-That's Why He My Man-
•••
Dan tak mungkin ku melewatkanmu hanya karena
Diriku tak mampu untuk bicara
Bahwa aku inginkan kau ada di hidupku
(Siapkah Kau ‘Tuk Jatuh Cinta Lagi – HIVI!)
Siang hari dengan cahaya matahari yang masuk melalui jendela besar. Bella duduk di salah satu kursi, ia tidak sendiri. Sudah barang pasti Bella akan bersama kedua sahabatnya. Namun kali ini ada Tarmiji yang mengikuti pertemuan tersebut.
“Oke, jadi ini nih cowok misterius yang bikin adik kecil kami deg-degan,” celetuk Nora sambil menyeringai jahil ke arah Bella, lalu menatap Tarmiji. “Saya Nora dan itu Bagas, kami temen Bella dari jaman kuliah.” Sengaja ia tidak mengulurkan tangan, karena dalam sekali lihat pun, Nora sudah paham bahwa Tarmiji tidak terbiasa berkontak fisik dengan perempuan yang bukan mahramnya.
“Jadi, Mas Miji ini profesinya apa nih selain bikin temen kami uring-uringan?” goda Pramudya.
Tarmiji tertawa sopan. “Loh Mbak Bella uring-uringan kenapa? Saya punya usaha clothing line kecil-kecilan di Pasuruan. Fokusnya ke pakaian muslim cowok,” ucapnya.
“Wah, keren! Sekarang lagi ngetren tuh yang gitu-gitu,” komentar Nora antusias. “Bella mah sukanya daster sama kaos oblong di rumah,” celetuknya lagi, membuat Bella melotot pura-pura kesal.
“Enak aja kamu!” balas Bella sambil tertawa kecil. Ia merasa sedikit lebih rileks dengan kehadiran kedua sahabatnya. Perempuan itu kemudian beranjak dari mejanya setelah pamit dengan kedua sahabatnya. Bella pergi menuju meja kasir, ia ingin menambah makanan untuk ia bawa pulang nanti.
Pramudya beralih ke Tarmiji. “Mas Miji ini kenal Bella di mana emangnya? Kok tiba-tiba ada niatan langsung taaruf gini? Padahal kalo diliat-liat, temen saya ini susah sekali kasih first impression yang menarik di mata lelaki,” tanya Pramudya. Ia benar-benar ingin mencari tahu tentang calon pasangan temannya.
“Jujur saya sudah tau Mbak Bella jauh sebelum saya mengajak Mbak Bella taaruf. Saya juga pernah ketemu Mas Bagas di Sky Hotel,” ucap Tarmiji.
Kening Pramudya berkerut. “Sky Hotel? Saya nggak pern … wait, what?!” Balasnya ketika menemukan jawaban atas kebingungannya. Pramudya menggali sedikit ingatannya, lelaki itu ingat satu-satunya hotel yang ia kunjungi pertama dan terakhir kalinya karena insiden Bella yang hampir meregang nyawa. Tidak ia sangka, lelaki yang mengajak sahabatnya untuk menikah itu adalah sosok yang pernah menjadi penyelamat nyawa perempuan itu. “Mas Miji cowok yang nelpon petugas hotel? Oh you’re the informan! Thanks, Mas. Kalo bukan karena laporan Mas Miji, saya nggak akan bisa duduk di sini lagi,” ujar Pramudya.
Nora menatap aneh Pramudya. “Kenal, Gas?” tanyanya.
Pramudya mengangguk. “Inget kan kejadian waktu Bella hampir nggak ada? Waktu kita masih awal kenal. Kita lagi sering main dan waktu itu papanya Bella meninggal,” jelas lelaki itu. Seketika ingatan Nora terlempar pada kejadian yang membuatnya takut setengah mati. Ketakutan itu bahkan kadang masih terasa menghantuinya. Melihat medis menangani sahabatnya yang saat itu hampir kehilangan nyawa, sungguh ia tak ingin lagi melihat hal yang sama.
