-That's Why He My Man-
•••
Apakah kau melihat langit mentari senja
Mengajar untuk menerima keadaan saat ini dan terus maju
Dan bila kehilangan sesuatu
Pastilah suatu saat nanti hal itu akan tercapai
(Yuuhi wo Miteiruka – JKT 48)
Senyum lebar yang menampakkan deretan gigi putih terus terpasang di wajah Bella. Perempuan itu tengah mengawasi anak-anak yang tengah melaksanakan kegiatan class meeting. “Tolong awasin betul-betul adik-adikmu ya, Sal. Saya harus ke kantor dan olah nilai kalian. Ini harus selesai H-5 kalian pengambilan rapor, jangan bikin saya terus-terusan kena panggil Bu Tari karena kalian berisik,” bisik Bella di telinga sang ketua osis.
Salwa hanya membalas dengan cengiran tanpa dosa. “Nggak janji ya, Bu Bell,” balasnya.
“Nggak janji, tapi harus diusahakan, ya,” tukas Bella. Setelah itu ia mengawasi jalannya lomba untuk sesaat sebelum berlalu menuju kantor.
Bella menguap saat dirinya sampai di meja kerjanya. “Anak-anak bikin ulah lagi, Bell?” tanya Jemima tanpa mengalihkan tatapan dari lembar jawab PAT mapel PKN.
Bella mengangguk tanpa minat. “Udah makanan sehari-hari sih itu,” jawabnya.
Bella menatap layer laptopnya yang menampilkan worksheet nilai seluruh mapel. “Bu Humai, ini terakhir isinya kapan sih?” tanyanya.
“Harusnya sih siang ini, biar aku bisa cek dan laporin ke Bu Tari biar beliau cek, dan kita masih punya waktu revisi kalau beliau masih ada yang belum sreg,” jawab Humaira yang tengah fokus merapikan nilainya.
Hari ini 80% rekan kerja Bella sedang menginput nilai, sedangkan perempuan itu mengolahnya saja belum kelar. Bella terdiam sesaat kemudian jemarinya berlarian di touch pad, mencari file daftar nilai anak kelas 7 dan 8. “Oke, pasti bisa,” gumamnya.
“Bu Bella, saya baru ingat hari ini ada undangan BIMTEK untuk mapel IPA.”
Perkataan Bu Tari sukses meruntuhkan keseluruhan mood yang Bella bangun dengan susah payah di tengah hari merah pertamanya. Perempuan dengan balutan kemeja hitam itu sebisa mungkin menatap Bu Tari dengan tatapan biasa saja. “Saya harus ikut, Bu?” tanya Bella.
“Ya harus, masa nggak ikut ini itu penting manfaatnya. Nanti bisa dapat ilmu, relasi dan syukur-syukur sih bisa diterapkan di sekolah.”
“Tapi saya kan masih harus input nilai ke e-rapor nanti, Bu. Ibu sendiri yang minta siang ini harus selesai,” ujar Bella mengingatkan Bu Tari pada mandat beliau tadi pagi.
“Loh, Bu Humai, bukannya e-rapor sudah bisa remote?” tanya Bu Tari pada Humaira yang diiyakan oleh perempuan itu. “Nah, itu bisa remote. Pasti bisa nanti sambal BIMTEK sambal olah nilai dan input,” lanjut Bu Tari.
“Memang acaranya jam berapa, Bu?” tanya Bella lagi sembari melirik jam yang menunjukkan pukul 9 kurang 15 menit.
“Diundangan sih jam 9, tapi biasanya agak molor. Paling jam 10 baru mulai.”
Bella segera membereskan laptopnya dan berkemas. “Loh mau kemana, Bu Bell?” tanya Bu Tari.
Bella menghentikan gerakan tangannya yang hendak meraih buku catatannya. “Ibu tadi bilang saya harus ikut BIMTEK,” jawabnya tak sabaran.
“Iya, tapi nanti gimana sama class meeting? Tidak ada yang mengawasi, ini kan tugas Bu Bella sebagai kesiswaan sekaligus Pembina OSIS,” ujar Bu Tari.
