-That's Why He My Man-
•••
Dahulu kaulah segalanya
Dahulu hanya dirimu yang ada di hatiku
Namun sekarang aku mengerti
Tak perlu ku menunggu sebuah cinta yang semu
(Apalah Arti Menunggu – Raisa)
Pramudya menyugar rambutnya saat melihat betapa lucunya Bella. “Benaran cuma pesen satu kamar, Bell?” tanyanya yang mendapat anggukan polos dari gadis dengan balutan gamis pink pastel dan jilbab warna hitam.
“Ck, aku pesen kamar sendiri aja,” ujar Pramudya mencari aman. Dia lelaki normal dan masih ingin hidup tenang. Meskipun kerap kali berkumpul bertiga dalam 1 ruang, namun lain lagi baginya jika harus menempati 1 kamar yang sama untuk tidur.
“Okey deh.” Bella mengangguk santai. Pramudya mendengkus pelan. Ia tahu jika Bella sengaja memesan satu kamar untuk bertiga agar Pramudya menolak dan memilih untuk memesan kamar sendiri. Sepertinya gadis itu masih agak marah padanya. Ketiganya sudah menghabiskan beberapa jam untuk berkeliling sejenak dan menikmati makan siang. Mereka check in pukul 2 dan masuk ke kamar masing-masing.
“Nanti malem mau kemana, Bell?” tanya Nora.
Bella berdehem. “Jalan-jalan deket hotel aja, Noy. Males jauh-jauh nih, kaki capek, sayang duit juga,” jawabnya.
Nora menganggukan kepala setuju, ia juga lelah dengan drama pagi ini. “Yauda deh, mending mah tidur dulu,” ucapnya sembari merebahkan diri di kasur.
“Kamu nggak sholat, Noy?” tanya Bella. Pasalnya Nora tidak ikut sholat di masjid tadi saat Bella dan Pramudya mampir ke masjid. Nora justru duduk anteng di luar masjid dan menjaga barang bawaan mereka.
“Nanti, ya, Bell?”
“Sekarang lah, keburu ashar nanti.” Bella menarik tangan Nora. Sahabatnya itu langsung berdecak dan beranjak menuju kamar mandi. Nora kadang paling kesal dengan Bella yang taat aturan. Kalau sudah masuk waktu sholat, Bella itu suka menghentikan aktivitas yang lagi seru-serunya. Contoh sederhananya ya seperti tadi. Nora sudah asyik rebahan, Bella justru menarik gadis itu untuk beribadah. Tidak salah sih, tetapi Nora memang kadang molor ibadahnya.
Bahkan Ibunya Nora sampai menganggap Bella sebagai anak sendiri saking seringnya mengajak perempuan itu ikut kajian. Dulu semasa kuliah, satu atau dua bulan sekali Bella akan diajak Ibunya Nora pergi menghadiri kegiatan kajian. Entah di dalam kota sampai ke luar kota pasti disambangi oleh mereka ketika Bella tak punya jadwal kuliah.
Nora senang-senang saja, dia jadi tidak perlu mengikuti Ibunya karena sudah ada Bella yang menggantikan dirinya. Bella juga ikut-ikut saja karena dia suka jalan-jalan, refreshing setelah menghadapi dunia perkuliahan.
“Nggak usah dilepas, bentar lagi kan ashar. Aku juga mau ambil air wudhu,” tutur Bella ketika melihat Nora hendak melepas mukenanya.
Nora mengurungkan niatnya. “Padahal alim loh, Bell. Kok ya mau-mau aja pacaran sama Rakha yang modelan mokondo begitu,” ucapnya.
“Khilaf, Noy.”
“Cih, khilaf apaan sampe 6 tahun. Besok putus aja deh, aku kenalin sama dokter-dokter mapan dan tampan,” ucap Nora.
Bella tertawa singkat. “Ngaco kamu, kasian Rakha nanti dia sedih kalo tau kamu jelek-jelekin dia,” ujarnya.