“Mas Miji ini beneran serius sama temen saya?” tanya Nora. Ia juga sama penasarannya dengan sosok di hadapannya ini. Meskipun Tarmiji pernah jadi salah satu orang yang menyelamatkan Bella, namun Nora tidak bisa menampik kalau dia masih butuh banyak tambahan informasi yang dapat membuat dirinya mengatakan, ya.
Tarmiji mengangguk. Lelaki itu menceritakan ulang beberapa pertemuannya dengan Bella. Pramudya dan Nora mendengarkan dengan seksama, keduanya saling melempar pandangan. “Takdir selalu membawa saya ke titik terendah Mbak Bella. Saya ingin takdir juga membawa Mbak Bella untuk merasakan perasaan lain. Tapi saya tahu, Mbak Bella butuh banyak waktu untuk sembuh. Saya ingin mengenal semua kurangnya dia, dia juga harus kenal semua kurangnya saya. Kami ingin bisa saling menemukan kata sepakat,” jelasnya.
Nora dan Pramudya saling pandang dengan tatapan penuh arti, lalu kembali menatap Bella dengan alis terangkat. Bella yang baru saja kembali ke meja merasa bingung ditatap oleh kedua sahabatnya. “Kenapa deh kalian ini?” tanyanya. Keduanya langsung mengalihkan pandang dan membahas topik lain.
“Jadi, selama taaruf ini, kalian berdua ada target apa nih?” tanya Nora langsung to the point. “Biar nggak cuma sekadar ngobrol ngalor ngidul.”
“Kalau dari saya sih, yang penting bisa saling mengenal lebih dalam,” jawab Tarmiji dengan tenang. “Melihat visi misi hidup, nilai-nilai keluarga, dan ya ... kecocokan hati.” Ia melirik Bella sekilas.
Bella berdehem sebelum menjawab, “Saya pengen tahu lebih banyak tentang Mas Miji. Kalo di pertemuan sebelumnya, saya udah tau latar belakang keluarga, pendidikan, pekerjaan Mas Miji. Saya pengin tau kira-kira ada nggak hal-hal yang penting untuk saya ketahui sebelum kita melanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Mungkin tentang personality-nya Mas Miji sendiri.”
“Nah, gitu dong, Bell! Jangan cuma diem aja kayak patung,” seru Pramudya menyemangati. “Tanya aja semua yang pengen kamu tahu. Jangan ada yang ditutup-tutupin.”
Obrolan pun mengalir lebih santai. Nora dan Pramudya sesekali ikut bertanya dan menggoda, mencairkan suasana yang awalnya sedikit kaku. Bella mulai memberanikan diri bertanya tentang latar belakang Tarmiji, pendidikannya, dan bagaimana ia membangun usahanya. Tarmiji menjawab dengan sabar dan terbuka. Meskipun Bella belum merasakan getaran cinta yang kuat, ia merasa nyaman dengan Tarmiji dan menghargai kesungguhannya.
Kehadiran Nora dan Pramudya membuatnya merasa lebih aman dan tidak sendirian dalam menjalani proses ini. Ini berbeda dengan pertemuan pertama Tarmiji dengan Bella yang didampingi oleh Damar dan Bu Namira. Bella bahkan sampai bingung harus merespon seperti apa karena rasanya sangat canggung.
Damar membuka percakapan dengan senyum ramah. “Jadi, Nak Miji, bagaimana kabarnya setelah perjalanan dari Jawa Timur? Semoga tidak terlalu melelahkan.”
“Alhamdulillah baik, Om Damar. Perjalanan lancar,” jawab Tarmiji dengan sopan. “Senang sekali bisa kembali berkunjung ke sini.”
Bu Namira menimpali dengan nada lembut. “Iya, Pak Damar. Kami juga senang bisa bertemu Bella lagi dalam suasana yang berbeda.” Ia melirik Bella dengan senyum hangat seorang ibu kepada calon menantunya.
