-That's Why He My Man-
•••
I can forgive you for a lot of things
For not giving me back my Tiffany rings
I'll never forgive you for one thing, my dear
You wasted my prettiest years
(Toxic Till The End – Rosé)
Setelah perdebatan yang cukup alot, Bella berhasil mendapatkan hari senin sebagai jadwal piketnya selama liburan. Perempuan itu sudah siap dengan kemeja biru muda dengan model slim fit, celana kerja warna hitam dan pashmina dengan warna senada dengan bawahannya. Outfitnya hari ini ia padukan dengan heels hitam dan sling bag hitam.
Perempuan itu mematut dirinya di depan cermin full body. Ia jadi teringat dengan perjuangannya dalam merengek meminta jadwal piketnya dimajukan. Padahal semester sebelumnya ia santai saja ketika dapat hari apapun itu.
“Bu Nis, pokoknya untuk minggu pertama aku berangkat sampai jum’at nggak apa-apa. Minggu dikosongin. Please, Bu. Aku udah beli tiket ke Bandung. Sayang banget kalo sampe di-cancel lagi,” rengek Bella.
Bella tidak menyerah sampai akhirnya Kanisa yang bosan mendengar. Perempuan yang setahun lebih tua dari Bella itu memutuskan menjadwalkan Bella di hari senin sampai jum’at di minggu pertama, dengan catatan perempuan itu harus datang lebih awal dan tidak lupa mengecek seluruh ruangan.
“Ayaaah, ayo berangkat!” ajak Bella sembari menuruni tangga.
“Sarapan dulu, Bella. Lagian ini masih jam 7, piketmu mulai jam 8.” Itu suara Isabel. Semenjak melihat kedekatan putri sulungnya dengan sang ayah, ia turut senang melihatnya.
Bella memasuki dapur, perempuan itu meletakkan tab-nya di atas meja makan. Ia mengecup pipi ayahnya yang tengah menikmati secangkir teh pagi dan koran di tangan. “Ibu masak apa?” tanyanya ketika tidak melihat hidangan apapun yang memikat seleranya.
“Kok ibu nggak dicium?” protes Isabel yang langsung mendapat kecupan di pipi wanita itu.
“Ibu nggak masak, tapi bikin sandwich buat sarapan, nih,” lanjut Isabel sembari menyuapkan sepotong sandwich pada mulut putri sulungnya.
Bella makan dengan lahap. Rumah terasa sepi ketika Shadira memutuskan untuk mengambil tawaran beasiswa kuliah di Singapura, sedangkan Dimas menjalani magangnya. Hanya tersisa Damar, Isabel dan Bella.
“Pulang jam berapa nanti kamu, Bella?” tanya Isabel.
“Jam satu, Bu. Semua barang aku udah beres semua kok, pokoknya nanti ayah harus anter aku ke stasiun,” jawab Bella sembari mengingatkan ayahnya.
“Kereta kamu berangkat jam berapa sih? Kamu dari kemarin ingetin ayah mulu tapi ayah nggak tau kamu pastinya berangkat jam berapa,” tutur Damar sembari menutup korannya. Pria itu memfokuskan diri menatap putrinya yang hari ini berpenampilan cantik.
“Kamu mau piket di sekolah loh, Bell. Bukan mau ngantor apa lagi ngafe.” Damar berkomentar lagi.
Bella merengut. “Aku kan sekalian berangkat nanti sore, Yah. Males ah mau ganti-ganti,” ucapnya.
Damar menghela napasnya. “Kan masih lama Bella. Masih ada 10 jam lagi, Bell,” ujarnya sembari menghabiskan sandwich yang tinggal separuh.
Bella menggerakan jari telunjuknya menolak mengganti pakaiannya. “Jawabannya tetep nggak mau, Yah. Ayah tau nggak sih aku udah make up lama buat dapetin look cantik ini?” Perempuan itu mengecek riasannya.
“Kamu nggak lagi datang bulan kan, Bell?” Damar masih kukuh untuk membuat Bella berubah pikiran.