Nora mengendikkan bahunya tak peduli. Buat apa dia peduli dengan Rakha yang kerap kali menyusahkan Bella. Harusnya lelaki itu malu karena Bella kerap kali membiayai kehidupannya. Kenapa Rakha malah jadi keenakan begitu, seolah tidak punya harga diri saja sebagai lelaki. Bahkan seorang Pramudya saja sebenarnya paling enggan dibayari oleh perempuan. “Bodo amat, lagian dia kok yang rugi. Macarin anak orang bertahun-tahun nggak ada kemajuan. Ya elah, Bell, kalo jadi kamu mah udah aku putusin tuh orang. Kamunya keterlaluan loyal. Padahal ada si Bagas yang masuk kategori bibit unggul aja kamu nggak tertarik, eh ya sempet tapi nggak tertarik buat mendua,” ucapnya panjang lebar.
Tak habis pikir Nora dengan Bella. Mana ada perempuan seperti Bella yang tahan tidak bertemu dengan pacarnya selama 6 tahun. Bahkan belum pernah bertemu sekalipun. Bella ini sebenarnya cinta atau tidak sih dengan Rakha? Mana kalau Nora lihat-lihat, Bella tidak pernah terlihat punya masalah dengan Rakha. Nora jadi penasaran dengan resep hubungan awet ala Bella itu.
“Pramudya itu selamanya bakal jadi temen aku, temen kita, Noy. Nggak ada yang berubah. Lagian Rakha baik kok, dia juga rajin ibadah, kita seagama, terus dia juga niatnya serius kok, Noy,” tutur Bella.
Mau seburuk apapun pasangan Bella. Bella akan menutupinya. Takkan ada yang tahu meski itu keluarganya sekalipun. Bella takkan memperkenalkan Rakha secara nyata sebelum lelaki itu benar-benar hadir dalam hidupnya.
“Nah itu juga jadi permasalahan. Orang seagama dan rajin beribadah aja dia bisa jadi mokondo loh, Bell. Dia suka minjem-minjem duit ke kamu, ini aku tau sendiri ya, Bell. Bukan dikasih tau sama Bagas. Aku beberapa kali perhatiin kamu yang keliatan ribet waktu VA kamu kosong. Padahal aku yakin VA kamu tuh isi tapi itu yang satunya. Kamu pasti selalu ribet di salah satu VA.” Nora tahu Bella memiliki lebih dari satu virtual account keuangan. Mungkin Bella punya sekitar 5 atau lebih. Akun utamanya jelas berpusat di m-banking. Namun akun tersebut haram hukumnya Bella gunakan diluar kebutuhan.
Setiap Rakha memiliki kesulitan yang entah kenapa harus melibatkan uang milik Bella. Perempuan itu akan memilih mengeluarkan uang dari dompetnya. Dia takkan mau mengeluarkan uang dari akun utamanya. Baginya itu tabungannya.
“Dia kan kesulitan, Noy. Wajar nggak sih sesama manusia itu tolong-menolong? Kalau nggak dibalikin ya udah, berarti tinggal anggep aja aku lagi sedekah,” tanggap Bella yang nampak tidak mempermasalahkan hal tersebut.
Nora sampai frustasi dibuatnya. “Aish, susah banget dibilangin. Besok aku kebiri tuh Rakha kalo masih nggak nikahin kamu, enak aja udah bertahun-tahun macarin tapi nggak dinikahin. Kredit mobilku aja udah lunas, kamunya masih gini-gini aja, Bell,” ucapnya.
Bella hanya terkekeh, perempuan itu beranjak menuju kamar mandi dan wudhu. Keluar dari kamar mandi, kedua sahabat itu melaksanakan sholat ashar mereka sendiri-sendiri. Dering ponsel Nora terdengar dari atas meja. Perempuan dengan balutan kaos putih itu menghampiri meja dan duduk di kursi. “Hello, Gas. Baru satu jam pisah udah nelpon aja, kangen ya?” sapa Nora.