“Nanti saya titipkan ke Bu Hum─”
“Loh, ya, nggak bisa gitu dong, Bu Bella. Bu Bella ini gimana sih? kegiatan ini kan bagian dari tugas dan tanggung jawab Bu Bella sebagai kesiswaan. Masa mau dilimpahkan ke Bu Humaira. Itu sama saja lalai dan tidak bertanggung jawab. Masa seorang pendidik bersikap seperti itu, nggak patut sekali untuk dicontoh. Saya saja waktu seumuran Bu Bella, saya sudah mampu membagi waktu antara pekerjaan dan urusan pribadi. Harusnya Bu Bella juga bisa seperti itu apalagi Bu Bella masih sendiri. Pokoknya saya nggak mau tau lah, gimana caranya biar Bu Bella bisa handle kegiatan sekolah dan ikut BIMTEK, masa sekolah nggak mengirimkan delegasi untuk kegiatan BIMTEK, malu-maluin nanti.”
Tak ada satupun yang berani menyela ucapan Bu Tari. Wanita itu akan semakin menjadi-jadi jika ada yang menanggapi omelanya. Dada Bella rasanya sesak, seolah ada batu besar yang menghimpit dirinya. Perempuan itu diam memproses semua kalimat Bu Tari yang saat ini keberadaanya sudah tidak ada dalam radius 5 meter pandangan Bella. Bella tertawa sumbang, perempuan itu melanjutkan kegiatannya membereskan meja.
“Mau berangkat jadinya?” tanya Bu Billa lengkap dengan tatapan kasihannya. Wanita itu sangat prihatin denga napa yang terjadi pada Bella. Mendapati nasib kurang mujur yang terjadi pada Bella, Bu Billa jadi rajin mendoakan Bella agar mendapatkan jodoh yang mampu merubah nasib Bella. Bagi Bu Billa, Bella sudah seperti anak perempuannya, terlebih lagi Bella juga pernah menjadi anak muridnya dulu.
“Iya, Bu. Saya berangkat aja deh, daripada bikin malu sekolah,” jawab Bella sebelum pamit pada yang lain dan menghilang dari pintu ruang guru.
“Sal, saya ada dinas luar. Saya minta tolong sekali, seusai lomba nanti semua peralatan di bereskan dan lapangannya sudah bersih dari sampah. Jangan bikin keributan dan bikin repot guru lain, ya?” pinta Bella.
“Okay, Bu Bell. Nanti biar aku suruh temen-temen osis yang lain buat bersihin lapangan,” ucap Salwa.
Bella mengangguk kemudian berjalan menuju ruang tata usaha. Perempuan itu bertemu dengan kepala TU. “Bu Ning, ada surat tugas buat BIMTEK saya hari ini nggak, ya?” tanya perempuan itu.
“Ini bukan?” Bu Ningtria selaku Ka TU memberikan sebuah map batik kepada Bella.
Bella menerima dan memeriksanya dengan cepat. “Oh, iya betul. Saya permisi kalau gitu, terima kasih, Bu Ning,” ucapnya kemudian berlalu dari ruang TU.
Hari berjalan terlalu cepat bagi Bella. Perempuan itu tengah duduk di sebuah kafe. Berada di lantai dua yang harusnya menawarkan view menarik dan memanjakan mata. Sayangnya yang Bella lihat justru kemacetan dan awan-awan kelabu yang mulai bergerak ke tengah kota.
Bella menatap tanpa minat pemandangan yang tersaji di sepanjang matanya menatap. Hari ini melelahkan dan Bella ingin sekali rasanya beristirahat dengan tenang. Ponselnya yang tengah diisi daya bergetar lagi. Telepon dari Damar yang entah mengapa enggan Bella angkat.
Bella menopang dagunya dan memejamkan mata. Membiarkan sejuknya angin senja membelai wajahnya yang saat ini sudah makin kusut. Ia masih terpejam sampai sebuah ketukan di mejanya membuat Bella mengalihkan atensinya.
“Ayah, kok bisa di sini!?” tanya Bella. Dirinya terperanjat mendapati ayahnya ada di jarak pandang kurang dari 1 meter dan sosoknya duduk dengan tenang di seberangnya.