Anak sulungnya itu akhirnya mendelik menatap Damar. “Iya udah iyaaaa. Nanti aku ganti baju aja pas mau berangkat ke Bandung,” putusnya.
“Nah gitu, nanti pakai baju yang ayah pilihin aja,” ucap Damar santai.
“Nooooooo, Ayah. Nggak mauu, please jangann pilihin baju buat Bella.” Bella merengek. Baju pilihan ayahnya tidak cocok disebut outfit dan Bella sangat-sangat menolak hal itu.
Damar mengabaikan rengekan putrinya. Pria itu menyelesaikan sarapan dan merapikan meja makan. Mencuci alat makan yang ia gunakan dan mengelap tangan sesuainya. “Yuk berangkat, Ayah ada agenda rapat pagi ini,” ajaknya.
Bella memajukan bibirnya, tak bisa lagi mendebat keputusan ayahnya. Perempuan itu diantar Damar menggunakan mobil.
“Nanti mau dijemput atau pulang bareng temenmu?” tanya Damar saat ia sampai di depan gerbang sekolah Bella.
“Nanti aku pulangnya bareng Nora, Yah. Tiket dia di aku,” ucap Bella. Damar mengangguk mengiyakan. Bella mengambil tangan ayahnya dan mencium punggung tangannya. “Assalamu’alaikum, bye ayaaah,” pamit perempuan itu sebelum keluar dari mobil dan langsung lari memasuki sekolah.
“Lihat sendiri kan, Ngger. Gimana aku bisa rela lihat dia nikah, dia aja masih keliatan kaya anak SMA gini,” gumam Damar. Pria itu menunggu sampai Bella benar-benar hilang dari pandangannya sebelum melaju menuju kantornya.
Bella selalu jadi yang pertama datang ke tempat kerja, pun ketika piket, perempuan itu masih sendirian di jam 8 ini. Jemima─partner piketnya dari jaman dirinya masih baru bekerja─baru akan sampai 15 menit lagi.
Bella membuka tab-nya dan membuat meeting room. Perempuan itu mengirim link undangan ke Nora dan Pramudya. Saat kedua orang tersebut muncul di layar tab, Nora langsung menjadi yang paling berisik.
“Bellaaa! Ini aku bawa baju berapa stel astagaa. Masa koperku udah mau 3─”
“Yang bener aja, Ra?! Gila kali bawa segitu banyak. Lagian kamu nggak ada jadwal di RS?” potong Pramudya.
“Ish, berisik banget kamu, Gas. Gausah ikut campur deh!” sungut Nora.
“Nora, adik kecil … kamu itu perlu diingetin gimana liburan kita sebelumnya, ya?”
Bella tertawa pelan. “Aku cuma bawa 1 koper, Noy. Bawa 4 atasan sama 3 bawahan, pokoknya sesedikit mungkin karena aku takut khilaf beli baju di sana,” tuturnya. Perempuan itu mengikuti saran ayahnya, untuk tidak membawa banyak baju.
Nora terdiam sesaat kemudian mengangguk. “Oke, aku ikut kamu. Btw, aku otw jam 10 nanti kemungkinan sampe tempat kamu jam 1 pas, Bell. Kamu, Gas … dapat tiket jam berapa?” ucap dan tanya Nora.
“Aku jam 9, selisih 1 jam sama kalian. Jadi, tunggu di stasiun, ya! Jangan keluar dulu sebelum aku gabung sama kalian!” peringat Pramudya.
“Tapi udah aman kan ini? Piketmu udah fix kan, Bell? Kamu juga, Gas, udah kelar kerjaanmu?” tanya Nora.
“Aman, Ra. Lagian aku freelance kali jadi ya bebas aja mau kemana-mana. Lagi nggak ada proyek yang terlalu mepet.” Sebagai web developer, hidup Pramudya tampak santai-santai saja. Lelaki itu bisa kemanapun sesukanya tanpa takut kena gampar atasan karena dia bosnya.