Bella membetulkan ikatan rambutnya dan memasang kembali jilbabnya, takut-takut Pramudya masuk ke kamar. Nora melirik sahabatnya sekilas. Sejak papa sahabatnya meninggal, Bella memang berubah. Bella yang dulu Nora pertama kali kenal adalah anak supel dan ceria. Perempuan itu tidak setertutup sekarang baik secara pribadi maupun penampilan.
Dari segi penampilan, Bella hampir sama seperti Nora. Bella dulu juga memakai baju atasan dan bawahan yang terbuka. Dia pernah jadi primadona di jurusannya. Selalu tampil feminim dan anggun, namun tidak pernah bersikap sombong pada orang lain. Dia ramah pada semua orang, berteman dengan siapapun dan tidak pernah merendahkan orang lain. Bella baik, hanya saja kebaikannya memang kerap kali disalah gunakan oleh orang lain.
“Siap-siap bentar ya, tunggu di lobi aja.” Nora menutup telepon setelah berbicara beberapa menit dengan Pramudya.
“Bagas ngajak keluar. Sekalian cari yang seger-seger yuk?” ajak Nora yang diangguki oleh Bella. Perempuan itu hanya membalut diri dengan cardigan pink dan rok warna putih. Lain dengan Nora yang memakai cardigan crop top dan jeans biru gelap. Rambutnya yang dipotong model wolf cut panjang itu dibiarkan terurai.
Lobi tampak lengang saat Bella dan Nora keluar dari lift. “Bagas kayak orang ilang, duduk sendirian di lobi,” bisik Nora yang mendapat kekehan geli dari Bella.
“Lama banget astaga,” keluh Pramudya sembari melihat jam yang menunjukkan pukul 16.15 WIB.
Nora hanya cengengesan. “Namanya juga cewek, Gas. Lagian masa iya mau keluar tapi nggak mandi,” ucapnya sembari mengikuti Pramudya keluar dari gedung hotel.
“Mau kemana kita, Pram?” tanya Bella.
“Jalan-jalan ke BCW mau?” tawar Pramudya. Bella dan Nora menggelengkan kepala tegar, pasti Pramudya akan menyuruh mereka jalan kaki betulan.
Pramudya mendengkus. “Orang tuh kalo niatnya refreshing harusnya mau diajak jalan-jalan,” ucapnya.
“Masalahnya jalan-jalan versi kamu itu jalan kaki beneran, Gas. Kita kan liburan dengan niat mengistirahatkan diri. Nggak pengin melakukan aktivitas yang bikin capek, malah kamu suruh jalan kaki,” omel Nora.
Pramudya menyugar rambutnya. “Nora, kalo nggak pengin capek yaudah tidur aja di kamar. Nggak usah pergi-pergi,” tuturnya.
Bella menatap sekeliling, membiarkan Pramudya dan Nora berdebat tentang tujuan mereka sore ini. Perempuan dengan jilbab putih itu membuka ponsel dan memesan layanan taksi online. “Kita naik mobil aja. Aku udah pesen, bentar lagi sampe,” putusnya.
“Emang mau kemana?” Pramudya dan Nora kompak bertanya.
“Alun-alun.” Bella menjawab singkat. Perempuan itu terlihat sibuk dengan ponselnya. Sesekali ia meringis entah apa yang sedang ia bahas dengan seseorang di seberang telepon.
“Terima kasih Dek Bella yang cantik dan imut.” Pramudya mendekat hendak merangkul Bella namun Nora dengan gesit menarik lelaki itu.
“Enak aja main pelak-peluk. Nggak ada begituan lagi, ya, Gas. Udah 28 kamu, timingnya buat nikah sama Isha. Pokoknya nggak ada lagi adegan peluk-peluk begitu. Kita ini udah gede,” ucap Nora.