Bella membalas senyum Bu Namira dengan anggukan kecil, masih merasa sedikit canggung untuk memulai percakapan. Damar mengajukan sebuah tanya pada Tarmiji. Sebagai seorang ayah, ia juga menginginkan hal baik untuk anaknya. “Nak Miji, sebagai orang tua, tentu saya berharap Bella mendapatkan pasangan yang tidak hanya baik, tapi juga bisa membimbingnya dalam agama dan kehidupan. Bagaimana pandangan kamu tentang hak dan kewajiban suami istri dalam Islam?”
Tarmiji menjawab dengan hormat. “Tentu, Om Damar. Dalam Islam, suami memiliki kewajiban untuk menafkahi keluarga, melindungi, dan membimbing istri. Istri memiliki kewajiban untuk taat kepada suami dalam kebaikan, menjaga kehormatan diri dan keluarga, serta menjadi pendamping yang solehah. Keduanya memiliki hak untuk saling mencintai, menghormati, dan memperlakukan dengan baik. Intinya adalah kemitraan dalam meraih ridha Allah.”
Bu Namira menambahkan, “Yang penting juga saling pengertian dan komunikasi yang baik, Pak Damar. Tidak ada yang lebih dominan, semuanya punya peran masing-masing.”
Bella mendengarkan, merasa sedikit terbebani dengan ekspektasi ayahnya. Apa ia bisa menjadi istri seperti yang diharapkan?
Damar melanjutkan, “Dalam berumah tangga pasti ada saja masalah. Bagaimana pandangan kamu, Nak Miji, tentang cara menghadapi dan menyelesaikan masalah tersebut?”
“Saya percaya bahwa musyawarah dan komunikasi yang efektif adalah kunci. Kami akan saling mendengarkan pendapat, mencari solusi yang terbaik berdasarkan Al-Qur'an dan sunnah, serta mengedepankan kesabaran dan saling memaafkan.” Tarmiji menjawab dengan tenang.
Bella menimpali pelan, “Iya, Ayah ... komunikasi itu penting.” Namun, ia khawatir tidak bisa bersikap dewasa dalam menghadapi masalah rumah tangga. Sebagai seorang perempuan yang pernah menjalani hubungan jangka panjang, Bella juga paham betapa pentingnya komunikasi.
Bu Namira kemudian menambahkan, “Setelah menikah nanti, Miji juga punya rencana tempat tinggal, Pak Damar.”
Tarmiji menjawab dengan mempertimbangkan. “Untuk sementara ini, mungkin saya akan tetap di Pasuruan karena usaha saya di sana. Tapi kami terbuka untuk diskusi jika Mbak Bella memiliki pertimbangan lain.” Ia menatap Bella sekilas. Inginnya sih menatap lama, tapi rasanya tidak sopan.
Bella merasa tersentuh dengan keterbukaan Tarmiji, namun ia belum memiliki bayangan tentang meninggalkan Purwokerto.
Damar kemudian mengajukan pertanyaan yang juga menjadi pertimbangan Bella. “Bagaimana dengan pekerjaan Bella, Nak Miji? Apakah kamu mengizinkannya untuk tetap bekerja setelah menikah?”
“Saya menghargai keinginan Mbak Bella untuk berkarier. Selama pekerjaannya halal dan tidak melalaikan kewajiban sebagai istri dan ibu kelak, saya tidak keberatan. Tentu saja, ini perlu dibicarakan lebih lanjut dan disepakati bersama,” jawab Tarmiji.
Mendengar jawaban Tarmiji, Bella merasa sedikit lega. Namun, ia masih merasa tidak yakin apakah dirinya pantas mendapatkan kebaikan dan pengertian seperti itu. Ia merasa proses taaruf ini semakin membuatnya menyadari betapa banyak hal yang perlu ia pertimbangkan dan persiapkan.
Berbeda dengan Tarmiji yang memang jarang menatap ke arah Bella. Bella justru masih bisa terang-terangan menatap calon suaminya itu. Maklum saja saat ini perempuan itu bersama dengan sahabatnya. Kalau ia berada di rumah seperti minggu sebelumnya, sudah pasti ia akan terus menunduk sampai lehernya pegal.