“Ini lagi piket, Noy. Piketku minggu depan juga hari kamis, jadi abis dari Bandung masih ada waktu buat istirahat,” ucap Bella.
“Okay, aman semua berarti. Jangan lupa check rundown, yak! Btw, aku baru cek kalo kamu cuma pesen 1 kamar, Bell. Beneran?” tutur Nora memastikan.
Bella mengangguk santai. “Iya, itu udah ngabisin 6 juta tau. Tabunganku kayak dikuras habis cuma buat bayar tidur sama makan astaga,” ujarnya.
“Gas, kamu kan banyak duit nih, yaa itung-itung mah uang tutup mulut─”
“Iya, santai aja. Besok kalo ada urgensi, biar pake duitku,” potong Pramudya yang sudah hafal dengan Nora.
“Raisha tau kamu liburan?” tanya Bella yang jelas mendapat gelengan dari Pramudya. Lelaki itu mana berani bilang pada Raisha.
“Kapan nikahnya si kamu, Gas? Masa selamanya mau nempel sama kita mulu,” komentar Nora.
“Hm … akhir tahun mungkin,” tanggap Pramudya.
“Heh!? Seriusan kamu!?” Mata Nora membulat mendengarnya.
“Iya kalo Bella mau, ya nggak, Bell?” Pramudya menaik turunkan alisnya menggoda Bella yang jelas tak tertarik.
“Sekalipun aku pengin nikah tahun ini, aku juga nggak bakal mau nikah sama kamu, Pram. Sorry, ya, aku masih sayang nyawa dan aku lebih cinta karirku meski tiap hari pengin resign,” jawab Bella.
“Resign aja, Bell. Nanti daftar kerja di kafe aku aja,” ucap Pramudya.
“Dapet trip liburan di Bali tiap bulan nggak?” tanya Nora.
“Rugi bandar dong aku, yang bener aja lah. Eh, udah dulu, ya! Mau ngabarin Isha dulu, dia ngomel kalo nggak ditelfon tiap hari,” ucap Pramudya yang langsung meninggalkan meeting room.
“Kok seorang Raisha yang alim dan suka berbagi ilmu itu bisa betah ya punya cowok kaya Pramudya Bagas yang jelas-jelas modelan buaya darat gitu?” Nora memulai sesi julidnya.
Bella mengendikkan bahu. “Entah, kena pelet kali,” jawabnya.
“Btw, udah bilang Rakha kalo kamu ke Bandung, Bell?” tanya Nora yang ditanggapi dengan anggukan pasti dari Bella.
“Mau ketemu dia?” Nora bertanya lagi.
“Katanya sih enggak. Lagi hectic tiap pertengahan tahun. So, nggak ada kesempatan buat ketemu,” ucap Bella.
Perempuan itu terlihat tenang dan tidak sedih, seolah sudah biasa-biasa saja dengan kelakuan Rakha. “Pedih banget, Bell. Ah udah deh, kita ke Bandung buat seneng-seneng! Bukan buat sedih-sedih, buktiin ke Rakha kalo tanpa dia pun kamu bisa ke tempat-tempat yang kamu suka!” tutur Nora.
Bella tersenyum. “Yaudah kelarin dulu tata barang terus kabarin kalo udah sampe, Noy,” ucapnya.
Bella mengakhiri meeting room-nya saat ia dan Nora sudah saling pamit. Bella beranjak keluar ruang guru dan mulai mengelilingi sekolah sesuai janjinya pada Kanisa untuk mengecek seluruh ruangan.
Bibir Bella tak berhenti bersenandung seiring langkahnya menyusuri koridor sekolah. Usai berkeliling, Bella kembali ke kantor dan menemukan Jemima sudah berada di bangkunya.
“Aman, Bell?” tanya Jemima.
“Aman, Bu Mima,” jawab Bella yang kemudian duduk di bangkunya sembari membereskan buku-bukunya. Mejanya harus rapi meskipun itu mustahil. Tiga tahun menjabat sebagai kesiswaan, Bella tak pernah melihat mejanya tidak berantakkan.