“Nah itu, Ra. Justru karena kita udah gede, harusnya udah naik level. Dari pelukan jadi─”
“Nggak ada temen naik level,” potong Nora. Perempuan itu segera merangkul Bella saat grab pesanan mereka sampai di depan hotel. Keduanya duduk dibangku tengah sedangkan Pramudya duduk di samping supir.
Alun-alun kota Bandung terlihat ramai. Ketika mereka bertiga keluar dari dalam mobil. Pramudya berjalan lebih dulu. Lelaki itu suka mengexplore tempat baru. Sudah dapat dipastikan, ia akan memisahkan diri dan mencari kegiatan lain tanpa kedua sahabatnya.
“Tuhkan, Bagas itu nggak bisa diandalkan perkara jalan-jalan modelan begini. Dia lebih seneng kalo diajak mendaki, baru deh mau ngurusin kita,” tutur Nora sengit.
“Biarin lah, Noy. Lagian dia juga butuh waktu sendiri. Kayaknya abis ribut sama Isha, kemarin pas dateng dia kusut banget kan mukanya. Kelihatan banget kalo ada masalah,” ucap Bella sembari berjalan santai melihat sekelilingnya.
Alun-alun kota adalah tempat umum yang dikunjungi warga lokal dan wisatawan. Rumput sintetis terhampar luas, orang-orang tampak asyik menikmati senja mereka. Banyak pedagang kaki lima berjualan di sekitarnya. Nora dan Bella duduk di salah satu bangku dengan payung putih. Mereka mengobrol selama beberapa waktu sampai Pramudya muncul dengan tiga minuman dan camilan.
“Puas muter-muternya, Gas?” tanya Nora.
Pramudya mengangguk. “Mayan keren lah, kenapa kalian nggak ikut aja deh. Spot fotonya banyak loh. Kamu biasanya paling ambis nyari tempat foto estetik buat dipajang di instagram,” ucapnya.
“Eh ada tempat yang bagus, Gas?” Nora tertarik namun agak ragu juga, ia tidak membawa alat kontennya. Tripodnya tertinggal di kamar hotel. Perempuan itu hanya membawa dompet, ponsel, dan tas yang muat peralatan touch up-nya.
“Banyak, nanti baliknya naik bandros aja gimana?” tawar Pramudya sembari membuka bungkus serabi lalu diberikan pada Bella.
“Bandros apa, Pram?” tanya Bella. Bandros di telinganya cukup asing. Perempuan itu tidak riset apapun tentang Bandung. Jadi bisa dikatakan kalau ini liburan mereka yang cukup menyesatkan. Bahkan rundown yang Nora buat tidak dapat berjalan sesuai rencana mereka. Liburan kali ini sepertinya jauh dari kata berhasil.
“Bandung Tour on Bus disingkat jadi Bandros. Naiknya dari seberang pendopo, bayar dua puluh ribu per orang. Nanti lewat Braga, Dago, Asia Afrika terus balik lagi ke sini, nggak lama kok paling lama 1 jam. Terus nanti pesen grab lagi buat balik ke hotel,” jelas Pramudya.
Bella dan Nora menganggukan kepala mereka. “Oh, okey deh,” ucap Bella.
Kedua perempuan itu menikmati makanan yang di bawa Pramudya. “Abis ini ambil foto ya, Gas? Mau ikut nggak, Bell?” tanya Nora.
Pramudya hanya memberikan jempolnya. Sedangkan Bella menggelengkan kepala. “Aku di sini aja nunggu kalian, lagian kan kita juga mau naik Bandros nanti. Jalan ke pendopo, aku bisa sekalian foto-foto,” ujar Bella.
15 menit kemudian, Pramudya dan Nora sudah pergi dari meja. Bella sendirian menikmati semilir angin yang membelai wajahnya. Perempuan itu mengecek ponselnya lagi. Nama Rakha muncul bersama dengan panggilan tidak terjawab.
“Halo, Kha?” sapa Bella. Perempuan itu mengerutkan kening mendengar suara Rakha yang terdengar lemas.