“Kamu dari tadi ditelpon tapi nggak diangkat, Ibu kamu khawatir. Ayah cari kamu ke sekolah tapi sudah kosong. Ayah telpon salah satu temen kantormu, dia bilang kamu dinas luar. Waktu ditanya di mana tempatnya, nggak ada yang tau. Yaudah ayah cek lokasi kamu,” jelas Damar santai. Pria itu menekuk lengan kemeja putihnya dan mulai menyicip kue black forest yang Bella pesan.
Bella cemberut. “Ayah curang,” ujarnya.
Damar hanya tersenyum. “Ada yang mau kamu tanya ke ayah, Bella?” tanyanya.
“Percuma, ayah pasti nggak akan mau jawab,” jawab Bella sembari menatap ke arah lain, enggan melihat ke arah Damar yang mengingatkan dirinya pada Angger.
“Ayah aja belum tau kamu mau tanya apa, gimana bisa jawab coba,” tanggap Damar.
Bella melirik sinis. “Kenapa ayah nggak kaya papa?” tanyanya kemudian.
Damar menegakan duduknya, pria itu meneguk jus wortel milik Bella yang sama sekali tak perempuan itu sentuh. “Bella, ayah akan bilang ini sekali dan kamu dengarkan baik-baik ucapan ayah. Selamanya, ayah akan tetap jadi ayah dan nggak akan bisa jadi papa kamu. Ayah punya posisi sendiri di hidup kamu, Bella. Nggak ada yang bisa gantiin posisi papa kamu di hati kamu. Ayah ini pendatang, Bell. Meskipun ayah bisa kasih semua yang kamu mau, ayah tetep nggak bisa memenuhi semua ekspetasi Bella karena yang Bella mau itu papa,” ucap Damar lembut.
Mata Bella berkaca-kaca. Damar beranjak menggeser kursinya ke samping Bella. Pria itu menarik Bella ke dalam pelukannya. Bella balas memeluk ayahnya erat. Damar mengelus pelan puncak kepala Bella. “Bella tau nggak, kenapa ayah tanya kapan Bella mau nikah? Sebenernya, ayah cuma pengin dekat dengan Bella. Ayah pengin punya satu topik yang bisa dibahas dengan Bella untuk jangka waktu yang panjang. Tapi ayah selalu saja gagal cari topik yang bisa bikin Bella mau bicara panjang lebar sama ayah. Susah sekali mau ambil hati kamu, Bell. Ayah bingung, Bella. Semakin hari ayah ngerasa kamu makin jauh dari ayah. Ayah pengin ngobrol sama kamu, ayah pengin tanya gimana hari-hari anak ayah, ayah pengin jadi tempat kamu ngadu juga, Bell. Kamu yang selalu jadi kebanggaan papamu, maka dari itu ayah berusaha keras untuk bisa kasih hal-hal yang kamu suka,” ucap Damar.
Air mata Bella terjun. Tersadar sikapnya selama ini kadang masih dingin pada Damar. Padahal Damar mengusahakan semuanya untuk Bella. “Ayah, maafin Bella ya?” tuturnya sesenggukan.
Damar mengurai pelukan, menangkup kedua pipi putri sulungnya dan menatapi wajah putrinya yang memerah karena menangis. “Aduh, princess papa malah nangis begini, nanti ayah dimarahin papa kamu,” ujarnya bercanda.
Bella memberengut lucu, mengundang tawa kecil Damar. “Lucu banget sih anak ayah. Ayah nggak pernah marah sama kamu, buat apa kamu minta maaf, Nak?” ucapnya.
“Bella selama ini nggak bersikap baik ke ayah. Ayah pasti sakit hati sama kelak─”
Damar menggeleng tegas. “Ayah nggak marah dan sakit hati. Wajar kalo kamu belum bisa menerima ayah. Papamu itu emang the best. Papamu itu panutan ayah banget sejak masih SMA. Kalo kamu nikahnya sama orang yang nggak treat kamu seperti apa yang papa dan ayah lakuin, kamu jangan mau sama dia. Tinggalin dia, ayah bakalan ada di belakang kamu dan siap buat peluk kamu, Bell,” potong Damar.