“Kenapa ya kita harus piket? Padahal sekolah lain yang piket itu yang udah pns.” Jemima bersuara di tengah sibuknya mereka membereskan meja kerja masing-masing.
“Biar adil aja nggak sih? Namanya juga kerja, kalo yang piket cuma 3 orang ntar yang lain dibilang makan gaji buta lagi,” jawab Bella seadanya.
Pukul 1 siang, Jemima pulang usai menghabiskan semangkuk mi ayam seberang sekolah. Sedangkan Bella masih menunggu kabar dari Nora. Perempuan itu kembali mencoba menelpon sahabatnya.
“Noy, sampe mana?” tanya Bella saat telepon terhubung.
“Ini nih, bentar lagi depan sekolah. Nah udah keliatan tuh,” jawab Nora.
Bella bergegas meraih sling bagnya dan keluar dari kantor. Perempuan itu pamit pada Pak Naryo─penjaga sekolah. “Pak Naryo, tolong nanti kunci lagi, ya. Saya pamit duluan, Pak,” ucap Bella.
“Numpang tidur ya, Bell?” tutur Nora ketika Bella masuk ke mobil gadis itu.
“Iya nanti di rumah, Noy,” ucap Bella.
“Nggak bakal telat kan kalo tidur dulu?” tanya Nora sembari menyetir,
“Nggak lah, lagian masih lama juga. Habis ashar, Noy. Tidur siang nggak bakal bikin telat,” jelas Bella.
“Rakha beneran nggak mau ketemu, Bell?” tanya Nora lagi. Perempuan itu jelas masih penasaran dengan sosok Rakha yang tidak pernah dilihatnya baik melalui foto, video maupun langsung.
“Hm, gitu deh. Sebenernya ya pengin ketemu tapi kan dia sibuk, Noy. Sebagai cewek yang dewasa dan pengertian bukannya lebih baik nggak usah maksa ketemu, ya?” jawab Bella. Ia juga sebenarnya ingin bertemu dengan Rakha. Ingin melihat bagaimana rupa asli lelaki itu. Tetapi dirinya tidak bisa memaksakan kehendak.
“Kalo kata Bagas sih, bego banget jadi cewek, gitu pasti.” Nora tertawa diujung ucapannya. Bella terkekeh juga.
“Keknya iya deh. Aduh, apa putus aja, ya?” tanya Bella.
“Katanya sayang, udah jalan 6 tahun kan ini? Nanti cari jodoh dimana lagi yang modelan Rakha, yang mau menerima segala keburukan seorang Arabella Zahra. Padahal ya, Bell, yang mau sama kamu tuh banyak. Coba aja nanti kamu putus, sebulan kemudian pasti ada cowok ngejar-ngejar kamu. Ah, jangan sebulan deh, kelamaan, seminggu kemudian pasti ada cowok yang pengin seriusin kamu,” ucap Nora serius.
“Besok deh,” tanggap Bella seadanya. Ia saja masih merasa takut dengan pernikahan. Teman-temannya yang sudah lebih dulu menikah, kebanyakan bercerai karena ketidakstabilan finansial dan mental. Bahkan anak-anak mereka yang harusnya dapat kasih sayang utuh, terpaksa tinggal dengan nenek dan kakek yang tentu cara mereka mendidik dan merawat jelas menyesuaikan jaman mereka sendiri.
“Bener, ya? Sampe Bandung besok putus kamu harus,” ujar Nora.
“Putus juga alasannya apa sih, Noy? Ada nggak alasan yang nggak perlu bikin aku keliatan kek cewek jahat gitu?” tanya Bella.
“Yaa nunggu dia selingkuh itu mah. Tapi ya nggak mungkin juga kamu diselingkuhin. Mana ada cowok yang berani kek gitu. Kamu baik begini, udah gitu royal dan loyal parah. Kalo ada yang selingkuhin kamu, udah pasti nggak waras tuh orang … Nah sampai kitaa.” Nora memakirkan mobilnya di halaman rumah orang tua Bella. Perempuan itu turun dan disambut oleh Isabel.