“Kamu sakit, Kha? Udah makan belum? Minum obat?” tanya Bella khawatir. Rakha itu jarang sekali menelpon ketika sakit, katanya takut membuat Bella khawatir dan memang terbukti seperti itu.
Bella mengetukkan jarinya di atas meja. Perempuan itu mematikan teleponnya usai mendengar penjelasan Rakha. Ia segera mengirimkan uang pada Rakha yang saat ini sedang berada di puskesmas. Lelaki itu butuh biaya hampir setengah juta guna membayar administrasinya di puskesmas. Bella mengirimkan uang tersebut tanpa pikir panjang. Ia merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Rakha.
Sejak mengetahui Bella akan berlibur ke Bandung, Rakha memang agak sensitif. Keduanya jadi sering bertengkar meski hanya lewat chat. Bella bahkan tidak merengek meminta ditemui, ia sudah pasrah ketika mengetahui Rakha memiliki jadwal yang cukup padat. Namun Rakha bersikap terlalu berlebihan, ia jadi sering meminta maaf dan itu membuat Bella merasa dirinya menjadi pihak yang patut disalahkan.
Sunshine
Makasih, sayang. Maaf ya aku ngerepotin kamu lagi
Bella
It's okay, cepet sembuh ya
Mau aku samperin?
Sunshine
Nggak usah, nggak perlu
Nanti kamu capek
Bella memikirkan kembali apa yang harus ia lakukan. Sebenarnya ia masih memiliki kesempatan untuk mengubah rencana andaikata ingin menemui Rakha. Hanya saja, lelaki itu cukup keras kepala untuk tidak mau ditemui. Bella jadi pusing dibuatnya.
Perempuan itu membersihkan sampah dimejanya dan menmbuangnya ke tempat sampah. Bella menghela napas menatapi orang-orang yang nampak bahagia. Ada sebuah keluarga kecil yang tengah menikmati piknik sederhana mereka sore ini. Hati Bella diam-diam berbisik lirih, bisakah ia seperti itu juga nantinya?
Ponsel Bella bergetar, telepon dari sang ayah. Perempuan itu segera mengangkatnya. Ayahnya menanyakan kabar dan mengingatkan dirinya untuk tidak lupa beribadah dan makan.
“Ayah, Bella bisa nggak ya punya keluarga cemara?” tanya Bella pelan.
Damar tersenyum tipis di seberang sana. “Bisa, Bella. Besok ayah aja yang carikan jodoh buat kamu. Kamu fokus sama diri kamu sendiri, nggak apa-apa,” ucapnya.
Bella hanya tertawa mendengar balasan sang ayah kemudian mematikan telepon tersebut ketikaayahnya sudah puas bertanya tentang apa yang Bella lakukan hari ini. Perempuan itu menatap bangunan masjid raya Bandung. Pikirannya kembali bekerja menyusun semua asumsi tentang kehidupannya.
Tuhan tidak pernah salam dalam memberikan cobaan. Tetapi Bella hanya manusia biasa yang imannya saja belum sekuat para pemuka agama. Bella menatapi senja sore ini, perempuan itu menghela napasnya. Jika pada akhirnya nanti dia tidak bersama Rakha, bisakah ia melanjutkan kembali hidupnya?
Pertanyaan itu terus berputar di kepala Bella bahkan ketika dirinya tengah duduk di salah satu kursi Bandros. Pramudya dan Nora tetap asyik mengomentari semua yang mereka bisa komentari di sepanjang perjalanan mereka.
Bella menghela napas dan membuang jauh pikirannya. Untuk sementara saja, ia ingin menikmati betapa indahnya Bandung di malam hari. Bandros membawa mereka sampai ke Dago. Sang pemandu tur memperkenalkan beberapa tempat wisata di sepanjang perjalanan.
Forest Walk Babakan Siliwangi. Nama itu memikat hati Nora. “Besok ke sana gimana, Bell?” tanya Nora.