Bella mengangguk-anggukan kepalanya beberapa kali, setelah ini ia berjanji akan bersikap lebih baik lagi ke ayahnya. “Iya, Yah. Ayah harus janji ke Bella, ayah bakal terus ada buat Bella. Jangan tingalin Bella kaya papa,” ucapnya.
“Manusia hanya bisa berikhtiar, Bella. Sedangkan sisanya itu doa dan tawakal. Allah itu maha mendengar. Dia mendengar segala sesuatu yang baik dan yang buruk. Itulah kenapa kita diajurkan untuk berucap yang baik-baik dan gosip itu dilarang, karena diibaratkan sedang makan daging saudara sendiri yang sudah mati. Kamu jijik pasti kan? Tapi apa boleh buat, ayah yakin kamu pasti suka-suka aja ghibah.” Damar berpindah kembali ke seberang Bella. Pria itu menarik tisu dan membersihkan sisa-sisa air mata di wajah Bella. Bella manut-manut saja, dia lama tak dimanja oleh sosok papanya.
Bella cemberut lagi. “Tapi, Yah. Rasanya ada yang kurang kalo nggak cerita tentang kelakuan bos ke temen-temen yang lain,” ucapnya.
“Bella masih betah, Nak?” tanya Damar. Putri sulungnya itu menggeleng. “Terus kenapa nggak resign? Gaji kamu dibimbel juga gede. Mulai bulan ini, gaji kamu yang masuk planning dikit aja, ya? Ayah ini masih bisa biayain kalian semua. Pokoknya simpan uang kamu kamu. Mau kamu pakai apapun terserah, tapi soal ibu dan adik-adik kamu itu tanggung jawab ayah. Biarin ayah yang memenuhi kebutuhan kalian,” ucap Damar.
“Emang boleh begitu?” tanya Bella.
Damar mengangguk tegas. “Boleh. Ayah nggak berniat buat hilangin kebiasaan kita, tapi diumur kamu sekarang, pasti papa kamu inginnya kamu punya tabungan sendiri. Oh iya, papa kamu udah pernah cerita belum ke kamu kalo beliau sudah siapin hadiah ulang tahun untuk kamu setiap tahunnya, tapi hadiah itu cuma bisa kamu ambil setelah menikah, kamu tau, Bell?” ucap dan tanya Damar.
Bella menggeleng. “Sejak aku kuliah, aku jarang ketemu papa. Aku juga jarang pulang, kami sempet ribut, Yah,” ucapnya.
“Karena kamu yang bandel dan nggak mau nurut tutup aurat?” tebak Damar.
“Kok ayah tau?!” Bella kaget pasalnya yang tau tentang hal ini hanya ia dan Angger. Bella dan Angger sempat berdebat sengit saat Bella memutuskan untuk kuliah di luar kota. Pria itu semakin kewalahan mengurus Bella yang semakin bandel dan susah diatur.
Damar tersenyum. “Papa kamu yang cerita ke ayah. Dia pusing sekali waktu tau kamu suka pakai pakaian kurang bahan. Untungnya kenakalan kamu nggak sampai kamu masuk club, minum alcohol dan yang lain. Kamu juga sempet marah ke papa kamu karena harus putus sama pacarmu yang beda agama itu kan? Ayah juga tau itu. Waktu denger cerita papamu, ayah sebenernya agak kurang percaya, masa iya anak kecil yang dulu suka ngerengek minta naik bianglala pas ada pasar malam itu sekarang jadi nakal begitu,” ucap Damar dengan tawa pelan diakhirnya.
Bella merengut lagi. Ternyata banyak yang ia lewatkan selama ini. Namun sore ini bersama ayahnya, Bella menemukan kembali sebuah alasan untuk dirinya menjalani hidup. Bella akan bersikap lebih baik lagi pada ayahnya.
Sore itu sebuah ikatan kembali terjalin dalam hangatnya cahaya matahari senja. Bella pikir ia bisa menjalani semuanya sendiri. Ia bisa tanpa harus merepotkan orang lain. Nyatanya ia butuh sosok lain yang dengannya ia tidak segan meminta bantuan. Bella butuh ayahnya.
•••
-That's Why He My Man-