“Nora apa kabar?”
“Baik, Bu. Ih Nora kangen banget makan soto buatan ibu. Nora pengin lagi dong,” ucap Nora sembari mengurai pelukannya dengan Isabel.
Bella menggelengkan kepalanya. Nora memang manja pada Isabel. Tidak seperti Bella yang notabenenya anak kandung, Nora justru lebih natural dalam bersikap seperti seorang anak dan ibu ketika bersama Isabel.
“Yuk bikin soto sama Ibu,” ajak Isabel sembari menggandeng tangan Nora masuk ke dalam rumah.
“Mampus,” ucap Bella tanpa suara. Perempuan itu berjalan di belakang Nora yang menatap melas ke arahnya. Jangan harap Bella akan menolongnya, salah sendiri memancing Isabel. Isabel itu paling suka diajak bertempur di dapur kesayangannnya. Sudah pasti wanita itu akan senang hati mengajak Nora membuat soto.
Maka siang itu Nora gagal menikmati waktu tidur siangnya. Perempuan itu berada di dapur dan memasak soto bersama Isabel. Bella tentu saja dengan senang hati menguasai tempat tidurnya sendirian.
“Bellaaaa, capekkkk,” keluh Nora ketika dirinya masuk ke dalam kamar Bella. Perempuan itu datang dengan wajah kusut dan parfumnya sudah berganti dengan aroma kuah soto. Bella terkekeh geli.
“Mandi gih, terus siap-siap. Nggak usah make up, percuma orang nanti juga tidur di kereta,” ucap Bella.
“Aku mandii, yaa. Kamu mandi nanti setengah 6. Btw, sotonya udah mateng, jadi nanti aku wajib makan 2 porsi sebelum goes to Bandung. Ah, senengnya bisa libur lama gini.” Nora menghampiri lemari Bella dan memilah baju yang ingin dia pakai. Perempuan itu tak ingin ribet mengambil baju dari dalam mobilnya. “Pinjem ya, Bella cantik,” ucap Nora sebelum menghilang dari kamar.
Bella tidak menanggapi Nora. Perempuan yang sedang asyik scroll tiktok itu mengabaikan sahabatnya sampai dering telepon menghentikan aktivitasnya.
“Halo, Pram? Kenapa?”
“Bell, bagi lokasi rumah dong. Cepet ya.” Panggilan itu langsung di tutup sepihak oleh Pramudya.
Bella mengerutkan kening namun tetap melakukan apa yang Pramudya minta. Lelaki itu hanya membaca pesannya. Bella mengendikkan bahu. Perempuan itu beranjak dari tempat tidurnya dan menyiapkan baju, namun kegiatannya terhenti saat pintu kamarnya diketuk.
“Bella?”
Damar masuk membawa sebuah paper bag berwarna hitam. “Nah ini yang ayah janjiin tadi pagi, dipake ya,” ucap pria itu sembari meletakkan bawaannya di atas meja belajar Bella.
“Pasti isinya bukan style aku banget,” tanggap Bella sembari melirik paper bag itu.
“Itu cocok banget sama anak ayah. Kamu cuma berangkat berdua sama Nora? Bagas nggak ikut?” tanya Damar.
“Ikut kok, tapi dia berangkat sendiri soalnya beda jadwal kereta. Besok paling ketemu di stasiun,” jelas Bella. Damar mengangguk paham kemudian pamit keluar dari kamar putrinya.
Pramudya sampai di rumah Bella tepat saat adzan ashar berkumandang. Lelaki itu terlihat kusut dari tampilannya yang acak-acakan. Pramudya ikut menikmati makan sore sebelum akhirnya Damar mengantarkan anak-anak muda itu ke stasiun.
“Hati-hati di perjalanan, besok kalo udah mau pulang, kabarin ayah ya,” ucap Damar di pintu gerbang keberangkatan.
“Iya, Yah.” Bella menanggapi singkat. Perempuan itu masih tidak mood karena mengenakan gamis warna pink pastel.