Bella mengangguk. “Kayaknya bagus sih, deket ITB kan itu? Bisa kampus tour nggak sih?” tanyanya.
Nora menganggukan kepala. “Coba aja dulu. Okay, besok kita ke sana, Gas,” putus perempuan itu.
“Iya deh, lagian isinya juga cuma pohon-pohon doang. Jangan ngeluh capek ya abis itu. Kita belum ke Trans Studio loh,” ucap Pramudya enteng.
Nora mengibaskan rambutnya. “Nora itu penuh energi, Bella ini cantik jelita─”
“Nggak ada korelasinya, Ra,” potong Pramudya yang langsung mendapat pukulan di paha lelaki itu. Mereka memang duduk bersama sedangkan Bella duduk di belakang mereka sendirian.
“Jangan motong makanya. Ini aku loh ya yang bayar Bandrosnya,” ucap Nora.
“Yaelah pelit amat. Kuburannya sempit besok,” ejek Pramudya.
“Nggak ada begituan. Ish, Bella ini Bagas dijual ke tukang loak aja deh,” ucap Nora.
Kemudian mereka berdua ribut lagi. Nora dan Pramudya memang minim keakuran dalam agenda jalan-jalan santai seperti ini. Tapi jika berhubungan dengan alam, Nora akan jadi perempuan jadi manja di hadapan Pramudya. Bella kadang sampai mengira, Nora ini sebenarnya suka pada Pramudya.
“Udah ah, jangan berantem mulu, ntar suka lho.”
“Ih amit-amit.”
Perkataan Bella langsung mendapat respon cepat dari kedua sahabatnya itu. Nora bahkan sampai berpindah duduk ke samping Bella. Bella tertawa pelan. “Bisa nggak sih kalian tuh nggak ribut begini, emang nggak capek?” tanyanya.
“Dia yang mulai, Bell. Coba deh kamu pikir, di antara kita bertiga, yang paling manja itu dia kan? Nggak tau kenapa sejak lulus kuliah, dia bawaanya kayak ngajak ribut mulu. Kayaknya dia stress di tempat kerjanya yang baru deh,” ucap Pramudya.
Nora hendak menanggapi namun tak jadi ketika melihat Pramudya mendapat telepon dari Isha. Lelaki itu segera memberi isyarat pada kedua perempuan di belakangnya untuk diam.
Bella melirik Nora yang menatap jengah ke arah Pramudya yang sibuk dengan telpon Isha. Perempuan itu mencolek pelan lengan terbuka Nora. Sahabatnya itu menoleh ke arah Bella dengan tatapan bertanya.
“Cemburu, ya?” bisik Bella lirih namun masih dapat Nora dengar, buktinya sahabatnya itu langsung mendelik.
“No way, buat apa aku suka sama laki-laki modelan dia, Bell? He's jerk you know, we know it so well,” balas Nora tak kalah pelan. Hatinya menolak perasaan itu selama bertahun-tahun. Nora tak ingin membuat perasaannya terlalu jelas sampai membuatnya terbebani sendiri. Maka ia lebih suka memudarkannya perlahan.
“Bilang aja sih, daripada dipendem-pendem, sakit loh,” bisik Bella lagi.
Nora menipiskan bibir kemudian mencubit pelan pipi Bella. “Kami nggak cocok, Bella. Dia bentar lagi bakal nikahin Isha yang selama ini dia pacarin. Mau sebejat apapun dia di hadapan kita, dia tetep pilih perempuan baik-baik untuk jadi pasangannya,” ucap Nora.
Bella terdiam mencerna ucapan Nora. Pramudya memang mengeluarkan sisi buruknya di depannya juga Nora. Pramudya memang pernah menyicip alkohol, pernah merokok, bahkan pernah tidur dengan perempuan selain Isha. Bella dan Nora sama-sama mengenal sisi gelap Pramudya.
