf ini, saya semakin yakin bahwa Allah telah menunjukkan jalan yang baik. Dengan segala kerendahan hati, saya ingin meminang Bella untuk menjadi istri saya.”
Damar dan Isabel saling bertukar pandang dengan haru. Mereka melihat kebahagiaan di mata putri mereka. “Bella, bagaimana dengan kamu, Nak?” tanya Damar lembut.
Bella menatap Tarmiji dengan senyum tulus yang belum pernah dilihat sebelumnya. “Bella juga yakin, Ayah. Bella bersedia menerima pinangan Mas Tarmiji.”
Air mata haru Bu Mira menetes. Damar menghela napas lega dan tersenyum bahagia. Isabel langsung memeluk Bella dengan erat.
Setelah momen haru tersebut, keluarga kedua belah pihak mulai membahas rencana pernikahan. Tanggal akad nikah pun ditetapkan. Bella dan Tarmiji sepakat untuk mengadakan acara yang sederhana namun khidmat, dihadiri oleh keluarga dan sahabat terdekat.
Bella merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kegelisahan dan keraguan yang dulu menghantuinya kini telah berganti dengan keyakinan dan harapan akan masa depan bersama Tarmiji. Ia tahu, perjalanan hidup berumah tangga pasti akan memiliki tantangannya sendiri, namun ia percaya bahwa bersama Tarmiji, ia akan mampu menghadapinya dengan baik.
Menjelang hari akad nikah yang dilaksanakan di penghujung bulan Desember, Bella merasa gugup namun bahagia. Ia menatap dirinya di cermin, mengenakan gaun akad nikah berwarna putih sederhana namun elegan. Di tangannya tergenggam erat buket bunga mawar putih. Acara akad nikah mereka dipersiapkan dengan konsep intimate wedding, hanya dihadiri oleh keluarga inti dan sahabat terdekat di sebuah ruangan yang didekorasi dengan sentuhan rustic yang hangat.
Damar duduk berhadapan dengan Tarmiji di hadapan penghulu, menggantikan mendiang ayah Bella sebagai wali nikahnya. Wajah Damar tampak haru namun tegar. Suara penghulu membimbing Damar mengucapkan ijab terdengar jelas di tengah keheningan yang khidmat.
Dengan suara yang sedikit bergetar namun penuh ketulusan, Damar mengucapkan, “ Ankaḫtuka wa zawwajtuka makhthûbataka Arabella Zahra binti Angger Dimas Setyabudi bi mahri 'asyarotun jiromatun minad dzahabi hallan. (Saya nikahkan kamu dan saya kawinkan kamu dengan perempuan pinanganmu Arabella Zahra binti Angger Dimas Setyabudi dengan mas kawin 10 gram emas tunai).”
Dengan satu tarikan napas, Tarmiji menjawab dengan lantang dan tegas, “Qabiltu nikâḫahâ wa tazwîjahâ bil mahril 'asyarotun jiromatun minad dzahabi haalan. (Saya terima nikah dan kawinnya Arabella Zahra dengan mas kawin berupa emas 10 gram, dibayar tunai).”
Seketika, ucapan "Sah!" menggema dari para saksi, diikuti dengan senyum lega dan haru dari kedua mempelai dan keluarga. Setelah dinyatakan sah sebagai suami istri, Bella menoleh ke arah Tarmiji dengan senyum lembut. Dengan gerakan penuh hormat, ia meraih tangan Tarmiji dan menciumnya.
Tarmiji membalas dengan senyuman hangat dan penuh kasih sayang. Kemudian, ia mengulurkan tangannya dan dengan lembut memegang puncak kepala Bella yang tertutup hijab. Dengan suara yang lirih dan khusyuk, Tarmiji mengucapkan doa, “Allahumma inni as'aluka khairaha wa khaira ma jabaltaha 'alaihi, wa a'udzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha 'alaihi. (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan watak yang Engkau ciptakan atasnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang Engkau ciptakan atasnya).”
Bella mendengarkan doa suaminya dengan mata berkaca-kaca, merasakan kehangatan dan ketulusan dalam setiap katanya. Ia percaya, ini adalah awal dari babak baru dalam hidupnya, babak yang penuh dengan cinta, berkah, dan kebahagiaan bersama Tarmiji.
•••
-That's Why He My Man-