“Anak ayah cantik loh, masa masih cemberut aja. Justru kalo pakai begini makin cantik. Sini peluk bentar,” tutur Damar. Bella masuk ke dalam pelukan ayahnya.
“Baik-baik ya anak ayah, kalo ada apa-apa telpon langsung ke ayah,” lanjut Damar. Bella hanya mengangguk dan melepas pelukan.
Diumumkan bahwa Kereta Api Joglosemarkerto tujuan Bandung akan segera berangkat pada pukul 17.30 WIB dari jalur II. Kepada para penumpang yang telah memiliki tiket, dimohon untuk segera memasuki gerbong. Pastikan barang bawaan anda tertata dengan rapi. Bagi penumpang yang akan melanjutkan perjalanan ke Bandung, harap perhatikan informasi mengenai kemungkinan transit atau koneksi kereta berikutnya setelah tiba di stasiun selanjutnya. Bagi pengantar, dimohon untuk segera meninggalkan area peron karena pintu kereta akan segera ditutup. Selamat menikmati perjalanan anda. Terima kasih.
Bella dan kedua sahabatnya masuk ke gerbong penumpang dan mencari tempat duduk mereka. “Aduh-aduh kaki pegel banget,” keluh Nora sembari melepas heels putihnya. Perempuan itu mengangkat kaki dan berselonjor. Sengaja dia meluruskan kaki ke atas paha Bella yang membuat sahabatnya itu ikut mengeluh.
“Noya ih, aku juga pegel,” tutur Bella yang kemudian menyingkirkan kaki Nora.
“Gas, kok kamu bisa dapet tiket bareng di sini?” tanya Nora.
“Ya, bisa selama ada Allah yang maha kuasa mah semua pasti bisa,” jawab Pramudya tanpa menatap Nora.
Nora mendengkus, tak puas dengan jawaban Pramudya, perempuan itu memutuskan untuk menutup mata karena perjalanan mereka menghabiskan 7 jam dan ditambah waktu transit artinya jadi 10 jam. Bella melirik Pramudya yang bersandar di kursinya dan menutup mata.
“Ada masalah, Pram?” tanya Bella pelan.
Kelopak mata Pramudya terbuka. Ia menolehkan kepala ke arah Bella. Bella adalah perempuan pertama yang dengan baik hati mau menjadi teman yang sebenar-benarnya teman. Uluran tangan perempuan itu tidak pernah Pramudya lupakan. Di hari ketika hujan turun dengan deras di pelataran kampus, perempuan itu menawarkan untuk berbagi payung dengan Pramudya yang duduk termangu tanpa pergerakan usai dicampakkan oleh pacar pertamanya.
Bella seolah menjelma jadi ibu peri yang selalu menolongnya. Pramudya jelas menyukainya namun demi menjaga persahabatan yang kian dekat dan erat itu, Pramudya memilih diam. Ia yang masih dengan rasa sakit setelah kehilangan cintanya memilih untuk melampiaskan semua perasaan itu dalam bentuk balas dendam. Mendekati banyak perempuan, membuat mereka jatuh hati dan mencampakkan mereka.
Semua itu Pramudya lakukan sampai bertemu dengan Isha yang notabene-nya teman sekelas Bella. Sahabatnya itu dengan jelas melarang lelaki itu mendekati Isha. Raisha Gayatri adalah perempuan paling alim di jurusan Bella. Bisa dibilang, dia ummi-nya anak MIPA. Si juara dalam berbagai lomba religi.
“Jangan deketin Isha, Pram. Satu kali kamu dekat sama dia, aku nggak jamin kamu masih bisa deket sama aku.” Begitu peringat Bella. Bagi Pramudya, larangan Bella adalah sesuatu yang menyenangkan untuk dilanggar. Berkali-kali Pramudya lakukan pada larangan yang lain, begitupula dengan larangan Bella saat itu.
