-That's Why He My Man-
•••
He was sunshine, I was midnight rain
He wanted it comfortable
I wanted that pain
He wanted a bride
I was making my own name
Chasing that fame
He stayed the same
All of me changed like midnight
(Midnight Rain-Taylor Swift)
Batik biru, rok span hitam, heels 5 cm dan kerudung yang warnanya senada dengan rok. Outfit itu membungkus badan mungil seorang perempuan yang tingginya 155 cm. Perempuan itu menutup gerbang, ketika jam yang melingkar di tangan kirinya menunjukkan pukul 7 lebih 10 menit. Sudah tidak ada siswa lagi, begitu pikirnya.
Langkah kaki mungil itu membawanya menyusuri koridor. “Selamat pagi, Bu Bella,” sapa anak-anak yang masih berkeliaran di luar kelas. Mereka berebut menyalami guru muda itu. Bella tersenyum dan menanggapinya dengan ramah.
“Masuk,yuk. Nanti diomelin Bu Tari kalo masih di luar.” Kalimat template andalan Bella adalah membawa nama kepala sekolahnya. Namun tak semua anak akan takut pada kalimat yang terlontar dari bibirnya itu.
“Nanti aja, ya, Bu. Lagian belum ada gurunya.” Begitu tutur Bilqis.
Bella mendengkus pelan. “Nanti Bu Bella yang kena omel kalo kalian bandel. Masa kalian ga kasian sama ibu? Masuk, ya?” bujuknya.
Mau tak mau akhrinya Bilqis menggiring teman-temannya untuk masuk. Bella tersenyum puas melihat paginya berjalan dengan baik. Andai setiap pagi seperti ini, Bella pasti tidak perlu menghabiskan banyak energi dalam bekerja.
Bella memasuki ruang guru di mana rekan-rekannya sedang menyiapkan rapot hafalan anak-anak. Sesekali mereka mengobrol singkat dan melempar candaan. Kegiatan literasi setiap pagi di sekolah ini adalah hafalan juz 30. Bella bukan wali kelas, namun ia tetap ikut mengawas jalannya hafalan.
“Loh kok masih pada santai-santai di sini? Sudah jam berapa ini? Masa setiap hari harus saya ingatkan. Ayo pada masuk sekarang. Kan harusnya masuk tepat waktu, kita ini jadi teladan lho.”
Bella mengurungkan niat meraih gelas minumnya. Ia langsung beranjak dari tempat duduk dan berjalan keluar kantor. Tatapannya bertemu dengan tatapan para rekannya yang terlihat malas setelah mendengar suara Bu Tari Widyastuti, sang kepala sekolah yang sudah menduduki jabatannya selama 3 tahun belakangan.
Ruang guru kosong. Guru yang hanya berjumlah 9 orang itu lenyap dan masuk ke dalam kelas masing-masing, begitu pula Bella yang sudah berada di ruang kelas 8 dan duduk di bangku paling belakang. Ia bertugas menjadi asisten wali kelas.
“Hari ini hafalan surat Al Lail. Baca sama-sama 1 kali habis itu per barisan mulai dari yang paling kanan.” Komando itu datang dari Kanisa, wali kelas sekaligus guru Bahasa Indonesia. Anak-anak langsung duduk rapi dan membuka juz ‘amma-nya masing-masing. Mereka membaca dengan khidmat tanpa berani membantah perintah wali kelasnya yang terkenal tegas dan cukup garang.
Bella tersenyum singkat. Ia suka mengikuti kelas Kanisa karena anak-anak akan jadi penurut. Bella tak perlu banyak keluar energi kecuali sedang musim setor hafalan. Barulah di situ ia akan memasang telinga dengan baik dan memfokuskan pendengarannya.
“Bu Bella,” panggil Kanisa.
Bella mengalihkan tatapan dari ponsel yang menampilkan surat Al Lail. “Kenapa, Bu Nis?” tanyanya. Bella melangkah menghampiri meja guru tempat Kanisa berada.
“Hari ini bukan jadwal kelas saya yang sholat dhuha kan?”
Bella melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 7 lebih 45 menit. Perempuan itu menggeleng tegas kemudian menjawab, “Bukan, Bu. Hari ini kelas Sembilan.”