“Mending kamu jujur sama perasaanmu yang sekarang, kamu cuma kasihan kan sama Rakha? Kamu udah nggak ada di butterfly era, itu udah berlalu jauh dan lama,” lanjut Nora.
Bella terdiam lebih lama sebelum berujar, “Kayaknya aku udah nggak butuh era itu lagi deh, udah capek.”
Nora mengendikkan bahu. “We’ll see it later, Bell. Percaya deh, jatuh cinta lagi di usia segini itu bukan hal yang memalukan, Bell,” ucapnya.
“Nah, makanya kamu jangan malu soal perasaan kamu ke Pram,” balas Bella yang mengundang decakan sengit Nora.
Mereka sampai ke hotel pukul setengah sembilan malam. Mereka bertiga naik ke lantai 16 guna menikmati fasilitas lounge yang mereka dapatkan. “Emang boleh ke lounge cuma buat duduk-duduk doang?” tanya Bella.
“Alah, tenang aja. Kalaupun harus pesen, nanti Bagas yang bayar,” ucap Nora santai. Pramudya mendelik mendengarnya namun tidak memberikan komentar apapun.
Dari lantai 16 Lounge hotel ini memberikan pemandangan kota Bandung yang khas. Lampu-lampu kota bak pernak-pernik yang terpasang di atas permadani hitam. Gedung-gedung tinggi terlihat masih ada yang beroperasi. Jalanan kota masih ramai dan dapat terdengar samar suara kendaraan yang berlalu lalang. Mereka memilih meja yang dekat dengan jendela. “Aku nggak mau bayar kalo mereka wajibin buat pesen,” ucap Bella lagi.
Perempuan itu sebenarnya agak ketat soal keuangan. Dia tidak asal menggelontorkan uangnya begitu saja. Pramudya dan Nora tertawa kecil. “Santai, Bell. Di sini tuh emang tempatnya buat santai, jadi nggak perlu pesen makan pun nggak apa-apa. Lagian kita di sini juga cuma bentar doang, Bell. Paling nggak sampe setengah jam lagi, kita bakal balik ke kamar,” ucap Nora santai yang disetujui oleh Pramudya.
Terkutuklah mulut Nora dan Pramudya yang menjanjikan tidak akan lama berada di lounge, karena sekarang jam sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam. Mereka tanpa sadar mengobrol panjang lebar membahas berbagai hal seolah tidak kehabisan topik. Sampai Pramudaya jujur tentang apa yang tengah lelaki itu rasakan.
“Orang tua Isha minta ketemu lagi, mereka butuh kepastian kapan tepatnya aku nikah sama Isha. Kadang ada saat-saat di mana aku nyesel nggak dengerin larangan kamu, Bell. Andai aku dulu nurut apa katamu, mungkin sekarang kamu nggak bakal bareng Rakha. Aku bakal rebut kamu dari cowok brengsek itu,” ucap Pramudya.
Bella dan Nora terdiam. Keduanya saling lirik dan bingung harus memberikan respon macam apa. Namun belum sempat mereka mengelurkan tanggapan, Pramudya kembali berujar, “Tapi aku bakal belajar untuk menerima semua keadaan kita yang kayak gini sekarang. Aku tau kamu suka aku, Ra. Tapi kita nggak bisa bareng, maaf ya, Ra. Aku selama ini pasti nyakitin kamu.”
Mata Nora membola mendengar penuturan Pramudya. “Hey, its okay, Gas. Aku udah anggep kita ini temen, pure sahabatan dan nggak lebih. Nggak ada yang mau merusak persahabatan kita, Gas. Jadi kita jaga sama-sama, ya? Tapi kalau memang udah waktunya kita pisah, tolong lupain semua kenangan kita dan cukup inget kita pernah jadi temen,” ucap Nora.
Bella mengangguk setuju. “Kalau memang nanti udah waktunya kamu bareng sama Isha. Jangan temuin kita dengan kenangan lama itu ya, Pram. Temuin kita sebagai Pramudya Bagas yang baru. Pramudya suaminya Isha,” sambungnya.