Kemudian yang terjadi selanjutnya jelas saja. Pramudya benar-benar terjebak dengan Raisha. Lelaki itu tidak bisa meninggalkan perempuan itu dengan dasar sudah tak suka. Pramudya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya setelah berani mendekati Raisha. Pramudya dituntut harus serius dengan hubungan tersebut. Perlahan dirinya tahu arti dari larangan Bella. Pramudya tidak bisa lagi bertemu Bella sebebas dulu.
Pramudya yang saat itu berusia 20 tahun mencari banyak pelarian lain setelah terjebak hubungan dengan Raisha. Di suatu harisetelah musim UAS terlewati, Pramudya mengajak Bella pergi berlibur. Di sanalah ia mengenal Denora Zahid, putri dari seorang dokter dan pengusaha busana. Seorang mahasiswi kedokteran yang tengah menikmati masa-masa gilanya karena dipusingkan dengan jadwal kuliah yang padat merayap.
Liburan pertama ketiganya yang diselimuti duka karena Bella kehilangan papanya. Pramudya ingat betul ketika dirinya mendapat telepon dari Bella yang mengatakan papanya mengalami kecelakaan. Lelaki yang sibuk di sebuah club itu langsung menuju tempat di mana Bella berada. Menghubungi Nora yang saat itu sedang berada di tempat spa, untuk bergegas menemui Bella.
Pramudya kadang memimpikan kejadian itu. Kejadian dimana Bella hampir meregang nyawa dengan menenggelamkan diri di bathub. Mungkin jika bukan karena pertolongan dari pihak hotel yang cepat memanggil ambulance, Bella tidak akan bersama dirinya saat ini. Detak jantung Bella saat itu melemah, hampir tidak bernapas dan itu membuat petugas kesehatan hampir tidak bisa menyelamatkan nyawa Bella.
Bagi Pramudya, Bella ini sosok yang berharga. Tanpa perempuan itu, mungkin Pramudya masih melakukan banyak hal bodoh yang akan ia sesali di kemudian hari. Bella menarik Pramudya keluar dari lingkaran setan yang membuat lelaki itu ketagihan untuk terus berbuat banyak hal bodoh.
Satu hal yang Pramudya sesali saat ini, lelaki itu kecolongan. Rakha Abdinegoro berhasil menyelinap masuk ke kehidupan Bella. Pramudya tak bisa mengenal lebih jauh lelaki yang lebih muda dari Bella itu. Kekasih yang tak pernah Bella perkenalkan lebih jauh karena perempuan itu tidak ingin membuat Pramudya khawatir. Pramudya sudah lebih dulu khawatir bahkan sebelum Bella memiliki kekasih. Lelaki itu ingin memastikan Bella mendapat sosok yang pantas, bukan seperti Rakha yang sepertinya sudah kehilangan harga dirinya sebagai lelaki.
“Pram?” Bella menarik kesadaran Pramudya dari aksi menerawangnya.
Pramudya tersenyum. “Aku nggak apa-apa, Bell. Bentar lagi kita transit, makan lagi kalo masih laper. Sekalian sama sholat,” ucapnya tenang.
Bella mengulas senyum dan menganggukan kepala. Ia takkan memaksa Pramudya bercerita. “Iya, Pram. Nanti cerita kalo udah mendingan ya?” ucapnya yang mendapat anggukan dari Pramudya.
“Bell, pengin makan mi nggak sih?” tanya Nora tiba-tiba.
Bella menoleh kaget. “Noy, ih, aku kira kamu udah tidur,” ucapnya.
“Pengin makan mi nggak, Bell?” Nora mengulang pertanyaannya.
“Karet kah itu perut?” sindir Pramudya. “Baru tadi makan 2 mangkok soto loh, Ra,” lanjutnya heran.
Nora mendengkus, ia melempar tatapan sinis ke arah Pramudya. “Matanya, Noy,” ucap Bella sembari menutup mata Nora.
“Aku kebelet, Bell,” bisik Nora.
“Salah siapa rakus,” ucap Pramudya.
Bibir Nora melengkung ke bawah. Ia memeluk lengan Bella erat. “Sakit, Bell,” tuturnya manja.