Kanisa merasa lega. Ia memang kadang lupa jadwal sholat dhuha kelasnya. Bella berjalan keluar kelas 8 ketika hafalan usai dan sisanya digunakan Kanisa untuk mengecek kondisi kelasnya pagi ini.
Cahaya matahari menyinari halaman sekolah. Pipi Bella mulai memunculkan ronanya, ketika perempuan itu menutup mata dan menghadap ke arah timur. Semilir angin membelai wajahnya yang hanya terpoles bedak tipis. Matanya terbuka ketika speaker bel yang berada tepat di atasnya berbunyi. Bella melangkah kembali menuju ruang guru. Hari ini adalah jadwal piketnya, ia tidak perlu masuk ke kelas untuk mengajar.
Membuka laptop adalah tujuan utama Bella saat sampai di ruang guru. Meja yang sudah menemaninya selama 3 tahun ini. Laptopnya menyala ketika Bella menancapkan chargernya pada stop kontak.
Bella meregangkan dirinya sebelum mulai bekerja membuat administrasi ujian sekolah. Sejak awal bekerja job desk-nya selain mengajar dan menduduki Waka bagian kesiswaan adalah menjadi sekretaris kegiatan. Tidak masalah memang, hanya saja ia semakin tidak bisa merasa sedikit santai.
“Bu Bella, tolong masuk kelas 7. Sekarang jam-nya IPS, tolong diisi dulu.”
See?
Bella lagi-lagi gagal mengerjakan tugasnya dan itu bukan lagi hal yang mengejutkan jika pekerjaannya tertunda. Bella hanya mengiyakan perintah Bu Tari dan langsung mengambil spidol juga bolpoin. Perempuan itu beranjak meninggalkan mejanya, ia menghampiri meja guru IPS yang hari ini kosong karena beliau memang sedang ada dinas di luar.
“Mana deh bukunya,” ucap Bella sembari mencari buku pegangan siswa. Jemarinya dengan terampil menyusuri tumpukan buku dan kertas yang tertata tidak beraturan di atas meja milik Pak Hanung. Perempuan itu menyerah, memilih meninggalkan kantor berbekal bolpoin dan spidol.
Ruang 7B yang hanya di isi oleh 15 anak terdengar sangat ramai. Bella memasukinya dengan langkah pasti. Perempuan itu meski rasanya tak bersemangat, ia tetap mengulaskan senyumnya. Memulai apersepsi dan mencari informasi terkait dengan materi IPS yang diberikan Pak Hanung di pertemuan sebelumnya.
Bella membaca dengan cepat isi buku paket yang dipinjamnya dari salah satu anak. “Hari ini rangkum bab 3 yang judulnya potensi sumber daya alam di Indonesia. IPS tiga jam pelajajaran kan? Cukuplah buat kalian rangkum,” ujar Bella sembari menuliskan tugas tersebut di papan tulis.
“Bu Bella bantu rangkum nggak?” tanya Davin.
Bella menampilkan senyum kecutnya. “Enak aja. Nanti kalian jadi tambah manja. Di mapel Ibu aja, yang mikir rangkuman itu Ibu. Kalian tinggal tulis, tapi kadang gitu aja masih males banget,” balasnya. Anak-anak hanya meringis tanpa dosa.
“Bu Bell, aku ijin beli pulpen ya?” ujar Syifa.
“Loh, pulpennya ilang lagi?” tanya Bella. Syifa mengangguk. Bella langsung mempersilahkan. Bolpoin yang bolak-balik hilang sepertinya sudah jadi adat dan kebiasaan. Bukan sekali dua kali anak-anak membeli bolpoin. Entah kenapa selalu saja bolpoin mereka hilang. Ada saja tangan-tangan jahil yang tidak bisa diam barang sebentar.
Ting!
Satu notifikasi pesan masuk ke dalam ponsel Bella. Perempuan itu menatap ponselnya, sudut bibirnya ingin terangkat namun ia tahan sebisa mungkin. Ia harus terlihat professional. Maka dari itu, air mukanya langsung berubah sangat datar.