“So, apa saya perlu khawatir tentang hal lain soal Mas Miji? Saya sendiri bukan tipikal orang yang ribetin suatu hal. Kalo memang ada yang kurang nyaman, saya bisa langsung bicarakan. Tapi ada beberapa kondisi yang bikin saya pikir-pikir untuk bicara, seperti mungkin saya masih belum merasa nyaman atau memang hal tersebut perlu diolah lagi sebelum saya utarakan.” Bella bicara dengan lugas. Ia akan jujur sejujur-jujurnya tentang dirinya sendiri.
“Bella anaknya nggak ribet, Mas. Selama saya kenal dia, kalo dibandingkan dengan Nora, lebih ribet Nora. Bella kadang lebih pilih jalan yang cepat. Dia nggak suka kalau dirinya harus ribet, tapi sebagaimana perempuan dia juga pasti punya sisi feminim yang memang sudah jadi tabiatnya perempuan.” Pramudya menambahkan.
Nora mengangguk menyetujui kemudian berujar, “Betul, Mas Miji. Bella ini tipikal independent woman, tapi she’s still a girl. Dia juga butuh dilindungi, diayomi dan diperlakukan sebagaimana perempuan terhormat diperlakukan.”
Tarmiji mengangguk mengerti. Meski hanya bertemu beberapa kali, ia dapat memahami beberapa sifat yang Bella tunjukan. “Saya mengakui kalau diri saya juga masih jauh dari kata baik. Terlebih ketika saya mendengar kriteria calon pasangan yang Mas Miji bilang, jujur saya merasa tidak percaya diri,” ujar Bella.
“Semua punya baik buruknya masing-masing, Mbak Bella. Kita manusia hanya bisa berikhtiar. Saya juga tidak mengharapkan pasangan yang sempurna dalam segala hal, selama kita masih bisa saling mentoleransi dan komunikasi yang baik. Semua masalah pasti punya jalan keluarnya. Saya ingin pasangan yang bisa saling bertumbuh, karena hidup juga pasti akan berubah. Saya mau belajar bersama dan saling memperbaiki satu sama lain.” Tarmiji memberanikan diri menatap Bella. Perempuan itu mengulas senyum dan mengangguk dengan tenang. Sosok yang ada di hadapannya kini adalah perempuan dewasa yang terlihat tegar dan kuat.
Obrolan terus berlanjut sampai waktu ashar tiba. Bella menemukan ketenangan dalam dirinya. Ia tidak salah memilih Tarmiji menjadi pendamping hidupnya. Meski hanya diskusi kecil yang mereka lakukan, namun Bella sedikit mendapat gambaran tentang kehidupannya nanti setelah menikah. Bella menyadari dirinya bukan pribadi yang baik dan religious seperti yang diidam-idamkan Tarmiji. Tetapi seperti apa yang lelaki itu bilang, manusia hanya bisa berikhtiar dan berdoa, sisanya tawakal. Selama tidak berputus asa, Tuhan pasti akan selalu membantu umat-Nya.
“Gimana, Bella? Mas Miji? Apakah sudah ada gambaran mau mengambil langkah apa setelah ini?” tanya Nora.
“Saya rasa, saya siap untuk datang berkunjung ke rumah Mbak Bella lagi.” Tarmiji menjawab dengan penuh keyakinan.
Bella mengiyakan hal yang sama. “Saya siap menerima kedatangan Mas Miji lagi.”
Maka senja itu menjadi pertanda bahwa kedua anak manusia itu akan saling meminta pada Tuhan mereka. Meminta sebuah keteguhan hati untuk melangkah ke jenjang selanjutnya. Saling memperbaiki diri dan membangun ikatan suci. Meski tidak sempurna, tidak ada salahnya saling melengkapi dan mengisi. Bella tersenyum sangat tipis, Benar, jika Rakha tidak bisa melakukannya, maka orang lain akan maju menggantikan lelaki itu. Itu benar terjadi.
•••
-That's Why He My Man-