Bella terkekeh pelan. “Tadi kan aku udah bilang jangan kebanyakan ambil sambel, kamu sih dibilangin ngeyel,” ucapnya.
“Pram, kamu bisa minta obat ke prama atau praminya gitu,” tutur Bella lagi sembari mengusap rambut Nora.
Nora adalah yang termuda diantara mereka bertiga. Anak bungsu keluarga Zahid yang selalu dimanja oleh ketiga kakak lelakinya. “Mau nelpon ibu kamu, Noy?” tawar Bella yang dibalas dengan gelengan lemah oleh Nora.
“Aku marahan sama ibu,” ucap perempuan itu pelan.
Bella menggelengkan kepalanya, sudah tidak heran lagi jika keadaan Nora jadi seperti ini. Setiap perempuan itu memiliki masalah dengan ibunya, pasti ia akan uring-uringan dan berakhir sakit seperti sekarang.
“Dikasih obat apa, Pram?” tanya Bella saat melihat Pramudya kembali dari gerbong lain. Lelaki itu mengangsurkan obatnya pada Bella sembari berkata sakit perut. Bella mengangguk berterimakasih.
“Nanti di tempat transit kita istirahat, sholat, makan terus kamu minum obat. Bentar lagi sampe kok. Tahan ya, 30 menitan lagi,” ucap Bella.
Sakit perut Nora berlangsung hingga keesokan paginya saat mereka sampai di Bandung. Pagi itu, di kamar mandi stasiun, Nora memuntahkan isi perutnya. Bella dengan sabar menemani dan mengurus perempuan itu seperti adiknya sendiri.
“Kamu kayaknya nggak biasa naik kereta, ya, Noy. Makanya sampe sakit gini. Kayaknya kamu baliknya pake pesawat aja deh,” ucap Bella.
“Nggak, Bell. Aku aman kok, tapi emang kayaknya aku lagi kurang fit aja.”
Pramudya dan Bella mengurus semua kebutuhan Nora sejak malam. Perempuan manja itu kesulitan tidur hingga membuat kedua sahabatnya pun tidak bisa memejamkan mata barang sejenak. Pramudya menyeret kopernya juga koper kedua sahabatnya. Lelaki itu makin kusut mendapati Nora sakit.
“Mending kamu telpon ibu deh, daripada sakit terus. Minta maaf sekarang atau kita gagal liburan tahun ini,” ucap Pramudya saat jam menunjukkan pukul 8 pagi namun tidak ada pergerakan yang berarti diantara ketiga orang itu. Mereka masih ada di sekitar stasiun.
Nora menyerah. Perempuan itu menelpon ibunya dan meminta maaf. Ajaibnya, satu jam kemudian dia sudah jauh lebih baik, tidak sepucat semalam. Mereka akhirnya bisa sedikit berkeliling di sekitar stasiun sembari menikmati sarapan pagi mereka.
Sunshine
Tanggal 29 aku boleh hutang uang ke kamu nggak sayang?
Aku butuh buat makan, gajiku udah kukasih ke ibu semua
Bella
Okey aku usahain tapi ga janji ya
Bella memijit pelipisnya. “Pram, ada 300 nggak? Tf ke nomor biasa, ya? Nanti aku ganti cash,” ucapnya.
Pramudya langsung melakukannya tanpa bertanya apapun. Lelaki itu kembali menikmati bubur ayamnya tanpa banyak bicara. Nora memperhatikan keduanya. “Bayar belanjaan, Bell?” tanyanya.
Bella menggelengkan kepala. “Oh, enggak, bukan, Noy. Ini Rakha pinjem,” jawabnya mencoba terlihat biasa saja. Nora diam dan melanjutkan makannya.
Mereka mengobrol tentang apa yang harus mereka lakukan selama berada di sini. Namun Bella tidak fokus dengan obrolan tersebut, perempuan itu lebih banyak diam. Ia menyadari dirinya masih terjebak di hubungan ini, tapi harus sampai kapan? Apa yang Bella berikan sepertinya takkan mampu Rakha kembalikan sedikitpun.
•••
-That's Why He My Man-