Sunshine
Morning, sayangg. Semoga hari ini sabar kamu bertambah, ya! Semangat ngajarnyaa! 💗 💗
Bella
Aku kesel, aku gabisa, aku capek. Mau udahan aja kerjanyaa😭
Bella mengetik balasan berisi keluhan yang hanya formalitas semata. Sebenarnya, ia jarang sekali mengeluhkan pekerjaannya pada sang kekasih. Sebagai seorang perempuan dewasa, ia belajar untuk tidak berbagi masalahnya lagi pada orang lain terutama kekasihnya. Bella sudah cukup merepotkan selama ini, jadi ia rasa tidak ada salahnya untuk berhenti mengeluhkan semua masalahnya. Ia cenderung tidak ingin lagi bercerita.
Sunshine
Lagu kamu nih sehari-hari gitu mulu🤣
Sabar ya sayang, aku usahain kita nikah tahun ini😁🥰
Bella
Hmm iya iya, yaudah sana kerja. Semangat ya💕
Senyum kecut sekilas menghiasi wajah Bella. Namun perempuan itu langsung menggelengkan kepala, mengusir rasa kesal yang mendadak singgah. Entah kenapa ia selalu seperti ini, kesal ketika dihadapkan dengan kata pernikahan.
Sejak Bella lulus kuliah sampai saat ini, ia bahkan tidak yakin bahwa dirinya akan menikah. Banyak alasan yang membuatnya ragu, salah satunya Rakha. Lelaki itu terlalu sering menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa ia tepati─Yah, kebanyakan memang berakhir gagal memang. Sesederhana janji menelpon saja, Rakha kadang lupa. Sedangkan Bella sudah tidak ada energi untuk protes, ia menerima semua kelakuan Rakha yang menyebalkan itu.
Ingatan Bella terlempar pada masa kuliah saat diminta untuk membuat planning masa depan. Perempuan itu dengan polosnya menuliskan semua rencana-rencana yang tampak mudah itu. Diusianya yang sebentar lagi 27 tahun, menurut rencananya dulu, ia harusnya sudah meraih gelar magisternya. Sedangkan rencana pernikahan justru baru ia tulis di umurnya yang ke 30 tahun.
Sebenarnya Bella tidak ingin seperti ini. Ia perempuan normal. Ia juga merasa iri ketika melihat teman-teman seumurannya sudah sibuk menggandeng balita mereka ke berbagai acara. Ia juga merasa iri ketika melihat teman-temannya menikmati liburan bersama suami mereka. Ia juga masih perempuan yang jauh dalam lubuk hatinya, ia juga ingin melakukan hal-hal itu. Hanya saja keadaan memang tidak mendukungnya.
Bella merasa bersalah setiap Rakha membahas pernikahan dan yang perempuan itu lakukan hanya menanggapi sekenanya. Dulu, mungkin Bella akan semangat membahas hal itu, ia rela menghabiskan waktu puluhan menit untuk mengobrol dengan Rakha via telepon. Namun semakin lama, Bella tidak lagi berharap banyak hal. Ia tidak lagi berusaha untuk mencapai impiannya dengan Rakha. Perempuan itu bahkan mulai mengikhlaskan hubungannya. Rakha menginginkan pernikahan, sedangkan Bella ingin kebebasan.
Kehidupan yang saat ini Bella jalani jauh dari rencana awalnya. Ia bekerja keras untuk membantu melunasi hutang keluarga. Ia harus ikut andil dalam membayar uang pendidikan bagi adik-adiknya. Tak pernah ia bayangkan, bahwa menjadi sulung akan seberat ini. Ia pikir, pendidikannya sudah cukup tinggi untuk mendapat gaji yang sepadan. Nyatanya, itu tak pernah cukup. Banyak hal yang ia harus tanggung meski tidak secara gamblang dituliskan. Jika Bella diberi kesempatan untuk memilih, bolehkah dia melanjutkan pendidikannya sebelum ia bekerja?
Bella selalu merindukan masa-masa dimana dia menimba ilmu di bangku kuliah, ia bebas berteman dan mengenal orang-orang. Belajar bersosialisai dan menjalin relasi seluas mungkin meski pada akhirnya semua itu lenyap ketika ia selesai kuliah. Bella membuka kunci ponselnya dan mencari kontak sahabat karibnya semasa kuliah dulu.
Bella
Noyaaa, ada libur panjang nggak? Aku kangen mi ayam pak min. kangen bakwan angkringan jugaaa
Tidak ada salahnya kan berencana? Meski mungkin pada akhirnya libur panjang itu tidak mampu ia dapatkan seutuhnya.
•••
-That's Why He My Man-