Pramudya mengangkat kepalanya, menatap dua perempuan yang tulus menyayangi dan menerimanya sebagai teman. “Cowok kalian besok pasti bangga banget punya cewek kayak kalian, ya,” ucapnya.
Mengabaikan Pramudya, Bella lebih memilih untuk mengajak kedua temannya keluar dari sini. “Balik yuk?” ajak Bella.
“Belum juga karaoke, Bell,” tutur Pramudya.
Nora memutar bola mata. “Mana ada begituan di hotel, Gas. Nggak usah ngaco deh. Ayo balik, kita udah ngabisin duit satu juta duduk di sini doang,” ucapnya sembari menarik Pramudya untuk bangun dari duduknya.
Mereka bertiga berjalan menuju lift dan naik ke lantai 18 tempat di mana kamar mereka berada. “Kakiku kek mau lepas, capek juga hari ini,” ucap Nora.
“Besok masih harus jalan ke mana tadi, Bell? Oh, Forest apalah itu namanya, belum juga ke TSB.” Pramudya menanggapi. “Minta ke petugas buat ambil kompresan air anget. Ini gara-gara kamu dari semalam udah sakit duluan,” lanjutnya.
Bibir Nora manyun. “Pijitin ya, Bell?” pintanya pada Bella yang dibalas dengan gelengan keras. Menolak permintaan Nora adalah pilihan terbaik karena Bella sendiri juga capek.
“Besok agak siangan aja kali, ya? Pengin puas-puasin tidur abis subuhan,” usul Bella.
“Tapi nanti kita nggak dapet sunrise dong, nggak jadi ambil foto estetik,” ucap Nora.
“Astaga, Noraaa, mana bisa liat sunrise di tempat begitu, lagian jam operasionalnya juga baru dimulai jam 9. Kita dateng jam 10 apa jam 11 sama aja, Ra. Nggak usah ngeyel, ya? Kali ini nurut biar kakinya juga nggak capek besok buat jalan. Nggak mungkin di dalem hutan mau naik mobil kan?” omel Pramudya yang merasa gemas sendiri dengan Nora.
“Loh, tempatnya hutan?” tanya Nora polos.
Pintu lift terbuka. Mereka bertiga berjalan keluar. “Ya memang hutan, Ra. Dari namanya aja udah keliatan loh, aduh otak kamu kayaknya kebanyakan beban kerja jadi loading kalo soal beginian, ya?” ujar Pramudya.
Lelaki itu sampai di depan pintu kamarnya. Ia menempelkan card key-nya dan pintu terbuka. “Udah sana istirahat, daah.” Pramudya masuk dan langsung meninggalkan Nora dan Bella tanpa memberi kedua orang itu kesempatan bicara.
Nora langsung berjalan menuju kamar mandi dan menikmati waktu mandinya. Dia tidak bisa tidur dalam keadaan badan lengket meski sore tadi dia sudah mandi. Bella juga sudah menyiapkan baju tidurnya.
Bella menatap pemandangan kota Bandung dari balkon kamarnya. Bandung seindah ini tapi ia tidak menikmatinya dengan sang kekasih. “Kira-kira bisa ke sini lagi nggak ya bareng suami?” gumam Bella.
Perempuan itu menggelengkan kepala mengusir imajinasinya itu. Lagian siapa juga yang ingin menikah cepat. Bella tak mungkin bisa menikah secepat itu ketika melihat keadaan kekasihnya seperti ini. Kekasihnya sepertinya sama sekali tidak memiliki sepeserpun uang tabungan. Benarkah Bella sudah membuang bertahun-tahun waktu berharganya menunggu sosok seperti Rakha yang tidak ada perkembangannya sama sekali? Tidak ada artinya dia menunggu seseorang selama ini, semua yang ia dapatkan masih sebuah ketidakpastian.
•••
-That's Why He My Man-